BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk paling sempurna (insane kamil) yang
diciptakan Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan potensi yang diberikan berupa
kemampuan untuk berfikir bijaksana(homo sapiens) atau (haiwanu al-nathiq), manusia
sebagai pembuat alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga memerlukan
instrumen (homo feber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia dapat
bermasyarakat (homo sasious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu
mengadakan usaha (homo economicus) serta manusia berkepercayaan dan beragama
(homo religious); sedangkan binatang memiliki daya fikir terbatas dan benda
mati (anorganis) cenderung tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam. Itulah
yang membedakannya dengan mahluk Tuhan lainnya.
Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab makin
menjulang oleh ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa seantero
alamnya. Konsekuensinya, manusia tidak lagi menemukan kenyataan sebagai sesuatu
yang selesai, melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai kemungkinan. Bagi
manusia, setiap kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi
manusia terhadap kenyataan yang detemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan
itu merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya.
Tentu saja tiap pengalaman meninggalkan jejak berupa pengetahuan (knowledge).
Pada manusia himpunan pengetahuan tersebut tidak pernah selesai dan
memungkinkan adanya penjelajahan lebih lanjut. Penjelejahan yang tak kunjung
berakhir inilah yang kemudian meningkatkan pengetahuan manusia sampai pada
perwujudannya sebagai ilmu (science). Ilmu didasarkan pada apa yang
dapat dilihat, didengar, diraba dan sebagainya, dan pendapat atau kesukaan
subjektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di
dalam ilmu.
Penguasaan ilmu tidak lagi menjadikan manusia sekadar makhluk yang
harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa pilihan. Sebaliknya,
penguasaan ilmu menjadikan manusia sanggup melakukan rekayasa terhadap alamnya
demi kepentingan hidupnya. Kepentingan itu bukan hanya terkait pada kebutuhan (needs)
untuk bertahan hidup, melainkan juga untuk mencapai berbagai keinginan (wants)
yang nyaris tanpa batas. Oleh karena berkembangnya ilmu karena adanya
kuriositas dan aspek-aspek lain di atas, maka untuk memperkuat analisis sesuatu
gejala secara komprehensif, maka diperlukan pemahaman terhadap dasar-dasar ilmu itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Untuk memahami secara komprehensif
dasar-dasar /hakikat ilmu itu sendiri, maka ada beberapa permasalahan yang
perlu untuk dikaji antara lain sebagai
berikut:
1.
Apakah definisi ilmu, knowledge,
science dan pseudoscience?
2.
Apakah hakikat /dasar-dasar
ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu,
Science, Knowledge dan Pseudoscience
1. Pengertian Ilmu, Science dan Knowledge
Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata science, yang
secara etimologis berasal dari kata latin scinre, artinya to know.
tetapi kata scire juga berarti belajar (to learn).[1]
Pengertian lain mengenai ilmu menurut Koentjoroningrat merupakan kelanjutan
konseptual dari ciri-ciri “ingin tahu” sebagai kodrat manusiawi. Tetapi ilmu
pengetahuan itu menuntut persyaratan persyaratan khusus dalam pengaturannya.
Dalam hakekat yang terpenting adalah system dan metode ilmu pengetahuan.
