ILMU, TEKNOLOGI, DAN BUDAYA
A. PENDAHLUAN
Sepanjang sejarah perkembanganya, ilmu sampai saat
ini selalu mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dari kehidupan manusia.
Pada dataran praktis-operasional, selalu diperbincangkan kembali hubungan
timbal balik antara ilmu dan teknologi. Sering muncul polemik, terutama di
negara berkembang, manakah yang lebih penting, antara mengembangkan
"ilmu" melalui pengembangan "ilmu murni" (pure science)
dan "ilmu dasar" (basic science), dengan mengembangkan
"teknologi" melalui "alih teknologi" maupun "industrialisasi"?
Pada level nilai-ideasional,
muncul permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan kedudukan dan peran
ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban manusia, baik yang berkaitan
dengan pergeseran nilai maupun yang terkait dengan berbagai dampak ideasional
dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap komponen-komponen pengetahuan
manusia yang lain. Gejala-gejala seperti "modernisasi",
"globalisasi", "teknokrasi", "teknophobia",
"teknofilia", "teknosofi" adalah contoh betapa besar
pengaruh ilmu dan teknologi terhadap kebudayaan manusia.
Konsekwensi dari
itu, gejala meluas dan meningkatnya peran "ilmu" dan
"teknologi" terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, yang oleh
Hebert Marcuse digambarkan hanya akan membawa manusia pada
"keterasingan" (alineasi) terhadap diri sendiri dan masyarakatnya,
maupun mengantar manusia pada suatu kondisi yang "berdimensi satu".[1]
Dalam masyarakat yang demikian realitas sosial-budaya merupakan realitas
berdimensi tunggal, yakni dimensi teknologis. Manusia dan kebudayaannya
"dikuasai" oleh "ilmu" dan "teknologi". Apakah
kemudian dapat dikatakan bahwa, "ilmu" dan "teknologi"
merusak "kebudayaan asli" suatu bangsa? Apakah "teknologi"
sendiri merupakan suatu "budaya", yang memiliki sistem nilai dan
struktur sosial tertentu?
Berangkat dari kerangka berfikir di atas, rumusan masalah
yang hendak pemakalah angkat adalah bagaimana hubungan ilmu, teknologi, dan
budaya serta keberadayaanya dalam perkembangan peradaban manusia.
B. PEMBAHASAN
1. Ilmu
dan Teknologi.
Berbicara tentang ilmu, sebenarnya telah banyak dibicarakan
pada tema-tema diskusi sebelumnya. Namun dalam rangka untuk menegaskan kajian
teoritis dan sitematika kajian tema ini agar tidak lepas dari frame kajian,
perlu penulis urai lebih lanjut dalam makalah ini.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab I’lmun
yang berarti pengetahuan. Pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia kita
samakan dengan istilah science. Oleh karenanya, dalam hal ini, Sidi
Gazalba menyebut ilmu sebagai science. Science berasal dari
bahasa latin: scio, scire, yang juga berarti pengetahuan[2].
Stewart Ricards mendefinisikan ilmu
sebagai pengetahuan tentang realitas yang nyata yang dipastikan oleh
pengamatan, pengujian kritis dan pengklasifikasian sistematis di bawah
prinsip-prinsip umum. Pengetahuan juga mampu menjelaskan penemuan-penemuan
nilai-nilai masa lalu dan mampu membuat prediksi untuk masa depan melalui
pemahaman kausalita. Ilmu pengetahuan juga harus bersifat universal tidak
terikat oleh ruang dan waktu, dapat dinyatakan dengan tegas, dapat dipahami,
memmpunyai keterkaitan empiris yang bisa diuji persesuaian antara teori dan
implikasi praktisnya.[3]
Menurut Surojiyo, definisi ilmu
melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (Problem),
sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity),
kesimpulan (conclution) dan pengaruh (effects).[4]
1.
