Saturday, October 7, 2017

MAKALAH ILMU DALAM TINJAUAN EPISTEMOLOGI



ILMU DALAM TINJAUAN EPISTEMOLOGI

A.    Pendahuluan
Sampai saat ini sejarah mencatat, bahwa ilmu merupakan awal sebuah kesuksesan, dan menjadi ruh dalam pencerahan peradaban. Kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan pendobrak kebodohan -yang selalu diidentikkan dengan kondisi fitrah manusia pada awal kehadirannya di dunia fana ini- (QS. 16: 78). Dari ilmu lah mengalir deras berbagai penemuan baru (discovery) yang kemudian dikembangkan pada taraf invention yang berguna bagi kemajuan kehidupan manusia, termasuk bidang teknologi yang mengalami perkembangan sangat pesat. Maka dari itu, perkembangan ilmu dan teknologi dalam perputaran sejarah kehidupan ini tidak dapat kita hindari.
Namun demikian, tidak setiap perubahan akan berimplikasi positif bagi kemajuan peradaban dunia, tapi di sisi lain realitas juga menunjukkan adanya benturan antara perkembangan ilmu dengan peradaban dewasa ini, sehingga muncul persoalan-persoalan signifikan mengenai kekerasan eksternal akibat perubahan teknologis yang tak terkendali.   
Diskursus ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan refleksi eksistensi manusia sebagai makhluk yang cinta akan kebenaran. Oleh karena itu, dalam hal ini filsafat mengambil peran dalam usaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia yang disebut “epistemologi”, sebuah pendekatan teoritis yang akan mengkaji tentang sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Apakah ilmu pengetahuan itu diperoleh lewat akal pikiran semata (rasionalisme), atau lewat pengamatan (empirisme), atau bahkan hanya melalui intuisi (intuisionisme). Di samping itu, apakah kebenaran pengetahuan manusia itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi, atau praktis pragmatis.[1]
Hal ini akan penulis eksplor dalam bentuk makalah sederhana ini dengan judul Ilmu dalam Tinjauan Epistemologi.

B.     Ilmu dalam Tinjauan Epistemologi

Filsafat ilmu merupakan cabang ilmu filsafat yang berusaha menjelaskan apa dan mengapa ilmu pengetahuan itu. Disiplin ini meliputi tiga bidang garapan, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Sedangkan epistemologi itu sendiri adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2] Dalam sumber lain disebutkan, epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.[3] Dengan demikian, epistemologi  merupakan cabang filsafat yang khusus membahas teori ilmu pengetahuan, dengan tiga pertanyaan mendasar, yaitu: Apakah sumber-sumber pengetahuan itu dan bagaimanakah kita mengetahui? Apakah sifat dasar pengetahuan itu? dan apakah pengetahuan itu benar (valid)?
Terkait dengan kajian epistemologi ini penulis akan membahas tiga hal yang merupakan bagian penting dari point ilmu sebagai prosedur, antara lain sebagai berikut.

1.      Metode dalam Memperoleh Pengetahuan
a.       Pengertian dan terjadinya pengetahuan
Plato adalah orang pertama yang mempertanyakan apakah pengetahuan itu, sehingga ia disebut sebagai epistemolog pertama pada abad ketiga sebelum masehi. Menurut Chisholm yang dikutip oleh Imam Wahyudi, sebagai jawaban klasik tergambar dalam dialog Plato Theaetetus bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan benar yang terjustifikasi atau eviden, knowledge is evedent true belief.[4]
Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut: bila Anda tahu bahwa sekarang ini sedang hujan, dan memang sedang hujan sehingga Anda percaya bahwa sekarang sedang hujan. Atau mungkin dapat digeneralisasi dengan mengatakan bahwa, bila Anda mempunyai pengetahuan maka berarti Anda mempunyai kepercayaan yang benar.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan manusia, di samping pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Dengan demikian, anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan IQnya. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita.
Dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa “the end-all of knowledge is to know that we cannot know anything.[5] Menurut perspektif penulis, statemen ini tidak lain hanya sebagai dorongan moril atau motivasi untuk membangun kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang digambarkan dalam al Qur’an $\«øx© šcqßJn=÷ès?Ÿw kecuali mau berproses mencoba dan terus mencari (examines and seeks) melalui asahan konsep iqra’ .
Di samping itu pengetahuan juga sebagai hasil aktivitas psikologi karena ada hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang ingin dikenal.[6] Ini adalah gambaran umum dari batasan yang dikemukakan oleh Rosenthal yang antara lain:
-          pengetahuan adalah proses mengetahui dan identik dengan mengenal dan yang dikenal atau suatu atribut yang menjadikan pengenal mampu untuk mengetahui
-          pengetahuan adalah pemahaman
-          pengetahuan adalah proses dari menggapai atau mendapatkan
-          pengetahuan adalah proses dari mengklarifikasi, menyatakan, dan memutuskan
-          pengetahuan adalah bentuk, konsep makna dari proses mental pembentukan dan pengimajinasian (persepsi) dan atau verifikasi mental (appersepsi)
-          pengetahuan adalah kepercayaan
-          pengetahuan adalah bayangan dari pembentukan objek yang diketahui
-          pengetahuan adalah pernyataan sebagai negasi atas ketidaktahuan
-          pengetahuan adalah pengintuisian yang datang dari luar atau hasil dari refleksi.
Dari beberapa rumusan pengertian pengetahuan dapat digarisbawahi bahwa pengetahuan memiliki arti luas dan mencakup semua produk budaya seperti ide, ideologi, faham etika dan hukum, fillsafat, sains (ilmu), dan teknologi.[7] Juga memiliki sifat yang majemuk, seperti spontan, natural, refleksif, implisit dan eksplisit, a-priori dan a-posteriori, inderawi dan intelektual, intuisi, dan abstraksi.
Sedangkan mengetahui tidaklah terjadi dalam suatu kondisi dan sebab yang terisolasi, melainkan karena adanya unsur pembentuk pengetahuan yang terdiri dari subjek yang ingin mengetahui dengan objek yang ingin diketahuinya. Jadi pengetahuan kita tidak semata-semata bersifat aktif, melainkan mengandung kepasifan, artinya mendapat pengaruh dari objek yang merangsang subjek.