Koentjoro memberi penjelasan sebagai berikut: Sistem adalah susunan yang
berfungsi dan bergerak, suatu cabang ilmu niscaya mempunyai subyek dan obyek
yang menjadi sasaran yang pada mulanya dibatasi. Maka setiap ilmu lazimnya mulai
dengan merumuskan suatu batasan (defenisi) perihal apa yang hendak dijadikan
obyek studinya. Dimaksudkan supaya nyata kedudukannya. Sedangkan metode adalah
cara atau jalan yang berguna untukmendapatkan dan memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan.[2]
Sedangkan J.J. Davies di dalam On the Scientific Method mengartikan ilmu
sebagai suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta.[3] Dan Michael Ruse mendefenisikan Science
is a phenomenon that has developed through the ages-dragging itself apart from
religion, philosophy, superstition, and other bodies of human openion and
belief.[4]
Lebih khusus Istilah “knowledge dan science” dalam Webster’s New Collegiate
Dictionary, memiliki arti sebagai berikut: Knowledge diartikan (1) the fact
or condition of knowing something with familiarity gained through experience or
association, (2) the fact or condition
of being aware of something, (3) the fact or condition of having
imformation or being learned, (4) the sum of what is know: the body of truth,
imformation, and principles acquired by mankind.[5]
Sedangkan science (Gr. “scire”) berarti (1) possession of knowledge as dingtinguished from
ignorance or misunderstanding, knowledge attain through study or practice, (2)
a department of systematized knowledge as an object of study (the science of
theology), (3) knowledge covering
general truths or the operation of general laws esp. as obtaind and tested
through scientific methode; such knowledge concerned with the physical world
and its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting
to be based on scientific principle.[6]
Dari penjelasan Webster’s di atas dapat dipahami bahwa “knowledge”
menjelaskan tentang adanya sesuatu yang diperoleh secara biasa atau sehari hari
(regulary) melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, imformasi yang dipelajari,
dan sebagainya. Sedangkan “science”, di dalamnya terkandung adanya
pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup
kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural).
Kemudian kata knowledge menurut “Dictionary of Phylosophy”
oleh Runes diartikan : Knowledge ; relation know. Apprehended truth.
Opposite of opinion. Certain knowledge is more than opinion, less than truth.[7],
( ilmu pengetahuan, yang berhubungan
dengan tahu. Kebenaran yang dimengerti. Lawan dari opini. Ilmu pengetahuan
tertentu lebih daripada pendapat, tetapi ukurannya di bawah jika dibandingkan
dengan kebenaran). Lebih lanjut di
dalam “American Peoples Encyclopedia.” Kata knowledge diartikan: knowledge,
ideally a full and evident awarness of the truth with respect to anything;
practically, an orderly awarness of whatever can definetly be accepted as real.[8]
(Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan terbuktikan dari suatu kebenaran mengenai
sesuatu; bersifat praktis, tersusun secara defenitif yang dapat diterima
sebagai realita).
Sedangkan istilah science kadang-kadang diartikan sebagai ilmu
pengetahuan juga, sebagaimana dijelaskan dalam American Peoples Encyclopedia. Sebagai berikut:
………so called modern science consist of many branches of
knowledge, each dealing systematically with a group of objects or with
particular subject, all of which may be categorized under three major areas of
learning: mathematics, the physical sciences, and biological science.[9]
(………apa yang disebut science modern terdiri atas beberapa cabang ilmu
pengetahuan, tiap cabang mempunyai suatu kelompok obyek atau subyek khusus,
yang semuanya dapat dikatagorikan dalam tiga bidang : matematika, ilmu fisika
dan ilmu biologi).
Pengertian knowledge (ilmu pengetahuan) di atas ialah meliputi semua
ilmu, apakah ilmu social, ilmu eksakta, ilmu filsafat dan sebagainya, akan
tetapi dewasa ini istilah “science” pada umumnya dipakai untuk tiga bidang
sebagaimana disebutkan dalam sains modern di atas, sedangkan untuk social
science terdapat perbedaan para ahli dalam pengelompokannya, dan untuk untuk
tidak membingungkan alangkah baiknya jika disimpulkan bahwa social science
ialah ilmu-ilmu selain yang tersimpul di dalam ilmu-ilmu eksakta. Jadi, ‘knowledge’
dapat dipahami sebagai pengetahuan
yang mempunyai cakupan lebih luas dan umum, sedangkan ‘science’ dapat dipahami sebagai ilmu yang mempunyai
cakupan lebih sempit dan lebih khusus dalam arti metodis, sistematis , dan
ilmiah.
