Saturday, October 7, 2017

Makalah Filsafat Ilmu,Tehnologi dan Budaya



ILMU, TEKNOLOGI, DAN BUDAYA

A.    PENDAHLUAN
Se­panjang sejarah perkembanganya, ilmu sampai saat ini selalu meng­alami ketegangan dengan berbagai aspek lain dari kehidupan ma­nusia. Pada dataran praktis-operasional, selalu diperbincangkan kembali hubungan timbal balik antara ilmu dan teknologi. Sering muncul polemik, terutama di negara berkembang, manakah yang lebih penting, antara mengembangkan "ilmu" melalui pengem­bangan "ilmu murni" (pure science) dan "ilmu dasar" (basic science), dengan mengembangkan "teknologi" melalui "alih tekno­logi" maupun "industrialisasi"?
Pada level nilai-ideasional, muncul permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan kedudukan dan peran ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban manusia, baik yang ber­kaitan dengan pergeseran nilai maupun yang terkait dengan ber­bagai dampak ideasional dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap komponen-komponen pengetahuan manusia yang lain. Gejala-gejala seperti "modernisasi", "globalisasi", "tek­nokrasi", "teknophobia", "teknofilia", "teknosofi" adalah contoh be­tapa besar pengaruh ilmu dan teknologi terhadap kebudayaan ma­nusia.
Konsekwensi dari itu, gejala meluas dan meningkatnya peran "ilmu" dan "teknologi" ter­hadap berbagai aspek kehidupan manusia, yang oleh Hebert Marcuse digambarkan hanya akan membawa manusia pada "keterasingan" (alineasi) terhadap diri sendiri dan masyarakatnya, maupun mengantar manusia pada suatu kondisi yang "berdimensi satu".[1] Dalam masyarakat yang demikian real­itas sosial-budaya merupakan realitas berdimensi tunggal, yakni dimensi teknologis. Manusia dan kebudayaannya "dikuasai" oleh "ilmu" dan "teknologi". Apakah kemudian dapat dikatakan bahwa, "ilmu" dan "teknologi" merusak "kebudayaan asli" suatu bangsa? Apakah "teknologi" sendiri merupakan suatu "budaya", yang me­miliki sistem nilai dan struktur sosial tertentu?
Berangkat dari kerangka berfikir di atas, rumusan masalah yang hendak pemakalah angkat adalah bagaimana hubungan ilmu, teknologi, dan budaya serta keberadayaanya dalam perkembangan peradaban manusia.

B.     PEMBAHASAN
1.      Ilmu dan Teknologi.
Berbicara tentang ilmu, sebenarnya telah banyak dibicarakan pada tema-tema diskusi sebelumnya. Namun dalam rangka untuk menegaskan kajian teoritis dan sitematika kajian tema ini agar tidak lepas dari frame kajian, perlu penulis urai lebih lanjut dalam makalah ini.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab I’lmun yang berarti pengetahuan. Pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia kita samakan dengan istilah science. Oleh karenanya, dalam hal ini, Sidi Gazalba menyebut ilmu sebagai science. Science berasal dari bahasa latin: scio, scire, yang juga berarti pengetahuan[2].
