Saturday, October 7, 2017

Makalah ilmu, knowledge, science dan pseudoscience



BAB I
PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk paling sempurna (insane kamil) yang diciptakan Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan potensi yang diberikan berupa kemampuan untuk berfikir bijaksana(homo sapiens) atau (haiwanu al-nathiq), manusia sebagai pembuat alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga memerlukan instrumen (homo feber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia dapat bermasyarakat (homo sasious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu mengadakan usaha (homo economicus) serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo religious); sedangkan binatang memiliki daya fikir terbatas dan benda mati (anorganis) cenderung tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam. Itulah yang membedakannya dengan mahluk Tuhan lainnya.
Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab makin menjulang oleh ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa seantero alamnya. Konsekuensinya, manusia tidak lagi menemukan kenyataan sebagai sesuatu yang selesai, melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai kemungkinan. Bagi manusia, setiap kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi manusia terhadap kenyataan yang detemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan itu merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya. Tentu saja tiap pengalaman meninggalkan jejak berupa pengetahuan (knowledge). Pada manusia himpunan pengetahuan tersebut tidak pernah selesai dan memungkinkan adanya penjelajahan lebih lanjut. Penjelejahan yang tak kunjung berakhir inilah yang kemudian meningkatkan pengetahuan manusia sampai pada perwujudannya sebagai ilmu (science). Ilmu didasarkan pada apa yang dapat dilihat, didengar, diraba dan sebagainya, dan pendapat atau kesukaan subjektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di dalam ilmu.
Penguasaan ilmu tidak lagi menjadikan manusia sekadar makhluk yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa pilihan. Sebaliknya, penguasaan ilmu menjadikan manusia sanggup melakukan rekayasa terhadap alamnya demi kepentingan hidupnya. Kepentingan itu bukan hanya terkait pada kebutuhan (needs) untuk bertahan hidup, melainkan juga untuk mencapai berbagai keinginan (wants) yang nyaris tanpa batas. Oleh karena berkembangnya ilmu karena adanya kuriositas dan aspek-aspek lain di atas, maka untuk memperkuat analisis sesuatu gejala secara komprehensif, maka diperlukan pemahaman terhadap  dasar-dasar ilmu itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memahami secara komprehensif dasar-dasar /hakikat ilmu itu sendiri, maka ada beberapa permasalahan yang perlu untuk dikaji antara lain  sebagai berikut:
1.      Apakah definisi ilmu, knowledge, science dan pseudoscience?
2.      Apakah hakikat /dasar-dasar ilmu?                                        