Sementara itu Titus, Smith dan Nolan lebih memperkuat lagi penamaan
ilmu pengetahuan dengan penjelasannya bahwa sains memiliki sifat-sifat khusus seperti pengamatan
yang kritis dan akurat serta
diskriptif tentang benda-benda dan kejadian-kejadian. Jadi hal itu bersangkutan
langsung dengan pengetahuan tentang objek yang kuantitatif dan objektif. Inilah
yang biasanya disebut “sains murni” (pure science), dan menjadi sains terapan
(applied science) apabila dipakai untuk keperluan-keperluan praktis.[10]
Soejono Soemargono, dosen senior filsafat UGM mengatakan bahwa
istilah Ilmu Pengetahuan dapat
dipergunakan dalam pengertian yang seluas-luasnya, sehingga dapat meliputi tiga
macam katagori, yaitu: (1) ilmu pengetahuan kefilsafatan (philosophy),
(2) ilmu pengetahuan teoritik-positif atau ilmu pengetahuan teoritik-empirik
(science), dan (3) ilmu pengetahuan terapan (discipline).[11]
Dengan demikian , penggabungan makna ilmu dan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan
sangatlah penting. Karena jika ilmu dipilih sebagai nama, dikhawatirkan bisa
terjebak pada sekitar pengetahuan fisis, dan karena itu praktis, pragmatis dan
positivistis. Padahal realita yang harus diketahui tidak hanya bersifat itu,
melainkan non fisis, kualitatif dan spekulatif. Ilmu dan pengetahuan sama- sama
penting, ilmu membentuk daya intlegensia yang melahirkan adanya skill atau
keterampilan , sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang
melahirkan tingkah laku yang berkaitan dengan masalah-masalah yang tercakup di
dalam tujuan akhir manusia. Sehingga dengan demikian, dapat diharapkan
terbentuk suatu kesadaran dan sikap ilmiah (scientific attitude).
- Pengertian Pseudoscience
Istilah ini berasal dari Yunani yaitu pseudo-(palsu
atau pura-pura) dan "sains" (dari
bahasa Latin scientia,
yang berarti "pengetahuan").[12]
Sedangkan menurut istilah dapat dlihat dari beberapa pendapat, antara lain
sebagai berikut:
A
pseudoscience is set of ideas based on theories put forth as scientific when
they are not scientific.[13]
(seperangkat gagasan yang didasarkan pada
teori-teori ilmiah yang diajukan ketika mereka tidak ilmiah). A pseudoscience is a belief
or process which masquerades as science in an attempt to claim a legitimacy
which it would not otherwise be able to achieve on its own terms;.[14] (sebuah keyakinan atau proses yang menyamar sebagai
sains dalam upaya untuk mengklaim legitimasi yang sebaliknya tidak akan mampu
mencapai sendiri istilah-istilah tersebut (science.)
Contoh
pseudoscience adalah teori-teori yang mendasari astrologi (doktrin bahwa posisi
bintang-bintang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang) berdasarkan
ramalan-ramalan tanggal lahir dan tahun.