Stewart Ricards mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang realitas yang nyata yang dipastikan oleh pengamatan, pengujian kritis dan pengklasifikasian sistematis di bawah prinsip-prinsip umum. Pengetahuan juga mampu menjelaskan penemuan-penemuan nilai-nilai masa lalu dan mampu membuat prediksi untuk masa depan melalui pemahaman kausalita. Ilmu pengetahuan juga harus bersifat universal tidak terikat oleh ruang dan waktu, dapat dinyatakan dengan tegas, dapat dipahami, memmpunyai keterkaitan empiris yang bisa diuji persesuaian antara teori dan implikasi praktisnya.[3]
Menurut Surojiyo, definisi ilmu melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (Problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution) dan pengaruh (effects).[4]
1.      Masalah (Problem)
Tiga karakteristik yang menunjukkan masalah bersifat scientific, yaitu: Communicabilility (sesuatu yang patut dikomunikasikan), The Scientific attitude meliputi karakteristik curiosity, spekulativeness, willingness to be objective, willingness to suspend judgement dan tentativty. The scientific method (masalah dapat diuji/ testable)
2.      Sikap (attitude)
Karakteristik Sikap (attitude)yang harus dipenuhi antara lain : curiosity (rasa ingin tahu), spekulativeness (mempunyai hasrat memecahkan masalah melalui hipotesis-hipotesis), willingness to be objective (hasrat bertindak objektif), willingness to suspend judgement dan tentativty (Sabar dlm observasi dan bersikap bijak dlm menentukan kebijakan berdasar bukti-bukti yang dikumpulkan karena apa yang ditemukan masih bersifat tentatif.
3.      Metode (method)
Essensi dari Sains adalah metode-nya, akan tetapi para scientist tidak memiliki metode ide yang pasti yang dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang absolute/ mutlak.
4.      Aktivitas (activity)
Sains adalah lahan yang dikerjakan para scientist melalui apa yang disebut scientific research.
5.      Kesimpulan (conclution)
Sains lebih sering dipahami sebagai batang tubuh pengetahuan dan kesimpulan merupakan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah.
6.      Pengaruh (effects)
Apa yang dihasilkan science pada akhirnya memberikan berbagai pengaruh. Pertama pengaruh ilmu terhadap ekologi melalui apa yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap apa atau dalam masarakat serta membudayakannya menjadi berbagai macam nilai.
Memahami ruang lingkup Ilmu di atas, ilmu tidak lepas dari sebuah aktifitas berantai dari persoalan masalah (Problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution) dan pengaruh (effects).
Hal ini sefaham dengan pendapat The Liang Gie. Dia  mengatakan bahwa ilmu didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas manusia yang manusiawi (human), bertujuan (purposeful), dan berhubungan dengan kesadaran (cognitive).[5]
Lebih lanjut, The Liang Gie menyatakan bahwa serangkaian aktifitas ilmu atau yang disebut dengan "aktivitas ilmiah" pada dasarnya terdiri atas dua ba­gian, yakni bagian substantif atau isi, dan bagian procedural atau metode. Kedua bagian tersebut dalam kenyataannya tidak bisa dipisahkan, hanya dapat dibedakan dalam analisa. Sebagai gambaran, aktivitas pengukuran luas suatu bi­dang tidak beraturan mensyaratkan adanya objek bidang tidak beraturan (bagian substantif) dan prosedur atau metode peng­ukuran bidang tidak beraturan. Atau sebagai gambaran di bidang ilmu sosial, aktivitas penelitian tentang motivasi bela negara ter­hadap taruna AKABRI mensyaratkan adanya taruna AKABRI seba­gai responden (bagian substantif) dan metode ataupun prosedur penelitian sosial tertentu yang digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan motivasi bela negara.[6]
Namun ketika ilmu dilihat dari sudut pandang sistematika, ilmu menyangkut tiga hal, yaitu:
o   Proses, ilmu sebagai suatu proses artinya ilmu menunjuk pada "peneli­tian ilmiah".
o   Prosedur, ilmu sebagai suatu prosedur, maka hal tersebut mengacu pada "metode Ilmi­ah".