Masalah (Problem)
Tiga karakteristik yang menunjukkan
masalah bersifat scientific, yaitu: Communicabilility (sesuatu yang
patut dikomunikasikan), The Scientific attitude meliputi karakteristik
curiosity, spekulativeness, willingness to be objective, willingness to suspend
judgement dan tentativty. The scientific method (masalah dapat diuji/ testable)
2.
Sikap (attitude)
Karakteristik Sikap (attitude)yang
harus dipenuhi antara lain : curiosity (rasa ingin tahu), spekulativeness
(mempunyai hasrat memecahkan masalah melalui hipotesis-hipotesis), willingness
to be objective (hasrat bertindak objektif), willingness to suspend judgement
dan tentativty (Sabar dlm observasi dan bersikap bijak dlm menentukan kebijakan
berdasar bukti-bukti yang dikumpulkan karena apa yang ditemukan masih bersifat
tentatif.
3.
Metode (method)
Essensi dari Sains adalah metode-nya,
akan tetapi para scientist tidak memiliki metode ide yang pasti yang dapat
ditunjukkan sebagai sesuatu yang absolute/ mutlak.
4.
Aktivitas (activity)
Sains adalah lahan yang dikerjakan para
scientist melalui apa yang disebut scientific research.
5.
Kesimpulan (conclution)
Sains lebih sering dipahami sebagai
batang tubuh pengetahuan dan kesimpulan merupakan pemahaman yang dicapai
sebagai hasil pemecahan masalah.
6.
Pengaruh (effects)
Apa yang dihasilkan science pada
akhirnya memberikan berbagai pengaruh. Pertama pengaruh ilmu terhadap ekologi
melalui apa yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu
terhadap apa atau dalam masarakat serta membudayakannya menjadi berbagai macam
nilai.
Memahami ruang
lingkup Ilmu di atas, ilmu tidak lepas dari sebuah aktifitas berantai dari
persoalan masalah (Problem), sikap (attitude),
metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution)
dan pengaruh (effects).
Hal ini sefaham
dengan pendapat The Liang Gie. Dia
mengatakan bahwa ilmu didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas
manusia yang manusiawi (human), bertujuan (purposeful), dan berhubungan dengan
kesadaran (cognitive).[5]
Lebih lanjut, The Liang Gie menyatakan bahwa serangkaian
aktifitas ilmu atau yang disebut dengan "aktivitas ilmiah" pada
dasarnya terdiri atas dua bagian, yakni bagian substantif atau isi, dan
bagian procedural atau metode. Kedua bagian tersebut dalam kenyataannya
tidak bisa dipisahkan, hanya dapat dibedakan dalam analisa. Sebagai gambaran,
aktivitas pengukuran luas suatu bidang tidak beraturan mensyaratkan adanya
objek bidang tidak beraturan (bagian substantif) dan prosedur atau metode pengukuran
bidang tidak beraturan. Atau sebagai gambaran di bidang ilmu sosial, aktivitas
penelitian tentang motivasi bela negara terhadap taruna AKABRI mensyaratkan
adanya taruna AKABRI sebagai responden (bagian substantif) dan metode ataupun
prosedur penelitian sosial tertentu yang digunakan untuk menjaring data yang
berkaitan dengan motivasi bela negara.[6]
Namun ketika ilmu dilihat dari sudut pandang
sistematika, ilmu menyangkut tiga hal, yaitu:
o Proses, ilmu sebagai suatu proses artinya ilmu menunjuk pada
"penelitian ilmiah".
o Prosedur, ilmu sebagai suatu prosedur, maka hal tersebut
mengacu pada "metode Ilmiah".
