A. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan
zaman yang semakin modern ini agama sangatlah penting untuk pedoman kita
sehari-hari. Terutama dalam masalah dunia kitab kuning, tapi kitab kuning
hanyalah sebuah istilah dari kitab yang berbahasa Arab yang kebanyakan berupa
kitab gundul (tidak ada harokatnya). Tapi tidak semua kitab yang berbahasa Arab
itu warnanya kuning. Adapun cara untuk bisa mengetahui cara membaca, memberi
makna, mengartikan serta menafsirkan itu harus ada kuncinya, sedang kunci
tersebut adalah ilmu nahwu. Oleh karenanya penulis membahas sedikit pembahasan
dalam ilmu nahwu yaitu masalah fa’il.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Fa’il
Fa’il adalah isim yang dibaca
rafa’ yang jatuh setelah fi’il yang mabni ma’lum (fi’il yang diketahui
pelakunya/kalimat aktif) yang menjadi pelaku pekerjaan.[1]
Ada juga yang mengatakan fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang ma’nanya
disandarkan pada fi’il atau sibhul fi’il yakni isim fa’il, isim fi’il, sifat
musyabihat, masdar, dharaf, jer majrur, dan isin tafdhil.
Contoh yang jatuh setelah fi’il ضَرَبَ زَيْدٌ
Demikian pula ada yang
mendefinisikan bahwa fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah
fi’il. Yang dimaksud dari keterangan fa’il setelahnya fi’il bukan berarti
langsung fa’il menyandingi fi’ilnya tetapi kadang juga dipisah dengan kata-kata
lain.
Fa’il pasti berupa isim atau
kata yang dita’wili isim yakni fi’il yang diawali huruf an (أَنْ)
yang bermakna yento atau anna (أَنَّ).
Fa’il itu tidak ada yang
dibuang kecuali ada naibul fa’il (pengganti fa’il). Yang menajdi pedoman untuk
menentukan fa’il adalah:
1) Ditentukan
dengan bayangan sopo/opo (siapa/apa).
2) Hukumnya
rafa’
3) Pasti
berupa isim atau fi’il yang didahului ( أَنْ/أَنَّ ) an/anna.
4) Terletak
setelah fi’il mabni ma’lum.
5) Tanda
pemberian ma’na
ف: opo (apa) untuk orang yang tidak berakal
فا:
sopo (siapa) untuk orang yang berakal.
Contoh: شَرَبَ الْكَلْبُ (tidak berakal)
2. Macam-macam
Fa’il
Macam-macam fa’il itu ada 2 macam:
1) Fa’il
isim dzahir
Fa’il isim dzahir adalah fa’il yang tertulis
jelas atau tampak.
Contoh: قَامَ زَيْدٌ
2) Fa’il
isim dhamir
Fa’il isim dhamir adalah fa’il yang tersimpan
atau karena pelakunya tertulis sebelum fi’il.
Sedangkan macam-macam fa’il
isim dhamir sendiri itu ada 2 macam:
1. Bariz
(tampak)
Fa’il isim dhamir bariz juga
dibagi 2 macam:
a. Muttashil
(sambung)
Contoh: ذَهَبْتُ إِلَى الْفَصْلِ كُلَّ يَوْمٍ
b. Munfashil
(pisah)
Contoh:مَا جَاءَ إِلاَّ الْمَعْهَدِ
إِلاَّ أَنْتَ
2. Mustatir
(tersimpan)
Fa’il isim dhamir mustatir juga dibagi 2 macam:
a. Jawaz
(boleh tersimpan)
Contoh:مُحَمَّدٌ يُعَلِّمُ
وَالْعَرَبِيَّةَ
b. Wujub
(wajib tersimpan)
Fa’il isim dhamir muttashil
itu apabila bertemu dengan fi’il maka harus disukun kalau tidak disukun maka
akan menjadi maf’ul bih bukan fa’il lagi.
3. Hukum
Fi’il yang Fa’ilnya Isim Dhahir Tasniyah/Jamak
Fi’il yang mempunyai fa’il
yang berupa isim dhahir tasniyah/jamak itu fi’ilnya disunyikan dari tanda
tasniyah/jamak yakni sebagaimana disandarkan pada fa’il yang mufrad. Tetapi ada
juga yang tetap diberi tanda tasniyah/jamak ini adalah menurut lughat أَكَلُوْنِي
الْبَرَاغِيْثُ
Contoh yang sunyi dari tanda tasniyah/jamak ضَرَبَ عُمَرُ
4. Hukum
Amil/Fi’il yang Fa’ilnya Berupa Muannats Haqiqi Maupun Majazi.
Fi’il itu apabila fa’ilnya
berupa muannats haqiqi maka fi’il tersebut harus diberi ta’ (ت).
Contoh:جَائَتْ فَاطِمَةُ
Muannats haqiqi adalah
tiap-tiap lafadz yang menunjukkan alat kelamin.
Sedangkan bila ada fi’il yang
mempunyai fa’il yang berupa muannats majazi itu boleh diberi ta’ dan boleh
tidak diberi ta’.