o   Produk, artinya bila ilmu dilihat sebagai produk (hasil), maka yang dimaksud dengannya adalah "penge­tahuan ilmiah".[7]
Sebagaimana yang telah ditulis Ziman dalam bukunya an Introduction To Science And Technology, The Philosophy And Social Aspects Of Science And Technology, dia menyebutkan bahwa dilihat dari sudut pandang sosiologi ilmu, dimensi ilmu dapat dibe­dakan antara sudut pandang "internal" dan sudut pandang "eks­ternal". Sudut pandang "internal" mengacu pada Ilmu akademis" (academic science), sedangkan sudut pandang "eksternal" me­ngacu pada "ilmu industrial" (industrial science).[8]
Perbedaan yang jelas dari keduanya adalah bahwa "Ilmu akademis" relatif lebih menekankan pada pengkayaan tubuh pengetahuan ilmiah untuk pengembang­an ilmu itu sendiri, tanpa adanya pemikiran untuk kemungkinan­-kemungkinan penerapannya lebih jauh. Sedangkan Ilmu indus­trial memusatkan diri pada pengkajian efek-efek teknologis dari pegetahuan ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu murni. Titik berat perhatian "ilmu industrial" terletak pada kemampuan instru­mental ilmu dalam memecahkan problem-problem praktis baik untuk kepentingan politik, militer, atau pun komersial. Dan "Ilmu industrial" inilah yang merupakan komponen utama dari "teknologi".
Dari uraian tersebut dapat kita temukan benang epistemologis relasi antara ilmu dan teknologi. Persoalan selanjutnya adalah apakah teknologi itu.
Dalam Dictionary Of Philosophy, Secara etimologis, akar kata "teknologi" adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang ber­kaitan dengan pembuatan suatu objek atau kecakapan tertentu; pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode; seni. Dalam tradisi Yunani, "logos" merniliki arti yang luas yang mengacu baik tata pikir maupun keteraturan benda-benda. [9]
The Liang Gie menyatakan bahwa "Techne" memiliki kemiripan makna dengan "epis­teme" (pengetahuan) dalam arti pengetahuan tentang prinsip-prin­sip, namun "techne" berkaitan dengan tujuan untuk "membuat" atau "mengerjakan", sedangkan "episteme" berkaitan dengan pe­mahaman. Adapun "logos" sebagai akar kata "logi", tidak me­ngacu pada status "ilmiah" dari teknologi, sebagaimana ditemukan dalam istilah "antropologi", "biologi", "sosiologi", namun lebih mengacu pada makna "tata pikir" atau pun "keteraturan", sebagai­mana ditemukan dalam istilah "kronologi" dan "ideologi".
Ada beberapa pendapat terkait dengan term teknologi yang dikaitkan dengan dimensi ilmu pengetahuan, diantaranya yaitu:
1.             Teknologi adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (natural science).[10] Pengertian ini adalah pengertian "teknologi" yang pa­ling banyak digunakan dalam berbagai lingkup kehidupan. Pernya­taan "teknologi adalah penerapan ilmu" dengan mudah dapat dite­mukan pada mimbar kuliah maupun pada pengerjaan proyek fisik.
2.             Teknologi merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial, atau sebutan singkatnya, sebagai ilmu industrial.
3.             Bunge menyatakan bahwa teknologi adalah ilmu terapan (applied science) yang dipilahnya menjadi empat cabang, yakni: teknologi fisik (misal, teknik mesin, teknik sipil); teknologi biologis (misal, farmakologi); teknologi sosial (misal, riset operasi), teknologi pikir (misal, ilmu komputer).
4.             Feibleman memandang teknologi sebagai perte­ngahan antara "ilmu murni" dan "ilmu terapan", atau merujuk pada makna teknologi sebagai "keahlian" (skill).
5.             Menggunakan makna yang lebih dekat dan asli, Layton memahami teknologi sebagai pengetahuan.
6.             Sedangkan Karl Mark menggunakan istilah "tekno­logi" dalam tiga makna yang berbeda, yakni sebagai "alai kerja", "pengajaran praktis dari sekolah industrial", dan "ilmu tentang tek­nik".[11]
Dari berbagai definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa terdapat beberapa pendapat, yaitu: Pertama, tek­nologi bukan ilmu, melainkan penerapan ilmu. Kedua, teknologi merupakan ilmu, yang dirumuskan dalam kaitan dengan aspek eksternal, yaitu industri, dan aspek internal yang dikaitkan dengan objek material "ilmu" maupun aspek "murni-terapan". Dan ketiga, teknologi merupakan "keahlian" yang terkait dengan realitas kehi­dupan sehari-hari.