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu, Science, Knowledge dan Pseudoscience
1. Pengertian Ilmu, Science dan Knowledge
Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata science, yang secara etimologis berasal dari kata latin scinre, artinya to know. tetapi kata scire juga berarti belajar (to learn).[1] Pengertian lain mengenai ilmu menurut Koentjoroningrat merupakan kelanjutan konseptual dari ciri-ciri “ingin tahu” sebagai kodrat manusiawi. Tetapi ilmu pengetahuan itu menuntut persyaratan persyaratan khusus dalam pengaturannya. Dalam hakekat yang terpenting adalah system dan metode ilmu pengetahuan. Koentjoro memberi penjelasan sebagai berikut: Sistem adalah susunan yang berfungsi dan bergerak, suatu cabang ilmu niscaya mempunyai subyek dan obyek yang menjadi sasaran yang pada mulanya dibatasi. Maka setiap ilmu lazimnya mulai dengan merumuskan suatu batasan (defenisi) perihal apa yang hendak dijadikan obyek studinya. Dimaksudkan supaya nyata kedudukannya. Sedangkan metode adalah cara atau jalan yang berguna untukmendapatkan dan memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.[2] Sedangkan J.J. Davies di dalam On the Scientific Method mengartikan ilmu sebagai suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta.[3] Dan Michael Ruse mendefenisikan  Science is a phenomenon that has developed through the ages-dragging itself apart from religion, philosophy, superstition, and other bodies of human openion and belief.[4]
Lebih khusus Istilah “knowledge  dan  science” dalam Webster’s New Collegiate Dictionary, memiliki arti sebagai berikut: Knowledge diartikan (1) the fact or condition of knowing something with familiarity gained through experience or association, (2) the fact or condition  of being aware of something, (3) the fact or condition of having imformation or being learned, (4) the sum of what is know: the body of truth, imformation, and principles acquired by mankind.[5]
Sedangkan science (Gr. “scire”) berarti (1)  possession of knowledge as dingtinguished from ignorance or misunderstanding, knowledge attain through study or practice, (2) a department of systematized knowledge as an object of study (the science of theology),  (3) knowledge covering general truths or the operation of general laws esp. as obtaind and tested through scientific methode; such knowledge concerned with the physical world and its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting to be based on scientific principle.[6]
Dari penjelasan Webster’s di atas dapat dipahami bahwa “knowledge” menjelaskan tentang adanya sesuatu yang diperoleh secara biasa atau sehari hari (regulary) melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, imformasi yang dipelajari, dan sebagainya. Sedangkan “science”, di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural).
Kemudian kata knowledge menurut “Dictionary of Phylosophy” oleh Runes diartikan : Knowledge ; relation know. Apprehended truth. Opposite of opinion. Certain knowledge is more than opinion, less than truth.[7],  ( ilmu pengetahuan, yang berhubungan dengan tahu. Kebenaran yang dimengerti. Lawan dari opini. Ilmu pengetahuan tertentu lebih daripada pendapat, tetapi ukurannya di bawah jika dibandingkan dengan kebenaran).  Lebih lanjut di dalam “American Peoples Encyclopedia.” Kata knowledge diartikan: knowledge, ideally a full and evident awarness of the truth with respect to anything; practically, an orderly awarness of whatever can definetly be accepted as real.[8] (Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan terbuktikan dari suatu kebenaran mengenai sesuatu; bersifat praktis, tersusun secara defenitif yang dapat diterima sebagai realita).
Sedangkan istilah science  kadang-kadang diartikan sebagai ilmu pengetahuan juga, sebagaimana dijelaskan dalam American Peoples Encyclopedia.  Sebagai berikut:
………so called modern science consist of many branches of knowledge, each dealing systematically with a group of objects or with particular subject, all of which may be categorized under three major areas of learning: mathematics, the physical sciences, and biological science.[9] (………apa yang disebut science modern terdiri atas beberapa cabang ilmu pengetahuan, tiap cabang mempunyai suatu kelompok obyek atau subyek khusus, yang semuanya dapat dikatagorikan dalam tiga bidang : matematika, ilmu fisika dan ilmu biologi).
Pengertian knowledge (ilmu pengetahuan) di atas ialah meliputi semua ilmu, apakah ilmu social, ilmu eksakta, ilmu filsafat dan sebagainya, akan tetapi dewasa ini istilah “science”  pada umumnya dipakai untuk tiga bidang sebagaimana disebutkan dalam sains modern di atas, sedangkan untuk social science terdapat perbedaan para ahli dalam pengelompokannya, dan untuk untuk tidak membingungkan alangkah baiknya jika disimpulkan bahwa social science ialah ilmu-ilmu selain yang tersimpul di dalam ilmu-ilmu eksakta. Jadi, ‘knowledge’  dapat dipahami sebagai pengetahuan yang mempunyai cakupan lebih luas dan umum, sedangkan ‘science’  dapat dipahami sebagai ilmu yang mempunyai cakupan lebih sempit dan lebih khusus dalam arti metodis, sistematis , dan ilmiah.
Sementara itu Titus, Smith dan Nolan lebih memperkuat lagi penamaan ilmu pengetahuan dengan penjelasannya bahwa sains  memiliki sifat-sifat khusus seperti pengamatan yang kritis  dan akurat serta diskriptif tentang benda-benda dan kejadian-kejadian. Jadi hal itu bersangkutan langsung dengan pengetahuan tentang objek yang kuantitatif dan objektif. Inilah yang biasanya disebut “sains murni” (pure science), dan menjadi sains terapan (applied science) apabila dipakai untuk keperluan-keperluan praktis.[10]
Soejono Soemargono, dosen senior filsafat UGM mengatakan bahwa istilah Ilmu Pengetahuan  dapat dipergunakan dalam pengertian yang seluas-luasnya, sehingga dapat meliputi tiga macam katagori, yaitu: (1) ilmu pengetahuan kefilsafatan (philosophy), (2) ilmu pengetahuan teoritik-positif atau ilmu pengetahuan teoritik-empirik (science), dan (3) ilmu pengetahuan terapan (discipline).[11]
Dengan demikian , penggabungan makna ilmu  dan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangatlah penting. Karena jika ilmu dipilih sebagai nama, dikhawatirkan bisa terjebak pada sekitar pengetahuan fisis, dan karena itu praktis, pragmatis dan positivistis. Padahal realita yang harus diketahui tidak hanya bersifat itu, melainkan non fisis, kualitatif dan spekulatif. Ilmu dan pengetahuan sama- sama penting, ilmu membentuk daya intlegensia yang melahirkan adanya skill atau keterampilan , sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku yang berkaitan dengan masalah-masalah yang tercakup di dalam tujuan akhir manusia. Sehingga dengan demikian, dapat diharapkan terbentuk suatu kesadaran dan sikap ilmiah (scientific attitude).
     
