A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Pemilihan Judul
Kita sebagai orang muslim
sangatlah perlu akan adanya suatu pendidikan. Karena manusia diciptakan bukan
sekedar hidup. Ada
tujuan yang lebih mulia dari sekedar hidup yag mesti diwujudkan, dan itu
memerlukan ilmu yang diperoleh lewat pendidikan.
Penulisan ini berlangsung
karena sang penulis menganggap bahwa mendalami ilmu nahwu itu sangat penting,
terutama dalam masalah kitab. Sebab apa banyak para siswa yang hanya
mengandalkan keterangan dari guru, namun terkadang keterangan hanya sekedar
kenal tanpa menggunakan perincian yang detail. Adapun cara untuk bisa baca
kitab harus mengetahui cara membaca, memberi makna, mengartikan serta
menafsirkan itu harus ada kuncinya. Berdasarkan alasan tersebut saya menulis
bab inna dan saudara-saudaranya ini agar pembaca, khususnya semua
hal-hal yang dianggap penting guna membaca kitab dengan baik. Meskipun kurang
sempurna namun saya berharap ini telah mencukupi dan sesuai dengan harapan yang
lebih praktis dan insyaallah mudah untuk dipahami.
2. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan uraian di atas
maka tujuan penulis makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui
apa sih pengamalan Inna dan saudara-saudaranya
2.
Untuk mengetahui
tempat-tempat hamzah inna yang dibaca fathah dan dibaca kasroh.
3.
Untuk mengetahui inna
dan saudara-saudaranya yang dibatalkan pengamalannya.
4.
Untuk mengetahui hukum
inna dan saudara-saudarnya yang ditakhfif (nunnya disukun).
B. PEMBAHASAN
1.
Pengamalan Inna
dan Saudara-Saudaranya
Inna dan
saudara-saudaranya yakni ( إِنَّ, أَنَّ, لَيْتَ, لَكِنَّ, لَعَلَّ
دان كَأَنَّ ) pengamalannya sebaliknya pengamalannya kaana
( كَانَ ) jadi تَنْصِبُ اْلإِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ yaitu menashabkan
mubtada’ untuk dijadikan isimnya dan merafa’kan khabar mubtada’ untuk dijadikan
khabarnya.[1]
Contoh:إِنَّ زَيْدًا عَالِمٌ بِأَنِّي كُفْئٌ
2.
Tempat-Tempat
Hamzah Inna Yang Dibaca Fathah Dan Dibaca Kasroh.
Fathah
Apabila inna bila ditakwil sebagai
masdar maka hamzahnya harus di fathah,[2]
contoh: يُعْجِبُنِي أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
تأويلانيا (أي يُعْجِبُنِي قِيَامُ زَيْدٍ)
Kasroh
1. Jatuh
di awal al-kalam (
إِذَا
وَقَعَتْ أَوَّلُ الْكَلاَمِ ), misalnya إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
2. Jatuh
dalam awalan shilah ( وَقَعَتْ
صَدْرُ الصِّلَةِ ), misalnya جَاءَ الَّذِي إِنَّهُ قَائِمٌ .
3. Sebagai
jawaban sumpah, mislnya وَاللهِ
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
4. Sebagai
hikayat suatu ungkapan, misalnya قَالَ زَيْدًا إِنَّ عَمْرًا قَائِمٌ .
5. Menempati
tarkib haal, misalnya زُرْتُ زَيْدًا وَإِنِّي ذُوْ أَمَلٍ .
6. Jatuh
setelah af’al al-Qulub yang telah tetangguhkan amalannya oleh اللاّم , misalnya
عَلِمْتُ
إِنَّ زَيْدٌ اْلعَالِمُ .
7. Setelah أَلاَ اْلاِسْتِفْتَاحِيَّةِ , misalnya أَلاَ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
8. Setelah
حَيْثُ , misalnya اِجْلِسْ حَيْثُ إِنَّ زَيْدًا جَالِسٌ .
9. Bila
jumlah inna menjadi sifat, misalnya مَرَرْتُ بِرَجُلٍ إِنَّهُ فَاضِلٌ .
Kasroh/ fathah
1. Ia
berposisi setelah إِذَا اْلفُجَائِيَّة (tiba-tiba atau
mendadak), misalnya: خَرَجْتُ فَإِذًا اَِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
2. Setelah
fi’il sumpah, dimana pada khabarnya إِنَّ tidak terdapat اللاّم , seperti
حَلَفْتُ
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
3. Setelah فاء الجزاء / فاء الجواب , seperti
مَنْ
يَأْتِنِي فَإِنَّهُ مُكْرَمٌ .
4. Setelah
mubtada’ dengan makna ucapan, sedangkan khabarnya إِنَّ juga berarti ucapan sementara subjeknya
tunggal.[4]
Seperti خَيْرُ اْلقَوْلِ إِنِّي أَحْمَدُ .
3.
Inna Dan
Saudaranya Yang Dibatalkan Pengamalannya
Inna
dan saudarnya bila diberi maa ( مَا
) zaidah itu bisa batal amalnya.
Contoh
إِنَّمَا
زَيْدٌ عَالِمٌ .
Tetapi terkadang ada yang tetap amal.
Contoh لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ .
Adapun laita ( لَيْتَ
) , meskipun dimasuki maa (مَا
), maka ia tetap beramal menashabkan mubtada’ dan merafa’kan khabar atau boleh
tidak beramal.
Contoh: لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ .
