ILMU
DALAM TINJAUAN EPISTEMOLOGI
A.
Pendahuluan
Sampai saat ini sejarah mencatat,
bahwa ilmu merupakan awal sebuah kesuksesan, dan menjadi ruh dalam pencerahan
peradaban. Kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan
pengetahuan dan pendobrak kebodohan -yang selalu diidentikkan dengan kondisi
fitrah manusia pada awal kehadirannya di dunia fana ini- (QS. 16: 78). Dari ilmu
lah mengalir deras berbagai penemuan baru (discovery) yang kemudian
dikembangkan pada taraf invention yang berguna bagi kemajuan kehidupan
manusia, termasuk bidang teknologi yang mengalami perkembangan sangat pesat. Maka
dari itu, perkembangan ilmu dan teknologi dalam perputaran sejarah kehidupan
ini tidak dapat kita hindari.
Namun demikian, tidak setiap
perubahan akan berimplikasi positif bagi kemajuan peradaban dunia, tapi di sisi
lain realitas juga menunjukkan adanya benturan antara perkembangan ilmu dengan
peradaban dewasa ini, sehingga muncul persoalan-persoalan signifikan mengenai
kekerasan eksternal akibat perubahan teknologis yang tak terkendali.
Diskursus ilmu pengetahuan erat
kaitannya dengan refleksi eksistensi manusia sebagai makhluk yang cinta akan
kebenaran. Oleh karena itu, dalam hal ini filsafat mengambil peran dalam usaha
menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia yang disebut “epistemologi”, sebuah
pendekatan teoritis yang akan mengkaji tentang sumber ilmu pengetahuan dan
kebenaran itu sendiri. Apakah ilmu pengetahuan itu diperoleh lewat akal pikiran
semata (rasionalisme), atau lewat pengamatan (empirisme), atau
bahkan hanya melalui intuisi (intuisionisme). Di samping itu, apakah
kebenaran pengetahuan manusia itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi,
koherensi, atau praktis pragmatis.[1]
Hal ini akan
penulis eksplor dalam bentuk makalah sederhana ini dengan judul Ilmu dalam
Tinjauan Epistemologi.
B.
Ilmu dalam Tinjauan Epistemologi
Filsafat ilmu
merupakan cabang ilmu filsafat yang berusaha menjelaskan apa dan mengapa ilmu
pengetahuan itu. Disiplin ini meliputi tiga bidang garapan, yaitu: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Sedangkan epistemologi itu sendiri
adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan
sahnya pengetahuan.[2]
Dalam sumber lain disebutkan, epistemologi adalah pengetahuan sistematik
tentang pengetahuan.[3] Dengan
demikian, epistemologi merupakan cabang
filsafat yang khusus membahas teori ilmu pengetahuan, dengan tiga pertanyaan
mendasar, yaitu: Apakah sumber-sumber pengetahuan itu dan bagaimanakah kita
mengetahui? Apakah sifat dasar pengetahuan itu? dan apakah pengetahuan itu
benar (valid)?
Terkait dengan
kajian epistemologi ini penulis akan membahas tiga hal yang merupakan bagian penting
dari point ilmu sebagai prosedur, antara lain sebagai berikut.
1.
Metode dalam
Memperoleh Pengetahuan
a.
Pengertian dan terjadinya pengetahuan
Plato
adalah orang pertama yang mempertanyakan apakah pengetahuan itu, sehingga ia
disebut sebagai epistemolog pertama pada abad ketiga sebelum masehi. Menurut
Chisholm yang dikutip oleh Imam Wahyudi, sebagai jawaban klasik tergambar dalam
dialog Plato Theaetetus bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan benar
yang terjustifikasi atau eviden, knowledge is evedent true belief.[4]
Hal
ini dapat dilihat dari contoh berikut: bila Anda tahu bahwa sekarang ini sedang
hujan, dan memang sedang hujan sehingga Anda percaya bahwa sekarang sedang
hujan. Atau mungkin dapat digeneralisasi dengan mengatakan bahwa, bila Anda
mempunyai pengetahuan maka berarti Anda mempunyai kepercayaan yang benar.