  1. Pengertian Pseudoscience
Istilah ini berasal dari Yunani yaitu pseudo-(palsu atau pura-pura) dan "sains" (dari bahasa Latin scientia, yang berarti "pengetahuan").[12] Sedangkan menurut istilah dapat dlihat dari beberapa pendapat, antara lain sebagai berikut:
A pseudoscience is set of ideas based on theories put forth as scientific when they are not scientific.[13] (seperangkat gagasan yang didasarkan pada teori-teori ilmiah yang diajukan ketika mereka tidak ilmiah). A pseudoscience is a belief or process which masquerades as science in an attempt to claim a legitimacy which it would not otherwise be able to achieve on its own terms;.[14] (sebuah keyakinan atau proses yang menyamar sebagai sains dalam upaya untuk mengklaim legitimasi yang sebaliknya tidak akan mampu mencapai sendiri istilah-istilah tersebut (science.)
Contoh pseudoscience adalah teori-teori yang mendasari astrologi (doktrin bahwa posisi bintang-bintang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang) berdasarkan ramalan-ramalan  tanggal lahir dan tahun. Seperti seseorang yang lahir lahir pada tanggal 23 September sampai 22 Oktober maka mereka memiliki zodiac Libran. Selanjutnya  kesimpulan  Paul R. Thagard menganggap astrologi sedikit usaha untuk mengembangkan teori, tidak menunjukkan kepedulian terhadap upaya untuk mengevaluasi secara kritis teori dalam kaitannya dengan orang lain, dan selektif dalam mempertimbangkan bukti [15]
Pseudoscience oleh ilmuan dianggap palsu karena temuan atau pendapat mereka bertentangan dengan teori-teori dari ciri-ciri ilmiah ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 Scientific theories are characterized by such things as (a) being based on empirical observation rather than the authority of some sacred text; (b) explaining a range of empirical phenomena; (c) being empirically tested in some meaningful way, usually involving testing specific predictions deduced from the theory; (d) being confirmed rather than falsified by empirical tests or with the discovery of new facts; (e) being impersonal and therefore testable by anyone regardless of personal religious or metaphysical beliefs; (f) being dynamic and fecund, leading investigators to new knowledge and understanding of the interrelatedness of the natural world rather than being static and stagnant leading to no research or development of a better understanding of anything in the natural world; (g) being approached with skepticism rather than gullibility, especially regarding paranormal forces or supernatural powers, and (h) being fallible and put forth tentatively rather than being put forth as infallible or inerrant. [16] (Teori-teori ilmiah dicirikan oleh hal-hal seperti (a) yang didasarkan pada pengamatan empiris dan bukan kewenangan dari beberapa teks suci (b) menjelaskan berbagai fenomena empiris (c) yang secara empiris diuji dalam beberapa cara yang bermakna, biasanya melibatkan spesifik pengujian prediksi dideduksi dari teori, (d) yang dikonfirmasi daripada dipalsukan oleh tes empiris atau dengan penemuan fakta-fakta baru, (e) yang impersonal dan karena itu dapat diuji oleh siapa saja terlepas dari pribadi keagamaan atau keyakinan metafisik (f) yang dinamis dan produktif , memimpin penyidik untuk pengetahuan baru dan pemahaman tentang keterkaitan dunia alami bukannya statis dan stagnan tidak mengarah pada penelitian dan pengembangan pemahaman yang lebih baik dari apa pun di dunia alam, (g) didekati dengan sikap skeptis daripada mudah tertipu, terutama mengenai kekuatan paranormal atau kekuatan supranatural, dan (h) menjadi keliru dan ragu-ragu diajukan bukannya diajukan sebagai sempurna atau tanpa salah.)
            Dari ciri-ciri ilmu pengetahuan di atas , maka dapat diketahui bahwa perbedaan secara umum antara science dan pseudoscience adalah sebagai berikut:[17]


No
Science
Pseudoscience
1.