Untuk lebih memperjelas perbedaan ilmu dan tekologi, The Liang Gie mengumpulkan tujuh pembeda, yakni:
Perrtama, Teknologi merupakan suatu sistem adaptasi yang efisien untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan akhir dari teknologi adalah untuk memecahkan masalah-masalah material manusia, atau untuk membawa pada perubahan-perubahan prak­tis yang diimpikan manusia. Sedangkan ilmu bertujuan untuk me­mahami dan menerangkan fenomena fisik, biologis, psikologis, dan dunia sosial manusia secara empiris.
Kedua, Ilmu berkaitan de­ngan pemahaman dan bertujuan untuk meningkatkan pikir ma­nusia, sedangkan teknologi memusatkan diri pada manfaat dan tujuannya adalah untuk menambah kapasitas kerja manusia.
Ketiga, Tujuan ilmu adalah memajukan pembangkitan pengetahuan, se­dangkan tujuan teknologi adalah memajukan kapasitas teknis da­lam membuat barang atau layanan.
Keempat, perbedaan ilmu dan teknologi terkait dengan pemegang peran. Bagi dia ilmuwan diharapkan untuk mencari pengetahuan murni dari jenis tertentu, sedangkan teknolog untuk tujuan ter­tentu. Ilmuwan "mencari tahu", teknolog "mengerjakan".
Kelima, Ilmu bersifat "supranasional" (mengatasi batas negara), sedangkan teknologi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu.
Keenam, Input teknologi bermacam-macam jenis, yaitu: material alamiah, daya alamiah, keahlian, teknik, alat, mesin, ilmu maupun penge­tahuan dari berbagai macam, misalnya: akal sehat, pengalaman, ilham, intuisi, dan lain-lain. Adapun input ilmu adalah pengetahuan yang telah tersedia.
Ketujuh, Output ilmu adalah "pengetahuan barn", sedangkan teknologi menghasilkan produk berdimensi tiga.[12]
Dari penelusuran terhadap konsep "ilmu" dan "teknologi" dengan berbagai aspek dan nuansanya, kiranya mulai jelas keter­kaitan antara ilmu dan teknologi. Beberapa "titik singgung" antara keduanya dapat penulis di sini: (1) Bahwa baik ilmu maupun teknologi merupakan komponen dari kebudayaan.[13] (2) Baik ilmu maupun teknologi memiliki aspek ideasional maupun faktual, dimensi abstrak maupun konkrit, dan aspek teoritis mau­pun praktis. (3) Terdapat hubungan dialektis (timbal balik) antara ilmu dan teknologi. Pada satu sisi ilmu menyediakan bahan pen­dukung penting bagi kemajuan teknologi yakni berupa teori-teori; pada sisi lain penemuan-penemuan teknologis sangat membantu perluasan cakrawala penelitian ilmiah, yakni dengan dikembang­kannya perangkat-perangkat penelitian berteknologi mutakhir. Bahkan dapat dikatakan, dewasa ini kemajuan ilmu mengandaikan dukungan teknologi, sebaliknya, kemajuan teknologi mengandai­kan dukungan ilmu. (4) Sebagai klarifikasi konsep, istilah "ilmu" lebih tepat dikaitkan dengan konteks "teknologis", sedangkan isti­lah "pengetahuan" lebih sesuai bila digunakan dalam konteks "teknis".

2.      Ilmu dan Budaya.
De­finisi kebudayaan pertamakali dibuat oleh Taylor (1871). Dia mengatakan bahwa kebudayaan (culture atau civilization) seba­gai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keper­cayaan, seni, hukum, moral, adat kebiasaan, dan kemampuan-­kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia seba­gai anggota masyarakat.[14]
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.[15].
