Sunday, October 15, 2017

Makalah Isim Fail

A.  PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini agama sangatlah penting untuk pedoman kita sehari-hari. Terutama dalam masalah dunia kitab kuning, tapi kitab kuning hanyalah sebuah istilah dari kitab yang berbahasa Arab yang kebanyakan berupa kitab gundul (tidak ada harokatnya). Tapi tidak semua kitab yang berbahasa Arab itu warnanya kuning. Adapun cara untuk bisa mengetahui cara membaca, memberi makna, mengartikan serta menafsirkan itu harus ada kuncinya, sedang kunci tersebut adalah ilmu nahwu. Oleh karenanya penulis membahas sedikit pembahasan dalam ilmu nahwu yaitu masalah fa’il.

B.   PEMBAHASAN
1.   Pengertian Fa’il
Fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il yang mabni ma’lum (fi’il yang diketahui pelakunya/kalimat aktif) yang menjadi pelaku pekerjaan.[1] Ada juga yang mengatakan fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang ma’nanya disandarkan pada fi’il atau sibhul fi’il yakni isim fa’il, isim fi’il, sifat musyabihat, masdar, dharaf, jer majrur, dan isin tafdhil.
Contoh yang jatuh setelah fi’il ضَرَبَ زَيْدٌ
Contoh yang jatuh setelah sibhul fi’il [2]هَيْهَاتَ الْعَقِيْقُ 
Demikian pula ada yang mendefinisikan bahwa fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il. Yang dimaksud dari keterangan fa’il setelahnya fi’il bukan berarti langsung fa’il menyandingi fi’ilnya tetapi kadang juga dipisah dengan kata-kata lain.
Fa’il pasti berupa isim atau kata yang dita’wili isim yakni fi’il yang diawali huruf an (أَنْ) yang bermakna yento atau anna (أَنَّ).
Fa’il itu tidak ada yang dibuang kecuali ada naibul fa’il (pengganti fa’il). Yang menajdi pedoman untuk menentukan fa’il adalah:
1)  Ditentukan dengan bayangan sopo/opo (siapa/apa).
2)  Hukumnya rafa’
3)  Pasti berupa isim atau fi’il yang didahului ( أَنْ/أَنَّ ) an/anna.
4)  Terletak setelah fi’il mabni ma’lum.
5)  Tanda pemberian ma’na
 ف: opo (apa) untuk orang yang tidak berakal
 فا: sopo (siapa) untuk orang yang berakal.
     Contoh:   شَرَبَ الْكَلْبُ  (tidak berakal)
                  قَامَ زَيْدٌ   (berakal)[3]
2.   Macam-macam Fa’il
Macam-macam fa’il itu ada 2 macam:
1)  Fa’il isim dzahir
Fa’il isim dzahir adalah fa’il yang tertulis jelas atau tampak.
Contoh: قَامَ زَيْدٌ  
2)  Fa’il isim dhamir
Fa’il isim dhamir adalah fa’il yang tersimpan atau karena pelakunya tertulis sebelum fi’il.
Contoh:إِنَّ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ كَانَتَا  [4]
Sedangkan macam-macam fa’il isim dhamir sendiri itu ada 2 macam:
1.   Bariz (tampak)
Fa’il isim dhamir bariz juga dibagi 2 macam:
a.    Muttashil (sambung)
Contoh: ذَهَبْتُ إِلَى الْفَصْلِ كُلَّ يَوْمٍ 
b.   Munfashil (pisah)
Contoh:مَا جَاءَ إِلاَّ الْمَعْهَدِ إِلاَّ أَنْتَ 
2.   Mustatir (tersimpan)
Fa’il isim dhamir mustatir juga dibagi 2 macam:
a.    Jawaz (boleh tersimpan)
Contoh:مُحَمَّدٌ يُعَلِّمُ وَالْعَرَبِيَّةَ 
b.   Wujub (wajib tersimpan)
Contoh:يَا مُحَمَّدُ, تَعَلَّمْ بِكُلِّ جِدٍّ وَاجْتِهَادٍ  [5]
Fa’il isim dhamir muttashil itu apabila bertemu dengan fi’il maka harus disukun kalau tidak disukun maka akan menjadi maf’ul bih bukan fa’il lagi.
Contoh:جِئْتُ مُحَمَّدً  [6]