Seperti seseorang yang lahir lahir pada tanggal 23 September sampai 22 Oktober
maka mereka memiliki zodiac Libran. Selanjutnya
kesimpulan Paul R. Thagard
menganggap astrologi sedikit usaha untuk mengembangkan teori, tidak menunjukkan
kepedulian terhadap upaya untuk mengevaluasi secara kritis teori dalam
kaitannya dengan orang lain, dan selektif dalam mempertimbangkan bukti [15]
Pseudoscience oleh ilmuan
dianggap palsu karena temuan atau pendapat mereka bertentangan dengan
teori-teori dari ciri-ciri ilmiah ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan
dikatakan ilmiah apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Scientific theories are characterized by such
things as (a) being based on empirical
observation rather than the authority of some sacred text; (b) explaining a
range of empirical phenomena; (c) being empirically tested in some meaningful
way, usually involving testing specific predictions deduced from the theory;
(d) being confirmed rather than falsified by empirical tests or with the
discovery of new facts; (e) being impersonal and therefore testable by anyone
regardless of personal religious or metaphysical beliefs; (f) being dynamic and
fecund, leading investigators to new knowledge and understanding of the
interrelatedness of the natural world rather than being static and stagnant
leading to no research or development of a better understanding of anything in
the natural world; (g) being approached with skepticism rather than
gullibility, especially regarding paranormal forces or supernatural powers, and
(h) being fallible and put forth tentatively rather than being put forth as infallible or inerrant. [16] (Teori-teori ilmiah dicirikan
oleh hal-hal seperti (a) yang didasarkan pada pengamatan empiris dan bukan
kewenangan dari beberapa teks suci (b) menjelaskan berbagai fenomena empiris
(c) yang secara empiris diuji dalam beberapa cara yang bermakna, biasanya
melibatkan spesifik pengujian prediksi dideduksi dari teori, (d) yang
dikonfirmasi daripada dipalsukan oleh tes empiris atau dengan penemuan
fakta-fakta baru, (e) yang impersonal dan karena itu dapat diuji oleh siapa
saja terlepas dari pribadi keagamaan atau keyakinan metafisik (f) yang dinamis
dan produktif , memimpin penyidik untuk pengetahuan baru dan pemahaman tentang
keterkaitan dunia alami bukannya statis dan stagnan tidak mengarah pada
penelitian dan pengembangan pemahaman yang lebih baik dari apa pun di dunia
alam, (g) didekati dengan sikap skeptis daripada mudah tertipu, terutama
mengenai kekuatan paranormal atau kekuatan supranatural, dan (h) menjadi keliru
dan ragu-ragu diajukan bukannya diajukan sebagai sempurna atau tanpa salah.)
Dari ciri-ciri
ilmu pengetahuan di atas , maka dapat diketahui bahwa perbedaan secara umum antara
science dan pseudoscience adalah sebagai berikut:[17]
No
|
Science
|
Pseudoscience
|
1.
|
The primary goal of science is to
achieve a more complete and more unified understanding of the physical world.
|
more likely to be driven by ideological,
cultural, or commercial goals.
|
2.
|
Most scientific fields are the subjects
of intense research which result in the continual expansion of knowledge in
the discipline
|
The field has evolved very little since
it was first established. The small amount of research and experimentation
that is carried out is generally done more to justify the belief than to
extend it.
|
3.
|
Workers in the field commonly seek out
counterexamples or findings that appear to be inconsistent with accepted
theories.
|
In the pseudosciences, a challenge to
accepted dogma is often considered a hostile act if not heresy, and leads to
bitter disputes or even schisms.
|
4
|
Observations or data that are not
consistent with current scientific understanding, once shown to be credible,
generate intense interest among scientists and stimulate additional studies
|
Observations or data that are not
consistent with established beliefs tend to be ignored or actively
suppressed.
|
5
|
Science is a process in which each
principle must be tested in the crucible of experience and remains subject to
being questioned or rejected at any time.
|
The major tenets and principles of the
field are often not falsifiable, and are unlikely ever to be altered or shown
to be wrong.
|
6
|
Scientific ideas and concepts must stand
or fall on their own merits, based on existing knowledge and on evidence.
|
Pseudoscientific concepts tend to be
shaped by individual egos and personalities, almost always by individuals who
are not in contact with mainstream science. They often invoke authority (a
famous name, for example) for support.
|
7
|
Scientific explanations must be stated
in clear, unambigous terms.
|
Pseudoscientific explanations tend to be
vague and ambiguous, often invoking scientific terms in dubious contexts.
|
B.