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh produk aktifitas manusia baik yang bersifat material maupun spiritual (non material).
Produk material men­cakup semua unsur kebudayaan yang bersifat material, seperti: alat teknologis, arsitektur, biokultural, dan sebagainya. Sedangkan produk nonmaterial meliputi semua unsur kebudayaan yang ber­sifat nonmaterial, misalnya: bahasa, sistem nilai, sistem pengeta­huan, kosmologi, kosmogoni, ekologi, dan lain sebagainya. Seba­gai gambaran singkat, menghadapi tantangan alam, manusia menciptakan alat-alat yang membantunya merubah lingkungan menjadi sesuatu seperti yang dibutuhkan atau dikehendakinya. Dengan alat-alat yang dibuatnya manusia merubah lingkungan alamiah menjadi lingkungan buatan. Selain menghasilkan hal-hal material, melalui bahasanya manusia mencipta sistem simbol dan membangun sistem pengetahuannya. Sistem simbol tersebut meresapi hampir semua aspek kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Dari sini bisa ditemukan hal material ter­tentu yang sama, bisa memiliki makna berbeda bagi dua kebu­dayaan yang berlainan, karena masing-masing kebudayaan memi­liki sistem pemaknaan yang tidak sama. Pembentukan kebuda­yaan nonmaterial selalu berjalan seiring dengan aktivitas manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya.
Menurut Krober, sebagaimana dikutip oleh time dosen UGM, paling tidak ada tiga komponen yang mencirikan klasifikasi bagian wilayah kabudayaan, yaitu:
a.       Hubungan antara manusia dengan alam, yang berkaitan dengan upaya-upaya manusia mempertahankan kelang­sungan hidupnya, teknik, kebudayaan "material";
b.      Hubungan antar manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat;
c.       Aspek-aspek subjektif, gagasan, perilaku dan nilai dan tindakan, ilham, kebu­dayaan "spiritual"[16].
Melihat definisi dan ruang lingkup kebudayaan, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan bukanlah sebuah proses yang statis, karena kebudayaan merupakan kisah tentang perubahan-perubahan yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang telah ada.
Perubahan-perubahan tersebut, menurut Berger, dibentuk oleh momentum proses, yaitu:
-            Eksternalisasi.
Eksternalisasi adalah suatu aktualisasi diri manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi merupakan konsekwensi antropologis. Keber­adaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Dalam momentum eksternalisasi ini, aktivitas mental manusia menciptakan simbol, bahasa, sistem nilai, norma, maupun unsur-unsur ideasional yang lain. Adapun aktivitas fisik manusia adalah menciptakan barang-barang atau pun alat tekno­logis untuk memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Keseluruhan hasil eksternalisasi tersebut, baik yang mental maupun yang fisik, disebut sebagai "kebudayaan" atau "dunia manusia".
-            Objektivasi, adalah proses transformasi pro­duk-produk aktivitas fisik maupun mental manusia menjadi suatu realitas yang berhadapan dengan produsernya dalam bentuk ke­faktaan (faktisitas) yang eksternal dan berbeda dari produsernya sendiri.
-            Internalisasi.
Internalisasi adalah peresapan, kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur kesadaran subjektif. Bagian terpenting dari momentum proses internalisasi ada­lah sosialisasi.
Sosialisasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder. Sosialisasi primer adalah berbagai proses peng­alihan atau transformasi "cadangan pengetahuan masyarakat" ke dalam kesadaran subjektif individu, yang berbeda antara masyarakat yang satu de­ngan masyarakat lain sesuai dengan latar sosio-historis mereka. Melalui sosialisasi primer ini "dunia" setiap individu terbentuk, berikut un­sur-unsur ideasionalnya maupun tata hubungan internal dan eks­ternal antar unsur tersebut. Lebih lanjut melalui sosialisasi primer ini setiap indi­vidu mengenal dan memahami hubungan kekerabatan, hubungan sosial, hubungan ekonomis, hubungan politis, dan juga tata nilai dalam masyarakat atau habitatnya.