b.      Metode untuk memperoleh pengetahuan
Seperti penulis singgung di atas, objek kajian epistemologi terletak pada persoalan bagaimana mendapatkan ilmu pengetahuan, atau lebih tepatnya epistemologi berbicara tentang metode. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan perspektif, akan tetapi masih merupakan entitas yang saling melengkapi satu sama lain, di antaranya sebagai berikut.
Menurut Kattsoff, ada lima metode dalam memperoleh pengetahuan, yaitu antara lain:[8]
1.      Empirisme
Bagi penganut aliran ini,  pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. John Locke yang dikenal sebagai bapak empirisme mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong atau yang disebut tabularasa, dan di dalam catatan itulah pengalaman-pengalaman inderawi dicatat. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan cara menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut.
Namun dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristoteles yang merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara aliran empirisme dan rasionalisme. Plato memandang bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah.[9] Pengetahuan yang bersumber dari pancaindra diragukan kebenarannya, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan indrawi hanya sebatas pengetahuan persepsi yang hanya mampu melihat bentuk konkret sesuatu dari satu aspek saja.
Sementara Aristoteles menyebut proses pengamatan empirik manusia sebagai proses “abstraksi”. Ia mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, tidak kekal, tetapi dengan pengamatan dan penyelidikan yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari benda yang konkret tersebut.