The primary goal of science is to achieve a more complete and more unified understanding of the physical world.
more likely to be driven by ideological, cultural, or commercial goals.
2.
Most scientific fields are the subjects of intense research which result in the continual expansion of knowledge in the discipline
The field has evolved very little since it was first established. The small amount of research and experimentation that is carried out is generally done more to justify the belief than to extend it.
3.
Workers in the field commonly seek out counterexamples or findings that appear to be inconsistent with accepted theories.

In the pseudosciences, a challenge to accepted dogma is often considered a hostile act if not heresy, and leads to bitter disputes or even schisms.
4
Observations or data that are not consistent with current scientific understanding, once shown to be credible, generate intense interest among scientists and stimulate additional studies
Observations or data that are not consistent with established beliefs tend to be ignored or actively suppressed.
5
Science is a process in which each principle must be tested in the crucible of experience and remains subject to being questioned or rejected at any time.
The major tenets and principles of the field are often not falsifiable, and are unlikely ever to be altered or shown to be wrong.
6
Scientific ideas and concepts must stand or fall on their own merits, based on existing knowledge and on evidence.
Pseudoscientific concepts tend to be shaped by individual egos and personalities, almost always by individuals who are not in contact with mainstream science. They often invoke authority (a famous name, for example) for support.

7
Scientific explanations must be stated in clear, unambigous terms.
Pseudoscientific explanations tend to be vague and ambiguous, often invoking scientific terms in dubious contexts.

B.     Hakikat Ilmu
Kata hakikat dalam bahasa Inggris, sering dijumpai dengan istilah  substance atau essence (intisari). [18]  A.R Lacey menjelaskan bahwa ada dua jenis esensi, yaitu “ a nominal essence( is a group of term used to difine consept) ; dan  a real essence(is either a group of concept or universals objectively given in nature independently of our definition….), Dalam penjelasannya mengenai substansi Lacey mengacu kepada pendapat Arietoteles yang membedakan substansi ke dalam dua hal, yaitu primary substance dan secondary substance . Substansi primer adalah inti atau diri pribadi sesuatu, sedangkan substansi sekunder adalah, sifat-sifat yang baik secara mutlak ataupun relative melekat pada diri pribadi sesuatu.[19]
Untuk lebih jelasnya maka hakikat ilmu tersebut didasarkan pada tiga hal yaitu apakah yang ingin diketahui? (ontology), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistimologi), dan apa nilai kegunaannya bagi manusia ? (axiology).

1.      Ontologi
Ontologi, dalam bahasa Inggris “ ontology” berakar dari  dari bahasa Yunani yaitu On= ada, dan Ontos =keberadaan, sedangkan  Logos = Pemikiran[20] atau On/ Ontos = ada, dan Logos = ilmu.[21]  Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Selanjutnya, menurut AR. Lacey, ontology diartikan sebagai “ a central part of metaphysics” (bagian sental dari metafisika). Sedangkan  metafisika diartikan sebagai “that which comes after physics,….the study of nature in general” (hal yang hadir setelah fisika…….studi umum mengenai alam).[22]
Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakekat alam semesta. Apakah alam semsta ini berhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).
Beberapa karaktristik ontology, seperti yang diungkapkan oleh Bagus, antara lain sebagai berikut:
·         Ontologi adalah studi tentang arti “ ada dan berada, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
·         Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya.
·         Ontologi adalah cabang filsafat  yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
·         Cabang filsafat yang mempelajari tentang sesuatu realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.[23]
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?. Pertamakali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Wacana mengenai hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah. Pembahasan mengenai ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi berusaha mencari ultimate reality, yaitu inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Secara substansial,  pemahaman ontologi dapat ditemukan pemikiran-pemikiran  antara lain sebagai berikut:
1.      Animisme
      Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme, aliran ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Pendapat aliran ini terhadap alam adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata, dan terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam alam.
2.      Materialisme
Materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering pula disebut dengan naturalisme, namun sebenarnya ada sedikit perbedaan. Dari segi dimensinya, paham ini sering dikaitkan dengan teori atomisme. Pemikiran ini dipelopori oleh Demokritos (460-370SM).
3.      Monoisme
Monoisme yaitu paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua.
4.      Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Tokoh-tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650M), John Locke (1632-1714) dan George Barkley (1685-1753).[24]