o Produk, artinya bila ilmu dilihat sebagai produk (hasil),
maka yang dimaksud dengannya adalah "pengetahuan ilmiah".[7]
Sebagaimana yang telah ditulis Ziman dalam bukunya
an Introduction To Science And Technology, The Philosophy And Social Aspects
Of Science And Technology, dia menyebutkan bahwa dilihat dari sudut pandang
sosiologi ilmu, dimensi ilmu dapat dibedakan antara sudut pandang
"internal" dan sudut pandang "eksternal". Sudut pandang
"internal" mengacu pada Ilmu akademis" (academic science),
sedangkan sudut pandang "eksternal" mengacu pada "ilmu
industrial" (industrial science).[8]
Perbedaan yang jelas dari keduanya adalah bahwa "Ilmu
akademis" relatif lebih menekankan pada pengkayaan tubuh pengetahuan
ilmiah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, tanpa adanya pemikiran untuk
kemungkinan-kemungkinan penerapannya lebih jauh. Sedangkan Ilmu industrial
memusatkan diri pada pengkajian efek-efek teknologis dari pegetahuan ilmiah
yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu murni. Titik berat perhatian "ilmu
industrial" terletak pada kemampuan instrumental ilmu dalam memecahkan
problem-problem praktis baik untuk kepentingan politik, militer, atau pun
komersial. Dan "Ilmu industrial" inilah yang merupakan komponen utama
dari "teknologi".
Dari uraian tersebut dapat kita temukan benang
epistemologis relasi antara ilmu dan teknologi. Persoalan selanjutnya adalah
apakah teknologi itu.
Dalam Dictionary Of Philosophy, Secara etimologis,
akar kata "teknologi" adalah "techne" yang berarti
serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu
objek atau kecakapan tertentu; pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode;
seni. Dalam tradisi Yunani, "logos" merniliki arti yang luas yang
mengacu baik tata pikir maupun keteraturan benda-benda. [9]
The Liang Gie menyatakan bahwa "Techne"
memiliki kemiripan makna dengan "episteme" (pengetahuan) dalam arti
pengetahuan tentang prinsip-prinsip, namun "techne" berkaitan dengan
tujuan untuk "membuat" atau "mengerjakan", sedangkan
"episteme" berkaitan dengan pemahaman. Adapun "logos"
sebagai akar kata "logi", tidak mengacu pada status
"ilmiah" dari teknologi, sebagaimana ditemukan dalam istilah
"antropologi", "biologi", "sosiologi", namun lebih
mengacu pada makna "tata pikir" atau pun "keteraturan",
sebagaimana ditemukan dalam istilah "kronologi" dan
"ideologi".
Ada beberapa pendapat terkait dengan term teknologi
yang dikaitkan dengan dimensi ilmu pengetahuan, diantaranya yaitu:
1.
Teknologi
adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (natural science).[10]
Pengertian ini adalah pengertian "teknologi" yang paling banyak
digunakan dalam berbagai lingkup kehidupan. Pernyataan "teknologi adalah
penerapan ilmu" dengan mudah dapat ditemukan pada mimbar kuliah maupun
pada pengerjaan proyek fisik.
2.
Teknologi
merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial, atau sebutan
singkatnya, sebagai ilmu industrial.
3.
Bunge
menyatakan bahwa teknologi adalah ilmu terapan (applied science) yang
dipilahnya menjadi empat cabang, yakni: teknologi fisik (misal, teknik mesin,
teknik sipil); teknologi biologis (misal, farmakologi); teknologi sosial (misal,
riset operasi), teknologi pikir (misal, ilmu komputer).
4.
Feibleman
memandang teknologi sebagai pertengahan antara "ilmu murni" dan
"ilmu terapan", atau merujuk pada makna teknologi sebagai
"keahlian" (skill).
5.
Menggunakan
makna yang lebih dekat dan asli, Layton memahami teknologi sebagai pengetahuan.
6.
Sedangkan
Karl Mark menggunakan istilah "teknologi" dalam tiga makna yang
berbeda, yakni sebagai "alai kerja", "pengajaran praktis dari
sekolah industrial", dan "ilmu tentang teknik".[11]
Dari berbagai definisi di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa terdapat beberapa pendapat, yaitu: Pertama, teknologi
bukan ilmu, melainkan penerapan ilmu. Kedua, teknologi merupakan ilmu,
yang dirumuskan dalam kaitan dengan aspek eksternal, yaitu industri, dan aspek
internal yang dikaitkan dengan objek material "ilmu" maupun aspek
"murni-terapan". Dan ketiga, teknologi merupakan
"keahlian" yang terkait dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Untuk lebih memperjelas perbedaan ilmu dan tekologi,
The Liang Gie mengumpulkan tujuh pembeda, yakni:
Perrtama, Teknologi merupakan suatu sistem
adaptasi yang efisien untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan akhir dari teknologi adalah untuk memecahkan masalah-masalah material
manusia, atau untuk membawa pada perubahan-perubahan praktis yang diimpikan
manusia. Sedangkan ilmu bertujuan untuk memahami dan menerangkan fenomena
fisik, biologis, psikologis, dan dunia sosial manusia secara empiris.