2.      Rasionalisme
Aliran ini berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Namun demikian, rasionalisme tidak serta merta mereduksi dan mengeleminasi peran pengalaman dalam proses pemeroleh pengetahuan, tapi aliran ini memandang pengalaman indrawi sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme meyakini bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, bukan dalam diri barang sesuatu.
Descartes sebagai bapak rasionalisme continental berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan, yaitu kebenaran yang didapat melalui kegiatan akal pikiran atau budi. Menurutnya, kita harus meragukan segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat (clear and distinct). Hal ini yang kemudian melahirkan perkataan Descartes “saya berpikir, maka saya ada”, yang menunjukkan adanya manusia (aku) adalah entitas yang berpikir sebagai kebenaran pasti dan tak terbantahkan yang menjadi landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Inilah suatu pengetahuan langsung, yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (premium philosophicum).
3.      Fenomenalisme ajaran Kant
Immanuel Kant, filsuf Jerman abad XVIII, melakukan pendekatan kembali terhadap masalah empirisme dan rasionalisme sebagai bagian dari metode untuk memperoleh pengetahuan. Metode fenolenalisme merupakan sebuah metode yang mensintesakan antara pengetahuan a priori dan a posteriori.
Dalam pandangannya, pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Sedangkan pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah ada pengalaman. Pengetahuan ini merupakan bentuk pengetahuan empiris yang lazim. Bahkan dalam uraiannya ia menyebutkan, barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri (das Ding an sich)[10] merangsang alat indrawi kita dan diterima oleh akal dalam bentuk pengalaman, dihubungkan sesuai dengan kategori-kategori pengalaman, dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu pada dasarnya kita tidak mempunyai pengetahuan tentang barang seperti apa adanya, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang tampak di depan mata kepala kita, artinya hanya berupa pengetahuan gejala (phenomenon). Kalau kita lihat pernyataan sebelumnya bahwa aliran fenomenalisme lebih merupakan penengah antara aliran empirisme dan rasionalisme.
4.      Intuisionisme
Dalam hal ini terdapat perbedaan yang terletak pada dua ungkapan, yaitu ‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) dan ‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan mengenai’ dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, sebuah pengetahuan yang ada perantaranya. ‘Pengetahuan tentang’ disebut juga pengetahuan intuitif atau pengetahuan langsung. Dengan kata lain, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
5.      Metode ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam upaya mendapatkan ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode ilmiah. Dengan demikian, tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu itu adalah pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dinamakan metode ilmiah.
Menurut Senn, metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.[11] Adapun sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah digunakannya akal dan pengalaman yang disertai dengan suatu unsur baru, yaitu hepotesa. Hipotesa dapat dipandang sebagai hukum, apabila suatu hipotesa dikukuhkan kebenarannya oleh berbagai macam contoh atau fakta. Sebab hipotesa adalah usulan penyelesaian yang berupa saran dan hanya bersifat sementara dan membutuhkan verifikasi. Dalam proses menemukan sebuah hipotesa dikatakan bahwa kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman mencari suatu bentuk untuk kemudian disusun fakta-fakta yang telah diketahui dalam suatu kerangka tertentu. Jika fakta tersebut sudah cocok dengan hipotesa yang ada, maka segenap yang serupa pasti juga cocok dengan hipotesa tadi. Metode penalaran yang bergerak dari suatu perangkat pengamatan yang sama jenisnya dikenal dengan metode “induksi”.
Apabila sebuah hipotesa telah diusulkan maka perlu verifikasi yang didukung dengan bahan-bahan bukti, di antaranya yaitu: bahan keterangan ysng diketahui harus cocok dengan hipotesa tersebut, hipotesa tersebut harus meramalkan bahan-bahan keterangan yang dapat diamati dan memang demikian keadaannya. Proses peramalan dilakukan dengan deduksi matematis. Jadi apabila suatu hipotesa benar berarti ada hal-hal tertentu yang diramalkan. Hal ini menggambarkan bahwa teknis deduksi yang pada hakikatnya bersifat rasionalistis merupakan faktor penting di dalam metode ilmiah.[12]
Menurut Imam wahyudi, metode untuk memperoleh pengetahuan adalah meliputi pengalaman indera, penalaran, intuisi, wahyu, kesaksian, dan keyakinan,[13] yang hal ini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
1). Pengalaman indera
Aliran Empiris berpendirian bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman inderawi, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat dilacak dengan indera dianggap bukan pengetahuan. Karena hanya pengalaman yang konkret, seperti apa yang kita dengar, lihat, cium, dan cicipi yang disebut sebagai pembentuk pengetahuan.
Empirisme menekankan kemampuan manusia untuk mengamati, sebab menurutnya pengetahuan itu kita peroleh dalam bentuk ide sesuai dengan fakta yang kita amati. Pengalaman muncul akibat objek yang merangsang alat inderawi dan kemudian diteruskan ke otak. Dalam otak rangsangan dipahami sebagaimana adanya.
2). Penalaran
Paham ini dikenal dengan paham rasionalisme, yang mengatakan pikiran atau akal adalah faktor pokok dalam pengetahuan. Dalam pandangannya akal mempunyai kemampuan untuk mengungkap kebenaran dengan atau dari diri sendiri, atau pengetahuan diperoleh dengan membandingkan ide dengan ide, sehingga penalaran menghasilkan pengetahuan.[14]
Menurut Pranarka, penalaran adalah jalan dalam proses menuju evolusi pengetahuan. Proses evolusi pengetahuan yang multiplikatif dan kompleks terjadi melalui penalaran. Evolusi pengetahuan yang sifatnya diskursif terjadi melalui penalaran.[15] Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri tertentu yaitu pola pikir logika. Adapun berpikir menurut logika dapat dibedakan dalam: logika induksi, logika deduksi, logika reduksi, dan logika eduksi. Akan tetapi penganut paham rasionalisme lebih memberi tekanan pada logika deduksi.
3). Intuisi
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan namun mampu membuat pernyataan yang berupa pengetahuan.[16]
Dalam pandangan Bergson intuisi dianggap sebagai sumber unggul dalam memperoleh pengtahuan. Ia mengatakan intuisi adalah pengetahuan yang lebih tinggi daripada indra atau akal. Intuisi yang sesungguhnya adalah insting yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun kita pada kehidupan ‘dalam’ atau menunjuk pada hal-hal yang vital. Hal ini terjadi karena intuisi meletakkan pengenal dalam keterhubungan dengan sesuatu yang dikenal melalui identifikasi dan simpati intelegensi.[17]
4). Wahyu
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada intelektual manusia. Hal ini terkait dengan eksistensi dan keabsahan ilmu sejarah, sebab ilmu sejarah tidak dapat disimpulkan berdasarkan pengamatan secara langsung, akan tetapi berdasar atas saksi-saksi masa lampau dan dukungan fakta serta arsip sejarah.
5). Kesaksian
Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas kesaksian biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang menyampaikan mempunyai kewibawaan tertentu. Kepercayaan muncul karena kesepakatan intelektual yang diberikan seseorang terhadap suatu kesaksian atas dasar kelayakan saksi untuk dipercaya. Yang penting, apakah saksi itu layak untuk dapat dipercaya. Dasar dari kesaksian untuk dapat dipercaya adalah:
- pengetahuan (otensitas), saksi mempunyai kemungkinan untuk mengetahui hal-hal yang dikemukakan
- integritas (verasitas), saksi mempunyai kelayakan untuk dapat dipercaya (tidak berdusta).
6). Keyakinan
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang terdapat pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun perbedaan antara sumber pengetahuan wahyu dan keyakinan yaitu, jika keyakinan terhadap wahyu diikuti secara dogmatik atas peraturan yang berupa agama. Sedangkan keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia adalah berupa pematangan dari kepercayaan. Kepercayaan adalah bersifat dinamis, sedangkan keyakinan bersifat statis.[18]