Hakikat Ilmu
Kata hakikat dalam bahasa Inggris,
sering dijumpai dengan istilah substance
atau essence (intisari). [18]
A.R Lacey menjelaskan bahwa ada dua
jenis esensi, yaitu “ a nominal essence “ ( is a group of term used
to difine consept) ; dan “a real
essence” (is either a group of concept or universals objectively given
in nature independently of our definition….), Dalam penjelasannya mengenai
substansi Lacey mengacu kepada pendapat Arietoteles yang membedakan substansi
ke dalam dua hal, yaitu primary substance dan secondary substance
. Substansi primer adalah inti atau diri pribadi sesuatu, sedangkan substansi
sekunder adalah, sifat-sifat yang baik secara mutlak ataupun relative melekat
pada diri pribadi sesuatu.[19]
Untuk lebih jelasnya maka hakikat
ilmu tersebut didasarkan pada tiga hal yaitu apakah yang ingin diketahui?
(ontology), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistimologi), dan
apa nilai kegunaannya bagi manusia ? (axiology).
1.
Ontologi
Ontologi, dalam bahasa Inggris “ ontology” berakar dari dari bahasa Yunani yaitu On= ada, dan
Ontos =keberadaan, sedangkan Logos
= Pemikiran[20]
atau On/
Ontos =
ada, dan Logos
= ilmu.[21]
Jadi, ontologi
adalah ilmu tentang yang ada. Selanjutnya, menurut AR. Lacey, ontology
diartikan sebagai “ a central part of metaphysics” (bagian sental dari
metafisika). Sedangkan metafisika
diartikan sebagai “that which comes after physics,….the study of nature in
general” (hal yang hadir setelah fisika…….studi umum mengenai alam).[22]
Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau
hakekat alam semesta. Apakah alam semsta ini berhakikat monistik atau
pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini
merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).
Beberapa karaktristik ontology, seperti yang diungkapkan oleh Bagus,
antara lain sebagai berikut:
·
Ontologi adalah studi tentang
arti “ ada dan berada, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya
sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
·
Ontologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan
menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau
potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan,
ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya.
·
Ontologi adalah cabang
filsafat yang mencoba melukiskan hakikat
terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
·
Cabang filsafat yang
mempelajari tentang sesuatu realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu
nyata, dan sebagainya.[23]
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi
persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?.
Pertamakali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama,
kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan).
Wacana mengenai hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada
dan yang mungkin ada. Hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan
kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah. Pembahasan mengenai ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy
dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi berusaha mencari ultimate
reality, yaitu inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Secara substansial, pemahaman
ontologi dapat ditemukan pemikiran-pemikiran antara lain sebagai berikut:
1.
Animisme
Animisme merupakan
kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme, aliran ini merupakan
kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan
manusia. Pendapat aliran ini terhadap alam adalah bahwa terdapat wujud-wujud
yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata, dan
terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam alam.
2.
Materialisme
Materialisme
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini
sering pula disebut dengan naturalisme, namun sebenarnya ada sedikit perbedaan.
Dari segi dimensinya, paham ini sering dikaitkan dengan teori atomisme. Pemikiran
ini dipelopori oleh Demokritos (460-370SM).
3.
Monoisme
Monoisme
yaitu paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua.
4.
Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Tokoh-tokoh paham ini
adalah Descartes (1596-1650M), John Locke (1632-1714) dan George Barkley
(1685-1753).[24]
2.
Epistimologi
Secara Etimologis, Epistimologi berakar dari bahasa
Yunani episteme yang berarti pengetahuan
atau ilmu pengetahuan, dan logos yang juga berarti pengetahuan.
Jadi, Epistimologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan atau yang
sering disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan
yang dimiliki.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan
lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya
adalah:
- Metode Induktif
Menurut
Dick Hartoko, induksi berasal dari bahasa latin inducere
yang berarti mengantar ke dalam, yang secara sederhana merupakan suatu metode,
khusus dalam ilmu alam, yang menuju dan menyimpulkan sebuah hipotesa umum
dengan berpangkal pada sejumlah gejala sendiri-sendiri[25]
Induksi
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil obeservasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum dari kasus-kasus individual.[26].