Yang kedua adalah Sosialisasi Sekunder, yaitu internalisasi sejumlah "subdunia" kelembagaan atau ber­dasarkan lembaga dengan tujuan untuk memperoleh pengeta­huan khusus sesuai dengan peranannya dalam masyarakat.[17]
Dalam kerangka pikir yang demikian, melalui eksternalisasi, ma­syarakat merupakan produk manusia. Namun melalui objektivasi, masyarakat menjadi suatu "realitas" objektif. Sedangkan melalui internalisasi, dapatlah dinyatakan bahwa manusia merupakan pro­duk dari masyarakat.
Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana relasi budaya dan ilmu dan konteks dinamika kebudayaan ini.
Dari proses internalisasi kebudayaan, perkembangan tradisi keilmuan ini terlihat bahwa "ilmu" memiliki peranan yang besar baik dalam menjaga "stabilitas dunia objektif" melalui sosialisasi sekunder, ataupun dilain pihak "mem­bongkar" realitas objektif sebagaimana dijamin oleh teori-teori ilmu yang telah ada dan menggantikannya dengan "realitas objektif yang baru melalui teori-teori keilmuan yang baru. Sejarah per­kembangan ilmu telah mencatat beberapa "pembongkaran dunia objektif' yang "dirintis" oleh Copernikus, juga sederet nama di bidang ilmu alam maupun ilmu sosial huimaniora.
Dengan demikian adanya pemahaman yang memisahkan "ilmu" dan "kebudayaan" baik secara konseptual maupun secara faktual tidak dapat diterima lagi. "llmu" merupakan komponen penting dari "kebudayaan".

3.      Budaya dan Teknologi.
Berbeda dengan peran ilmu yang sangat besar dalam pembentukan dan pengkayaan simbolis manusia dalam realitas objektif, teknologi lebih berperan membangun unsur material kebudayaan manusia. Bila pada mileneum pertama se­belum Abad Masehi manusia bergumul antara dua aktivitas, yakni merenung dan berpikir, setelah masa itu manusia terlibat dalam pergulatan baru, yakni berpikir dan bertindak. Bila pada masa Yu­nani Kuno manusia merenung dan berpikir tentang hakikat du­nia, setelah Abad Masehi manusia berpikir dan bertindak terhadap dunia. Perubahan dari kesadaran pertama yang berupa berpikir tentang pikiran (thinking of thinking) menjadi berpikir tentang tindakan (thinking of acting) merupakan perubahan yang esen­sial. Perubahan dari alam theoria ke alam praxis, secara seder­hana menggambarkan pula peningkatan peran teknologi dalam kebudayaan manusia. Bahkan teknologi sendiri memiliki suatu potensi merubah kesadaran intelektual dan moral dari diri individu manusia.[18]
Dengan demikian, seperti halnya "realitas nilai" yang terbentuk dalam momentum proses eksternalisasi, teknologi yang juga merupakan bagian dari "realitas objektif" pada akhirnya memiliki peranan yang besar terhadap komponen kebudayaan yang lain, maupun terhadap manusia sen­diri. Pada tingkat tertentu teknologi mengkondisikan kebuda­yaan. Teknologi komputer dengan jaringan Internetnya, misal­nya, telah mengkondisikan manusia baik secara individual maupun sosial secara berbeda dengan "dunia tanpa teknologi komputer". Teknologi komputer dan jaringan Internet, yang buatan manusia, pada akhirnya menuntut pembuatnya untuk menerima pola-pola hubungan baru, tata nilai baru, bahkan suatu "dunia" baru, yakni "dunia Cyberspace".

C.    PENUTUP
Uraian di atas terlihat bahwa ilmu, teknologi, dan kebudayaan merupakan realitas yang saling terkait, meskipun relasi itu pada aspek ab­strak-ideasional dan aspek konkrit-operasional.