Kata زَيْدًا dibaca nashab menjadi isimnya لَيْتَمَا , dan قَائِمٌ menjadi kata
لَيْتَمَا dalam contoh ini masih tetap beramal. Boleh juga لَيْتَمَا
tidak beramal, dan kata زَيْدًا
dibaca rafa’, sehingga susunannya menjadi لَيْتَمَا زَيْدٌ قَائِمٌ .[5]
4. Hukum Inna Dan
Saudara-Saudaranya Yang Ditakhfif (Nun-Nya Disukun)
إِنَّ
Inna
(إِنَّ ) hukumnya bila ditakhfif (nunnya disukun) itu boleh amal boleh
tidak serta apabila tidah beramal maka wajib memberi lam fariqoh ( لام فارقة
) pada lafadz yang sesudahnya.
Contoh: إِنْ زَيْدٌ لَقَائِمٌ .
Dan lebih banyak muhmal-nya ( tidak amal
) dari pada amalnya.
Huruf “إِنْ
“ di atas berasal dari “إِنَّ “ yang ditakhfif, ia tidak lagi beramal menashabkan mubtada’.
Karena itu, kata sesudahnya tetap dibaca rafa’.[6]
أَنَّ
Anna (
أَنَّ ) hukumnya bila ditakhfif (nunnya disukun) dan kemudian isimnya
pasti berupa dhomir sya’an ( ضمير شأن
) yang disimpan dan khabarnya pasti berupa jumlah.
Contoh: عَلِمْتُ زَيْدٌ قَائِمٌ .
Dan bila ada yang isimnya bukan dlomir
sya’an (ضمير
شأن ) maka hukumnya langka. Contoh: فَلَوْ أَنَّكَ فِي يَوْمِ الرَّخَاءِ
سَأَلْتَنِي .
كَأَنَّ dan لَكِنَّ
Kaanna
(كَأَنَّ ) juga bisa ditakhfif dan yang kaprah isimnya berupa dlomir
sya’an (ضمير
شأن ) yang disimpan. Contoh: كَأَنْ شَدْيَانُ خُقَانِ .
Tetapi ada juga yang ditetapkan walaupun
sedikit. Contoh: كَأَنْ
زَيْدًا أَسَدٌ .
Kata ka’an (كَأَنْ
) adalah dari kata (كَأَنَّ ), yang nunnya ditakhfif dan ia masih tetap beramal. Adapun
lakinna (لَكِنَّ ) apabila nunnya ditakhfif
maka tidak bisa beramal.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian atas penjelasan
mengenai inna dan saudara-saudaranya, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut: bahwa inna dan saudara-saudaranya adalah amil nasikh yaitu amil
yang merusak susunan mubtada’ yang dijadikan isimnya dan merofa’kan khabar yang
dijadikan khabarnya.
Hamzah inna juga bisa
dibaca fathah dan juga bisa dibaca kasroh begitu juga bisa dibaca keduanya
yaitu dibaca fathah atau dibaca kasroh.
Begitu juga dengan inna
dan saudaranya yang dibatalkan pengamalannya karena diberi maa ( مَا
) zaidah, tetapi terkadang ada yang tetap beramal seperti ( لَيْتَ
). Apabila (لَيْتَ ) dimasuki maa (مَا
) zaidah maka ia tetap boleh beramal menashabkan mubtada’ dan merafa’kan
khobar atau boleh tidak beramal.
Begitu pula dengan inna
dan saudaranya yang ditakhfif (nunnya disukun) itu boleh amal boleh tidak, akan
tetapi banyak yang tidak beramal dan sedikit yang masih beramal kecuali ( أَنَّ, كَأَنَّ دان لَكِنَّ ) apabila ditakhfif (nunnya disukun) maka masih tetap beramal.[7]
2. Saran
Tiada harapan sedikitpun dari penulis
kecuali makalah ini dapat bermanfaat kepada si pembaca dan penulis menyarankan
kepada pembaca agar selalu membaca karena membaca adalah salah satu cara untuk
mengetahui tentang suatu ilmu atau pelajaran yang belum kamu ketahui serta
membaca adalah termasuk jendela dari ilmu.
Selain itu juga, penulis
dengan segala kemampuan yang ada berusaha dengan berbagai cara di dalam membuat
makalah ini, agar mudah dipahami serta mudah diterima oleh pembaca.
Dengan demikian, apabila ada
kesalahan-kesalahan dalam makalah ini, penulis mengharapkan fatwa-fatwanya
serta tak lupa juga tegur sapanya. Apabila dalam makalah ini banyak kekeliruan.
Kiranya ada kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan penulis minta maaf yang
sebesar-besarnya serta tidak lupa sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan terima
kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Rohman, KH
Abdur, Catatan
Wafi,
M. Bahauddin Ahmad, Khazanah Andalus, Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 2003
Saifuddin,
Ibrahim, Ilmu Nahwu, AL-Hidayah, Surabaya :
Wacana Ilmu, 2003.
Arra’ini,
Muhammad Syamsuddin, Mutammimah Ajjurumiyyah, Al-Hidayah, Surabaya : Wacana Ilmu,
2001.
[1] Lihat catatannya KH. Abdurrahman Bab Inna Dan Saudara-Saudarany
Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, 18
[2] Ibid, 19
[3] M. Wafi dan A. Bahaudin, Khazanah Andalus (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 2003), 104.
[4] Ibid, 105.
[5] Ilmu Nahwu, Al-Hidayah (Surabaya : Wacana Ilmu, 2003), 46.
[6] Mutammimah Ajjurumiyyah, Al-Hidayah (Surabaya : Wacana Ilmu, 2002), 165.
[7] Lihat catatannya KH. Abdurrohman Bab Inna Dan Saudara-Saudaranya
Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, 20.
No comments:
Post a Comment