Kedua, Ilmu berkaitan dengan pemahaman dan
bertujuan untuk meningkatkan pikir manusia, sedangkan teknologi memusatkan
diri pada manfaat dan tujuannya adalah untuk menambah kapasitas kerja manusia.
Ketiga, Tujuan ilmu adalah memajukan
pembangkitan pengetahuan, sedangkan tujuan teknologi adalah memajukan
kapasitas teknis dalam membuat barang atau layanan.
Keempat, perbedaan ilmu dan teknologi terkait
dengan pemegang peran. Bagi dia ilmuwan diharapkan untuk mencari pengetahuan
murni dari jenis tertentu, sedangkan teknolog untuk tujuan tertentu. Ilmuwan
"mencari tahu", teknolog "mengerjakan".
Kelima, Ilmu bersifat "supranasional"
(mengatasi batas negara), sedangkan teknologi harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan tertentu.
Keenam, Input teknologi bermacam-macam jenis,
yaitu: material alamiah, daya alamiah, keahlian, teknik, alat, mesin, ilmu
maupun pengetahuan dari berbagai macam, misalnya: akal sehat, pengalaman,
ilham, intuisi, dan lain-lain. Adapun input ilmu adalah pengetahuan yang telah
tersedia.
Ketujuh, Output ilmu adalah "pengetahuan
barn", sedangkan teknologi menghasilkan produk berdimensi tiga.[12]
Dari penelusuran terhadap konsep "ilmu"
dan "teknologi" dengan berbagai aspek dan nuansanya, kiranya mulai
jelas keterkaitan antara ilmu dan teknologi. Beberapa "titik
singgung" antara keduanya dapat penulis di sini: (1) Bahwa baik ilmu
maupun teknologi merupakan komponen dari kebudayaan.[13]
(2) Baik ilmu maupun teknologi memiliki aspek ideasional maupun faktual,
dimensi abstrak maupun konkrit, dan aspek teoritis maupun praktis. (3)
Terdapat hubungan dialektis (timbal balik) antara ilmu dan teknologi. Pada satu
sisi ilmu menyediakan bahan pendukung penting bagi kemajuan teknologi yakni
berupa teori-teori; pada sisi lain penemuan-penemuan teknologis sangat membantu
perluasan cakrawala penelitian ilmiah, yakni dengan dikembangkannya
perangkat-perangkat penelitian berteknologi mutakhir. Bahkan dapat dikatakan,
dewasa ini kemajuan ilmu mengandaikan dukungan teknologi, sebaliknya, kemajuan
teknologi mengandaikan dukungan ilmu. (4) Sebagai klarifikasi konsep, istilah
"ilmu" lebih tepat dikaitkan dengan konteks "teknologis",
sedangkan istilah "pengetahuan" lebih sesuai bila digunakan dalam
konteks "teknis".
2. Ilmu
dan Budaya.
Definisi kebudayaan pertamakali dibuat
oleh Taylor (1871). Dia mengatakan bahwa kebudayaan (culture atau civilization)
sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
seni, hukum, moral, adat kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain
yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat.[14]
Kebudayaan
adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian
tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Kebudayaan
menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok
penduduk tertentu.[15].
Jadi
secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh produk
aktifitas manusia baik yang bersifat material maupun spiritual (non material).