2. Metode Deduktif
Deduksi
adalah suatu proses menarik kesimpulan yang bersifat individual dari pernyataan
yang bersifat umum. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.[27]
C.
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Axios (Yunani) yang berarti
nilai dan Logos yang berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana
merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.[28]
Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian.
Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu
ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio
politik.[29]
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai nilai. Teori
tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika. Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal
etika adalah norma-norma kesusilaan manusia dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik
di dalam suatu kondisi yang normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua
berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan
nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas
ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada
siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan
aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk,
yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang
kuat.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai
adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya,
dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah,
agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya yaitu sebagai khalifat fi
al-ardhi.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Istilah science dan knowledge
merupakan dua kata yang sulit untuk dibedakan ibarat dua buah mata uang yang tidak
bias terpisahkan. Akan tetapi kata science (ilmu) biasanya digunakan untuk
istilah-istilah eksakta yang memiliki cakupan lebih sempit, sedangkan knowledge (pengetahuan) merupakan istilah
yang pada umumnya untuk menyebut di luar science. Dan khususnya di Indonesia
untuk memudahkan pemahaman, maka istilah science dan knowledge disebut sebagai “ilmu
pengetahuan” . Sedangkan Pseudoscience oleh beberapapendapat mengatakan
bahwa istilah tersebut bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan, akan tetapi
menyerupai ilmu yang pada hakikatnya bukan ilmu (ilmu semu), karena prosesnya
bertentangan dengan metode ilmiah dan tidak dapat dibuktikan secara emperik.
2.
mencakup tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Jujun S. Suriasumantri mengatakan, untuk membedakan jenis
pengetahuan yang satu dengan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan
adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan
termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga
pertanyaan ini maka dengan mudah membedakan berbagai jenis pengetahuan yang
terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan mengenali
berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, serta meletakkannya pada tempatnya
masing-masing .
[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
1996), 85.
[2] Anton Baker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta:
Kanisius, 1992, 14.
[3] A.F. Chalmers ,Apa yang dinamakan Ilmu? Terj. Redaksi Hasta
Mitra (Jakarta:Hasta Mitra, 1983),1.
[4] Michael Ruse, Creation- Science is not Science,” dalam Martin Curd
and and J.A. Cover (eds)., Philosophy of
Science: The Central Issus (New York and
London: W.W Northon Company, 1998), 39.
[5] Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York:
The World Pulishing Coy, 1979), 203.
[6] Ibid, 306.
[7] Runes, Dagobert D., Dictionary of philosophy, (New Jersy: Little
field Adam & CO, 1983), 161.
[8] American Peoples Encyclopedia.”, (New York: Grolier Ins., t.th), 944.
[9] Ibid, 1068.
[10] Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat terj; Rasjidi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), 28.
[11] Soejono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogyakarta: Nurcahaya, 1983), 17.
[13] Pseudo Science dalam http://rcm.amazon.com/e/cm ,( 25
September 2009).
[15] Paul R. Thagard, Why Astrology Is a
Pseudoscience, dalam Martin Curd and
J.A. Cover (eds)., Philosophy of Science: The Central
Issus (New York and London: W.W Northon Company, 1998), 27-28.
[16] Pseudo Science dalam http://rcm.amazon.com/e/cm , ( 25
September 2009).
[17]Pseudo Science dalam http://www.forumsains.com/pseudo-science-dan-science-fiction/science-vs-pseudoscience,
( 25 September 2009).
[18] John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1996), 218 dan 566.
[19] Lacey , AR., Dictionary
of Philsophy, (New York: Routledge, 1996),
.
[20] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 56.
[22] Lacey , AR., Dictionary of Philsophy,…87.
[23] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 108.
[24] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), 66-70).
[26] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakikat Ilmu, (Jakarta: PT Gramedia,1983), 20).
[27] Ibid, 21.
[28] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer….,229.
[29] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 34-35.
No comments:
Post a Comment