3.   Hukum Fi’il yang Fa’ilnya Isim Dhahir Tasniyah/Jamak
Fi’il yang mempunyai fa’il yang berupa isim dhahir tasniyah/jamak itu fi’ilnya disunyikan dari tanda tasniyah/jamak yakni sebagaimana disandarkan pada fa’il yang mufrad. Tetapi ada juga yang tetap diberi tanda tasniyah/jamak ini adalah menurut lughat أَكَلُوْنِي الْبَرَاغِيْثُ 
Contoh yang sunyi dari tanda tasniyah/jamak ضَرَبَ عُمَرُ 
Contoh yang tampak tanda tasniyah/jamakيَلُوْمُوْنَنِيْ فِي اشْتِرَاءٍ  [7]
4.   Hukum Amil/Fi’il yang Fa’ilnya Berupa Muannats Haqiqi Maupun Majazi.
Fi’il itu apabila fa’ilnya berupa muannats haqiqi maka fi’il tersebut harus diberi ta’ (ت).
Contoh:جَائَتْ فَاطِمَةُ 
Muannats haqiqi adalah tiap-tiap lafadz yang menunjukkan alat kelamin.
Sedangkan bila ada fi’il yang mempunyai fa’il yang berupa muannats majazi itu boleh diberi ta’ dan boleh tidak diberi ta’.
Contoh:طَلَعَتْ الشَّمْسُ  طَلَعَ الشَّمْسُ 
Muannats majazi adalah tiap-tiap lafadz yang menunjukkan alat muannats (perempuan tetapi tidak mempunyai alat kelamin).[8]
Bila ada fi’il madly yang mempunyai fa’il isim dhahir muannats haqiqi antara isim dan fi’il itu ada pemisah maka fi’il tersebut boleh diberi ta’ dan boleh tidak diberi ta’ akan tetapi lebih baik diberi ta’.
Contoh:أَتَتْ الْقَاضِي بِنْتُ الْوَافِقِ 
Apabila yang memisahkan antara fi’il madly dan fa’il isim dhahir muannats haqiqi itu berupa illa (إلاّ), maka lebih baik tidak diberi ta’.
Contoh:مَا زَكَاإِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ الْعَلاَ 
Membuang ta’ pada fi’il madly yang mempunyai fa’il muannats haqiqi itu terkadang terjadi walaupun tanpa ada pemisah tetapi terjadinya sedikit sekali.
Contoh:قَالَ فُلاَنَةٌ 
Sedang yang isnad pada fa’il muannats majazi itu terjadinya membuang ta’ hanya pada syi’ir saja. Contohnya pada potongan sya’ir ini:
وَلاَ أَرْضَ أَبْـقَلَ إِبْـقَالَهَا[9]

5.   Hukum Maf’ul dan Fa’il yang Wajib Diakhirkan
Apabila ada iltibas/kesempurnaan fa’il dan maf’ul maka maf’ul harus diakhirkan. Contoh:ضَرَبَ مُوْسَى عِيْسَى 
Dan fa’ilnya berupa yang ma’nanya tidak diringkas juga maf’ul harus diakhirkan. Contoh:ضَرَبَ زَيْدًا 
Fa’il/maf’ul yang ma’nanya diringkas oleh lafadz إِنَّمَأ  إِلاَّ  maka fa’il/maf’ul tersebut harus diakhirkan. Contoh maf’ul yang ma’nanya diringkas:
مَا ضَرَبَ زَيْدٌ إِلاَّ عَمْرًا, إِنَّمَا ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا
Contoh fa’il yang ma’nanya diringkas:
مَا ضَرَبَ عَمْرًا إِلاَّ زَيْدٌ, إِنَّمَا ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
Tetapi terkadang ada yang mendahulukan mahshur (yang dringkas) apabila telah jelas maksudnya. Contoh:فَمَازَادَ إِلاَّ دُعْفَ مَابِي كَلاَمُهَا 
Sedangkan fa’il harus dikahirkan ketika fa’il dan maf’ul dimana maf’ulnya mengandung dhamir yang ruju’ pada fa’ilnya. Contoh:خَافَ رَبَّهُ عُمَرُ
Dan juga yang mengandung dhamir yang ruju’ pada maf’ul. Contoh:زَانَ الشَّجَرَ نَوْرُهُ 
Apabila maf’ulnya diakhirkan maka terhitung sedikit.
Contoh: [10]زَانَ نَوْرُهُ  الشَّجَرَ

C.   PENUTUP
1.   Kesimpulan
Fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il yang mabni ma’lum (fi’il yang diketahui pelakunya/kalimat aktif). Setelah fi’il pasti ada fa’il. Fa’il itu ada 2 macam yaitu fa’il isim dhamir (pelakunya tersimpan) dan fa’il isim dhahir (pelakunya tampak).
Apabila ada fi’il yang fa’ilnya berupa tasniyah/jamak maka fi’ilnya disunyikan dari tanda tasniyah/jamak yakni sebagaimana ia mempunyai fa’il mufrad.jika ad fi’il yang mempunyai fa’il berupa muannats haqqi maka fi’ilnya harus diberi ta’ (ت) sedangkan jika fi’ilnya berupa muannats majazi maka boleh diberi ta’ dan boleh tidak. Fi’il jika mmepunyai fa’il dan maf’ul yang mmepunyai keserupaan atau iltibas amka maf’ul harus diakhirkan sedangkan fa’il itu harus diakhirkan ketika maf’ul menagndung dhamir yang rujuk pada fa’ilnya.

2.   Saran
Bagi para pembaca semoga anda bisa faham dengan membaca dan mempelajari karya ini dan menerpakannya.





DAFTAR PUSTAKA

v Effendi, Hudi. Intishar fi ‘Ilmi Nahwi
v Rohamh, KH. Abdur. Catatan
v Hakim, H. Taufiqul. Amsilati Jilid 2
v Nadwi, Muhammad Maftuhin Soleh. Terjemah Alfiyah 2. Putra Jaya: Surabaya



[1] Hudi Efendi, Intishar fi ‘Ilmi Nahwi

[2] Catatan KH. Abdur Rahman AF.
[3] H. Faufiqul Hakim, Amtsilati Jilid 4, hal. 6 (Pondok Pesantren Darul Falah)

[4] Ibid., hal. 7-8
[5] Muhammad Maftuhin Soleh Nadwi, Tejemah Alfiyah 2 (Putra Jaya) Surabaya, hal. 31

[6] Ibid., hal. 8

[7] Ibid., hal. 33-34

[8] Ibid., hal. 38
[9] Catatan KH. Abdur Rahman AF.
[10] Catatan KH. Abdur Rahman

No comments:

Post a Comment