Produk material mencakup semua unsur kebudayaan
yang bersifat material, seperti: alat teknologis, arsitektur, biokultural, dan
sebagainya. Sedangkan produk nonmaterial meliputi semua unsur kebudayaan yang
bersifat nonmaterial, misalnya: bahasa, sistem nilai, sistem pengetahuan,
kosmologi, kosmogoni, ekologi, dan lain sebagainya. Sebagai gambaran singkat,
menghadapi tantangan alam, manusia menciptakan alat-alat yang membantunya
merubah lingkungan menjadi sesuatu seperti yang dibutuhkan atau dikehendakinya.
Dengan alat-alat yang dibuatnya manusia merubah lingkungan alamiah menjadi
lingkungan buatan. Selain menghasilkan hal-hal material, melalui bahasanya
manusia mencipta sistem simbol dan membangun sistem pengetahuannya. Sistem
simbol tersebut meresapi hampir semua aspek kehidupan, baik yang bersifat
material maupun nonmaterial. Dari sini bisa ditemukan hal material tertentu
yang sama, bisa memiliki makna berbeda bagi dua kebudayaan yang berlainan,
karena masing-masing kebudayaan memiliki sistem pemaknaan yang tidak sama. Pembentukan
kebudayaan nonmaterial selalu berjalan seiring dengan aktivitas manusia yang
secara fisis mengubah lingkungannya.
Menurut
Krober, sebagaimana dikutip oleh time dosen UGM, paling tidak ada tiga komponen
yang mencirikan klasifikasi bagian wilayah kabudayaan, yaitu:
a.
Hubungan
antara manusia dengan alam, yang berkaitan dengan upaya-upaya manusia
mempertahankan kelangsungan hidupnya, teknik, kebudayaan "material";
b.
Hubungan
antar manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan
hasil dalam kebudayaan masyarakat;
c.
Aspek-aspek
subjektif, gagasan, perilaku dan nilai dan tindakan, ilham, kebudayaan
"spiritual"[16].
Melihat definisi dan ruang lingkup
kebudayaan, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan bukanlah sebuah
proses yang statis, karena kebudayaan merupakan kisah tentang
perubahan-perubahan yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan
yang telah ada.
Perubahan-perubahan tersebut, menurut Berger,
dibentuk oleh momentum proses, yaitu:
-
Eksternalisasi.
Eksternalisasi adalah suatu aktualisasi
diri manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun
mentalnya. Eksternalisasi merupakan konsekwensi antropologis. Keberadaan
manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang
tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus menerus
mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Dalam momentum eksternalisasi ini,
aktivitas mental manusia menciptakan simbol, bahasa, sistem nilai, norma,
maupun unsur-unsur ideasional yang lain. Adapun aktivitas fisik manusia adalah
menciptakan barang-barang atau pun alat teknologis untuk memenuhi hasrat dan
kebutuhannya. Keseluruhan hasil eksternalisasi tersebut, baik yang mental
maupun yang fisik, disebut sebagai "kebudayaan" atau "dunia
manusia".
-
Objektivasi,
adalah proses
transformasi produk-produk aktivitas fisik maupun mental manusia menjadi suatu
realitas yang berhadapan dengan produsernya dalam bentuk kefaktaan
(faktisitas) yang eksternal dan berbeda dari produsernya sendiri.
-
Internalisasi.
Internalisasi adalah peresapan, kembali
realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari
struktur dunia objektif ke struktur kesadaran subjektif. Bagian terpenting dari
momentum proses internalisasi adalah sosialisasi.
Sosialisasi dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder. Sosialisasi
primer adalah berbagai proses pengalihan atau transformasi "cadangan
pengetahuan masyarakat" ke dalam kesadaran subjektif individu, yang
berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain sesuai dengan latar
sosio-historis mereka. Melalui sosialisasi primer ini "dunia" setiap
individu terbentuk, berikut unsur-unsur ideasionalnya maupun tata hubungan
internal dan eksternal antar unsur tersebut. Lebih lanjut melalui sosialisasi
primer ini setiap individu mengenal dan memahami hubungan kekerabatan,
hubungan sosial, hubungan ekonomis, hubungan politis, dan juga tata nilai dalam
masyarakat atau habitatnya.