2.      Epistimologi
Secara Etimologis, Epistimologi berakar dari bahasa Yunani  episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos yang juga berarti pengetahuan. Jadi, Epistimologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan atau yang sering disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
  1. Metode Induktif
Menurut Dick Hartoko, induksi berasal dari bahasa latin inducere yang berarti mengantar ke dalam, yang secara sederhana merupakan suatu metode, khusus dalam ilmu alam, yang menuju dan menyimpulkan sebuah hipotesa umum dengan berpangkal pada sejumlah gejala sendiri-sendiri[25]
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil obeservasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum dari kasus-kasus individual.[26].
2.   Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu proses menarik kesimpulan yang bersifat individual dari pernyataan yang bersifat umum. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.[27]
C.    Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Axios (Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[28] Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.[29]
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai nilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya yaitu sebagai khalifat fi al-ardhi.


 BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
1.      Istilah science dan knowledge merupakan dua kata yang sulit untuk dibedakan ibarat dua buah mata uang yang tidak bias terpisahkan. Akan tetapi kata science (ilmu) biasanya digunakan untuk istilah-istilah eksakta yang memiliki cakupan lebih sempit, sedangkan  knowledge (pengetahuan) merupakan istilah yang pada umumnya untuk menyebut di luar science. Dan khususnya di Indonesia untuk memudahkan pemahaman, maka istilah science dan knowledge disebut sebagai “ilmu pengetahuan” . Sedangkan Pseudoscience oleh beberapapendapat mengatakan bahwa istilah tersebut bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan, akan tetapi menyerupai ilmu yang pada hakikatnya bukan ilmu (ilmu semu), karena prosesnya bertentangan dengan metode ilmiah dan tidak dapat dibuktikan secara emperik.
2.       mencakup tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jujun S. Suriasumantri mengatakan, untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, serta meletakkannya pada tempatnya masing-masing .


[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 85.
[2] Anton Baker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1992, 14.
[3] A.F. Chalmers ,Apa yang dinamakan Ilmu? Terj. Redaksi Hasta Mitra (Jakarta:Hasta Mitra, 1983),1.
[4] Michael Ruse, Creation- Science is not Science,” dalam Martin Curd and and J.A. Cover (eds)., Philosophy of Science: The Central Issus (New York and London: W.W Northon Company, 1998), 39.
[5] Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York: The  World Pulishing Coy, 1979), 203.
[6] Ibid, 306.
[7] Runes, Dagobert D., Dictionary of philosophy, (New Jersy: Little field Adam & CO, 1983), 161.
[8] American Peoples Encyclopedia.”, (New York: Grolier Ins., t.th), 944.
[9] Ibid, 1068.
[10] Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat terj; Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 28.
[11] Soejono, Filsafat Ilmu Pengetahuan,  (Jogyakarta: Nurcahaya, 1983), 17.
[13] Pseudo Science dalam  http://rcm.amazon.com/e/cm ,( 25 September 2009).
[14] Pseudo Science dalam  http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudoscience, ( 25 September 2009).

[15] Paul R. Thagard, Why Astrology Is a Pseudoscience,  dalam Martin Curd and J.A. Cover (eds)., Philosophy of Science: The Central Issus (New York and London: W.W Northon Company, 1998), 27-28.
[16] Pseudo Science dalam  http://rcm.amazon.com/e/cm , ( 25 September 2009).

[18]  John M. Echols dan Hassan Shadily,  Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), 218 dan 566.
[19]  Lacey , AR., Dictionary of Philsophy, (New York: Routledge, 1996),   .
[20] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 56.
[21] Dick Hartoko. Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002) . 64

[22] Lacey , AR., Dictionary of Philsophy,…87.
[23] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 108.
[24] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 66-70).
[25] Dick Hartoko. Kamus Populer Filsafat...,40.
[26] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu, (Jakarta: PT Gramedia,1983), 20).
[27] Ibid, 21.
[28] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer….,229.
[29] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 34-35.

No comments:

Post a Comment