2.      Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, sehingga dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti dijelaskan pada pembahasan di atas, pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan dan dari karakteristik inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin ini yang memungkinkan ilmu berkembang relatif lebih cepat disbanding pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Secara definitif, pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia atas suatu objek yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Metode ilmiah dalam pandangan Imam Wahyudi ada dua macam, yaitu: metode analisis-sintesis, dan metode non-deduksi.[19]
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang dapat memperkaya khazanah ilmu yang telah ada.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan, tersusun secara sistematis dan objektif,  yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian aktivitas untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Untuk bisa mengklasifikasi apakah sebuah pengetahuan sudah menjadi pengetahuan ilmiah atau tidak dapat dilihat dari empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik.[20] Empat pola penjelasan ini tidak satu pun yang mampu menjelaskan secara keseluruhan suatu kajian keilmuan, oleh sebab itu dipergunakan pola yang berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula.





3.      Metode Ilmiah
Penelitian sebagai suatu rangkaian aktivitas yang kemudian melahirkan sebuah ilmu mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah ini dalam dunia keilmuan disebut dengan metode. Untuk menegaskan bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah ‘metode ilmiah’ (scientific method).
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau untuk mengembangkan pengetahuan yang ada.
Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya tidak hanya mencakup pengamatan dan percobaan. Masih banyak macam prosedur lainnya yang dapat dianggap sebagai pola-pola metode ilmiah, yaitu: analysis, description, classification, measurement, comparison, dan survey.[21]
Oleh karena itu ilmu merupakan suatu aktivitas kognitif yang harus mematuhi berbagai kaedah pemikiran yang logis, yaitu melalui logika.

C.    Penutup
Dari uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa cabang filsafat yang mengkaji tentang ilmu sebagai prosedur yang terkait dengan masalah metode pemerolehan ilmu tersebut adalah epistemologi.
Ilmu sebagai prosedur mencakup tiga hal, yaitu: (1) metode dalam memperoleh pengetahuan, yang meliputi empirisme, rasionalisme, fenomenalisme Kant, intuisionisme, dan metode ilmiah. (2) Pengetahuan ilmiah, yaitu segenap hasil pemahaman manusia atas suatu objek yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Dan (3) Metode ilmiah, yaitu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau untuk mengembangkan pengetahuan yang ada.


[1] M. Amin Abdullah, Dimensi Epistemologi-Metodologis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fak. Filsafat Universitas Gajah Mada, 1995), 9.
[2] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, alih bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 74
[3] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007), 1.
[4] Ibid., 17.
[5] Littlefield, Adams & CO, Treasury of World Philosophy, ed. Dagobert D. Runes (New Jersey: Paterson, 1959), 101.
[6] Abbas Hamami, Epistemologi (Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Filsafat, 1983), 20.
[7] Lazarsfeld dan Rosenberg, The language of Social Research (New York: the Free Press, 1955), 498.
[8] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, 133.
[9] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya Pada Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 45.
[10] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, 140.
[11] Peter R. Senn, Social Science and Its Methods (Boston: Holbrook, 1971), 4.
[12] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, 144.
[13] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, 39-53.
[14] Abbas Hamami, Epistemologi, 87.
[15] Pranarka, Epistimologi Dasar: Sebuah Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 83.
[16] Abbas Hamami, Epistemologi, 46.
[17] Milton D. Hunnex, Chronological and Thematic of Philosophies and Philosopher (Micigan: Academic Books, 1971), 10.
[18] Abbas Hamami, Epistemologi, 36.
[19] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, 32.
[20] Ernest Negel, The Structure of Science (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 20
[21] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, tt), 111.

No comments:

Post a Comment