Yang kedua adalah Sosialisasi
Sekunder, yaitu internalisasi sejumlah "subdunia" kelembagaan
atau berdasarkan lembaga dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan khusus
sesuai dengan peranannya dalam masyarakat.[17]
Dalam kerangka pikir yang demikian, melalui
eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia. Namun melalui
objektivasi, masyarakat menjadi suatu "realitas" objektif. Sedangkan
melalui internalisasi, dapatlah dinyatakan bahwa manusia merupakan produk dari
masyarakat.
Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana relasi
budaya dan ilmu dan konteks dinamika kebudayaan ini.
Dari proses internalisasi kebudayaan, perkembangan tradisi
keilmuan ini terlihat bahwa "ilmu" memiliki peranan yang besar baik
dalam menjaga "stabilitas dunia objektif" melalui sosialisasi
sekunder, ataupun dilain pihak "membongkar" realitas objektif
sebagaimana dijamin oleh teori-teori ilmu yang telah ada dan menggantikannya
dengan "realitas objektif yang baru melalui teori-teori keilmuan yang
baru. Sejarah perkembangan ilmu telah mencatat beberapa "pembongkaran
dunia objektif' yang "dirintis" oleh Copernikus, juga sederet nama di
bidang ilmu alam maupun ilmu sosial huimaniora.
Dengan demikian adanya pemahaman yang memisahkan
"ilmu" dan "kebudayaan" baik secara konseptual maupun
secara faktual tidak dapat diterima lagi. "llmu" merupakan komponen
penting dari "kebudayaan".
3. Budaya
dan Teknologi.
Berbeda dengan peran ilmu yang sangat besar dalam
pembentukan dan pengkayaan simbolis manusia dalam realitas objektif, teknologi
lebih berperan membangun unsur material kebudayaan manusia. Bila pada mileneum
pertama sebelum Abad Masehi manusia bergumul antara dua aktivitas, yakni
merenung dan berpikir, setelah masa itu manusia terlibat dalam pergulatan baru,
yakni berpikir dan bertindak. Bila pada masa Yunani Kuno manusia merenung dan
berpikir tentang hakikat dunia, setelah Abad Masehi manusia berpikir dan
bertindak terhadap dunia. Perubahan dari kesadaran pertama yang berupa berpikir
tentang pikiran (thinking of thinking) menjadi berpikir tentang tindakan
(thinking of acting) merupakan perubahan yang esensial. Perubahan dari
alam theoria ke alam praxis, secara sederhana menggambarkan pula peningkatan
peran teknologi dalam kebudayaan manusia. Bahkan teknologi sendiri memiliki
suatu potensi merubah kesadaran intelektual dan moral dari diri individu
manusia.[18]
Dengan demikian, seperti halnya "realitas
nilai" yang terbentuk dalam momentum proses eksternalisasi, teknologi yang
juga merupakan bagian dari "realitas objektif" pada akhirnya memiliki
peranan yang besar terhadap komponen kebudayaan yang lain, maupun terhadap
manusia sendiri. Pada tingkat tertentu teknologi mengkondisikan kebudayaan.
Teknologi komputer dengan jaringan Internetnya, misalnya, telah mengkondisikan
manusia baik secara individual maupun sosial secara berbeda dengan "dunia
tanpa teknologi komputer". Teknologi komputer dan jaringan Internet, yang
buatan manusia, pada akhirnya menuntut pembuatnya untuk menerima pola-pola
hubungan baru, tata nilai baru, bahkan suatu "dunia" baru, yakni "dunia
Cyberspace".
C. PENUTUP
Uraian di atas terlihat bahwa ilmu, teknologi, dan
kebudayaan merupakan realitas yang saling terkait, meskipun relasi itu pada aspek
abstrak-ideasional dan aspek konkrit-operasional.
Kedua aspek tersebut saling berhubungan, sehingga
telah terhadap hubungan antara ilmu, teknologi, dan kebudayaan mau tidak mau
meski mempertimbangkan dinamika hubungan antara aspek konkrit dan abstrak pada
ketiganya. Mengabaikan salah satu aspek hanya akan menghasilkan telaah yang
timpang tindih (over lap).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Brinkmann, Donald, Technology
as Philosophic Problem, Ohio: Messeger Press, 1971.