Contoh:طَلَعَتْ الشَّمْسُ طَلَعَ الشَّمْسُ
Muannats majazi adalah
tiap-tiap lafadz yang menunjukkan alat muannats (perempuan tetapi tidak
mempunyai alat kelamin).[8]
Bila ada fi’il madly yang
mempunyai fa’il isim dhahir muannats haqiqi antara isim dan fi’il itu ada
pemisah maka fi’il tersebut boleh diberi ta’ dan boleh tidak diberi ta’ akan
tetapi lebih baik diberi ta’.
Contoh:أَتَتْ الْقَاضِي بِنْتُ
الْوَافِقِ
Apabila yang memisahkan antara
fi’il madly dan fa’il isim dhahir muannats haqiqi itu berupa illa (إلاّ),
maka lebih baik tidak diberi ta’.
Contoh:مَا زَكَاإِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ
الْعَلاَ
Membuang ta’ pada fi’il madly
yang mempunyai fa’il muannats haqiqi itu terkadang terjadi walaupun tanpa ada
pemisah tetapi terjadinya sedikit sekali.
Contoh:قَالَ فُلاَنَةٌ
Sedang yang isnad pada fa’il
muannats majazi itu terjadinya membuang ta’ hanya pada syi’ir saja. Contohnya
pada potongan sya’ir ini:
وَلاَ
أَرْضَ أَبْـقَلَ إِبْـقَالَهَا[9]
5. Hukum
Maf’ul dan Fa’il yang Wajib Diakhirkan
Apabila ada iltibas/kesempurnaan
fa’il dan maf’ul maka maf’ul harus diakhirkan. Contoh:ضَرَبَ مُوْسَى عِيْسَى
Dan fa’ilnya berupa yang
ma’nanya tidak diringkas juga maf’ul harus diakhirkan. Contoh:ضَرَبَ زَيْدًا
Fa’il/maf’ul yang ma’nanya
diringkas oleh lafadz إِنَّمَأ إِلاَّ maka fa’il/maf’ul
tersebut harus diakhirkan. Contoh maf’ul yang ma’nanya diringkas:
مَا
ضَرَبَ زَيْدٌ إِلاَّ عَمْرًا, إِنَّمَا ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا
Contoh fa’il yang ma’nanya diringkas:
مَا
ضَرَبَ عَمْرًا إِلاَّ زَيْدٌ, إِنَّمَا ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
Tetapi terkadang ada yang
mendahulukan mahshur (yang dringkas) apabila telah jelas maksudnya. Contoh:فَمَازَادَ إِلاَّ دُعْفَ مَابِي
كَلاَمُهَا
Sedangkan fa’il harus
dikahirkan ketika fa’il dan maf’ul dimana maf’ulnya mengandung dhamir yang
ruju’ pada fa’ilnya. Contoh:خَافَ رَبَّهُ عُمَرُ
Dan juga yang mengandung
dhamir yang ruju’ pada maf’ul. Contoh:زَانَ الشَّجَرَ نَوْرُهُ
Apabila maf’ulnya diakhirkan
maka terhitung sedikit.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Fa’il adalah isim yang dibaca
rafa’ yang jatuh setelah fi’il yang mabni ma’lum (fi’il yang diketahui
pelakunya/kalimat aktif). Setelah fi’il pasti ada fa’il. Fa’il itu ada 2 macam
yaitu fa’il isim dhamir (pelakunya tersimpan) dan fa’il isim dhahir (pelakunya
tampak).
Apabila ada fi’il yang
fa’ilnya berupa tasniyah/jamak maka fi’ilnya disunyikan dari tanda
tasniyah/jamak yakni sebagaimana ia mempunyai fa’il mufrad.jika ad fi’il yang
mempunyai fa’il berupa muannats haqqi maka fi’ilnya harus diberi ta’ (ت)
sedangkan jika fi’ilnya berupa muannats majazi maka boleh diberi ta’ dan boleh
tidak. Fi’il jika mmepunyai fa’il dan maf’ul yang mmepunyai keserupaan atau
iltibas amka maf’ul harus diakhirkan sedangkan fa’il itu harus diakhirkan
ketika maf’ul menagndung dhamir yang rujuk pada fa’ilnya.
2. Saran
Bagi para pembaca semoga anda
bisa faham dengan membaca dan mempelajari karya ini dan menerpakannya.
DAFTAR
PUSTAKA
v Effendi,
Hudi. Intishar fi ‘Ilmi Nahwi
v
Rohamh, KH. Abdur.
Catatan
v
Hakim, H.
Taufiqul. Amsilati Jilid 2
v Nadwi,
Muhammad Maftuhin Soleh. Terjemah Alfiyah 2. Putra Jaya: Surabaya
[1] Hudi Efendi, Intishar fi ‘Ilmi Nahwi
[2] Catatan KH. Abdur Rahman AF.
[3] H. Faufiqul Hakim, Amtsilati Jilid 4, hal. 6 (Pondok
Pesantren Darul Falah)
[4] Ibid., hal. 7-8
[5] Muhammad Maftuhin Soleh Nadwi, Tejemah Alfiyah 2 (Putra
Jaya) Surabaya ,
hal. 31
[6] Ibid., hal. 8
[7] Ibid., hal. 33-34
[8] Ibid., hal. 38
[9] Catatan KH. Abdur Rahman AF.
[10] Catatan KH. Abdur Rahman
No comments:
Post a Comment