Kedua aspek tersebut saling berhubungan, sehingga telah terhadap hubungan an­tara ilmu, teknologi, dan kebudayaan mau tidak mau meski mempertimbangkan dinamika hubungan antara aspek konkrit dan ab­strak pada ketiganya. Mengabaikan salah satu aspek hanya akan menghasilkan telaah yang timpang tindih (over lap).

DAFTAR PUSTAKA
1.      Brinkmann, Donald, Technology as Philosophic Problem, Ohio: Messeger Press, 1971.
2.      Berger, Peter, L., Langit Suci, (asli: The Sacred Canopy, alih bahasa: Hartono), Jakarta: LP3ES 1991.
3.      John Ziman, An Introduction to Science and Technology, The philosophical and social aspects of science and technology, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
4.      Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Putaka Sinar Harapan, 2003.
5.      __________, Ilmu Dalam Prespektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1978.
6.      Leonard Siregar, “Antropologi Dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, (Volume 1. No. 1, Agustus 2002).
7.      Moser, Simon, 'Toward  Metaphysics of Technology'. dalam: Philosophy Today, No. 15, Ohio: Messeger Press, 1971.
8.      Runes Dagobert D, Dictionary Of Philosophy, New jersy: Litle field, 1976.
9.      Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan bintang, 1992.
10.  Stewart Ricards, An Introduction to : Philosophy of sociology of Science, Oxford, TJ Press, 1983.
11.  Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2008.
12.  Sudarminta, "Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern" dalam: Sastraprateja. ed., Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983.
13.  The Liang Gie, The Interrelationships of Science and Technology, Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982.
14.  Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, Jogjakarta; Liberti 2003.


[1] Sudarminta, "Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern" dalam: Sastraprateja. ed., Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), 121-139.
[2] Gazalba. Sidi, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), 39.
[3] Stewart Ricards, An Introduction to : Philosophy of sociology of Science, (Oxford, TJ Press, 1983)., hlm. 28
[4] Lihat: Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 58.
[5] Lihat: Gie. The Liang, The Interrelationships of Science and Technology, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 17.
[6] Contoh ini penulis ambil dari Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Jogjakarta; Liberti 2003), 150.
[7] Lihat: Gie. The Liang, The Interrelationships of Science, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 25-26. Mengenai Sistematika ilmu ini, Peter RR Senn membagi menjadi 4 komponen, yaitu 1. rumusan massalah, 2. pengamatan dan deskripsi, 3. penjelasan, dan 4. ramalan dan control. Lihat dalam: Jujun S. Suriasumantri, ilmu dalam prespektif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1978), 111.
[8] Lihat: Ziman, John, An Introduction to Science and Technology, The philosophical and social aspects of science and technology, (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 3.
[9] Runes. Dagobert D, Dictionary Of Philosophy, (New jersy: Litle field, 1976), 314.
[10] Brinkmann, Donald, Technology as Philosophic Problem, (Ohio: Messeger Press, 1971), 125.
[11] Klaisifikasi no 2-5 penulis simpulkan dari: Gie. The Liang, The Interrelationships of Science, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 82-84.
[12] Gie. The Liang, The Interrelationships of Science, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 85-91.
[13]Mengenai budaya ini akan diurai pada sub bab tersendiri dalam makalah ini.
[14] Suriassumantri. Jujun S. filsafat ilmu, Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Putaka Sinar Harapan, 2003), 261.
[15] Leonard Siregar, “Antropologi Dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, (Volume 1. No. 1, Agustus 2002), th
[16] Lihat: Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Jigjakarta; Liberti 2003), 158.
[17] Berger, Peter, L., Langit Suci, (asli: The Sacred Canopy, alih bahasa: Hartono), (Jakarta: LP3ES 1991), 198.
[18] Moser, Simon, 'Toward a Metaphysics of Technology'. Jalam: Philosophy Today, No. 15,(Ohio: Messeger Press, 1971), 139.

No comments:

Post a Comment