2.
Berger, Peter, L.,
Langit Suci, (asli: The Sacred Canopy, alih bahasa: Hartono), Jakarta:
LP3ES 1991.
3.
John Ziman, An
Introduction to Science and Technology, The philosophical and social aspects of
science and technology, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
4.
Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Putaka Sinar Harapan,
2003.
5.
__________, Ilmu
Dalam Prespektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1978.
6.
Leonard Siregar,
“Antropologi Dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, (Volume
1. No. 1, Agustus 2002).
7.
Moser, Simon,
'Toward Metaphysics of Technology'.
dalam: Philosophy Today, No. 15, Ohio: Messeger Press, 1971.
8.
Runes Dagobert D, Dictionary
Of Philosophy, New jersy: Litle field, 1976.
9.
Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Jakarta: Bulan bintang, 1992.
10. Stewart
Ricards, An Introduction to : Philosophy of sociology of Science,
Oxford, TJ Press, 1983.
11. Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara,
2008.
12. Sudarminta,
"Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern" dalam:
Sastraprateja. ed., Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat,
Jakarta: PT Gramedia, 1983.
13. The
Liang Gie, The Interrelationships of Science and Technology, Yogyakarta:
Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982.
14. Tim
dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, Jogjakarta;
Liberti 2003.
[1]
Sudarminta, "Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern"
dalam: Sastraprateja. ed., Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), 121-139.
[2] Gazalba. Sidi, Sistematika
Filsafat, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), 39.
[3] Stewart Ricards, An
Introduction to : Philosophy of sociology of Science, (Oxford, TJ Press,
1983)., hlm. 28
[4] Lihat: Drs. Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), 58.
[5]
Lihat: Gie. The Liang, The Interrelationships of Science and Technology,
(Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 17.
[6] Contoh ini penulis
ambil dari Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu,
(Jogjakarta; Liberti 2003), 150.
[7] Lihat: Gie. The
Liang, The Interrelationships of Science, (Yogyakarta: Yayasan Studi
Ilmu dan Teknologi, 1982), 25-26. Mengenai Sistematika ilmu ini, Peter RR Senn
membagi menjadi 4 komponen, yaitu 1. rumusan massalah, 2. pengamatan dan
deskripsi, 3. penjelasan, dan 4. ramalan dan control. Lihat dalam: Jujun S.
Suriasumantri, ilmu dalam prespektif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1978),
111.
[8]
Lihat: Ziman, John, An Introduction to Science and Technology, The
philosophical and social aspects of science and technology, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1984), 3.
[9] Runes. Dagobert D, Dictionary
Of Philosophy, (New jersy: Litle field, 1976), 314.
[10] Brinkmann, Donald, Technology
as Philosophic Problem, (Ohio: Messeger Press, 1971), 125.
[11] Klaisifikasi no 2-5
penulis simpulkan dari: Gie. The Liang, The Interrelationships of Science, (Yogyakarta:
Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1982), 82-84.
[12] Gie. The Liang, The
Interrelationships of Science, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, 1982), 85-91.
[13]Mengenai budaya ini
akan diurai pada sub bab tersendiri dalam makalah ini.
[14] Suriassumantri. Jujun
S. filsafat ilmu, Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Putaka Sinar
Harapan, 2003), 261.
[15] Leonard Siregar,
“Antropologi Dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, (Volume
1. No. 1, Agustus 2002), th
[16] Lihat: Tim dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Jigjakarta; Liberti
2003), 158.
[17] Berger, Peter, L.,
Langit Suci, (asli: The Sacred Canopy, alih bahasa: Hartono), (Jakarta:
LP3ES 1991), 198.
[18] Moser, Simon, 'Toward
a Metaphysics of Technology'. Jalam: Philosophy Today, No. 15,(Ohio:
Messeger Press, 1971), 139.
No comments:
Post a Comment