Pengetahuan
pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek
tertentu, termasuk ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan manusia,
di samping pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Dengan demikian, anak
kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan
IQnya. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau
tak langsung turut memperkaya kehidupan kita.
Dalam sumber yang
lain dijelaskan bahwa “the end-all of knowledge is to know that we cannot
know anything.[5]
Menurut perspektif penulis, statemen ini tidak lain hanya sebagai dorongan
moril atau motivasi untuk membangun kesadaran manusia akan eksistensi dirinya
sebagai makhluk yang digambarkan dalam al Qur’an $\«øx© cqßJn=÷ès?w kecuali mau
berproses mencoba dan terus mencari (examines and seeks) melalui asahan
konsep iqra’
.
Di
samping itu pengetahuan juga sebagai hasil aktivitas psikologi karena ada
hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang ingin dikenal.[6] Ini adalah
gambaran umum dari batasan yang dikemukakan oleh Rosenthal yang antara lain:
-
pengetahuan adalah proses mengetahui
dan identik dengan mengenal dan yang dikenal atau suatu atribut yang menjadikan
pengenal mampu untuk mengetahui
-
pengetahuan adalah pemahaman
-
pengetahuan adalah proses dari
menggapai atau mendapatkan
-
pengetahuan adalah proses dari
mengklarifikasi, menyatakan, dan memutuskan
-
pengetahuan adalah bentuk, konsep makna
dari proses mental pembentukan dan pengimajinasian (persepsi) dan atau
verifikasi mental (appersepsi)
-
pengetahuan adalah kepercayaan
-
pengetahuan adalah bayangan dari
pembentukan objek yang diketahui
-
pengetahuan adalah pernyataan sebagai
negasi atas ketidaktahuan
-
pengetahuan adalah pengintuisian yang
datang dari luar atau hasil dari refleksi.
Dari
beberapa rumusan pengertian pengetahuan dapat digarisbawahi bahwa pengetahuan memiliki
arti luas dan mencakup semua produk budaya seperti ide, ideologi, faham etika
dan hukum, fillsafat, sains (ilmu), dan teknologi.[7] Juga memiliki
sifat yang majemuk, seperti spontan, natural, refleksif, implisit dan
eksplisit, a-priori dan a-posteriori, inderawi dan intelektual,
intuisi, dan abstraksi.
Sedangkan
mengetahui tidaklah terjadi dalam suatu kondisi dan sebab yang terisolasi,
melainkan karena adanya unsur pembentuk pengetahuan yang terdiri dari subjek
yang ingin mengetahui dengan objek yang ingin diketahuinya. Jadi pengetahuan kita tidak semata-semata bersifat
aktif, melainkan mengandung kepasifan, artinya mendapat pengaruh dari objek
yang merangsang subjek.
b.
Metode
untuk memperoleh pengetahuan
Seperti penulis singgung di atas, objek kajian
epistemologi terletak pada persoalan bagaimana mendapatkan ilmu pengetahuan,
atau lebih tepatnya epistemologi berbicara tentang metode. Dalam hal ini
terdapat beberapa perbedaan perspektif, akan tetapi masih merupakan entitas
yang saling melengkapi satu sama lain, di antaranya sebagai berikut.
Menurut Kattsoff, ada lima metode dalam memperoleh
pengetahuan, yaitu antara lain:[8]
1. Empirisme
Bagi penganut aliran ini, pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman. John Locke yang dikenal sebagai bapak empirisme mengatakan bahwa
pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong atau yang disebut tabularasa, dan di dalam catatan itulah
pengalaman-pengalaman inderawi dicatat. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan
kita diperoleh dengan cara menggunakan serta membandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana
tersebut.
Namun dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristoteles
yang merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara aliran empirisme
dan rasionalisme. Plato memandang bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah.[9] Pengetahuan
yang bersumber dari pancaindra diragukan kebenarannya, sehingga tidak dapat dijadikan
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan indrawi hanya sebatas pengetahuan
persepsi yang hanya mampu melihat bentuk konkret sesuatu dari satu aspek saja.
Sementara Aristoteles menyebut proses pengamatan
empirik manusia sebagai proses “abstraksi”. Ia mengakui bahwa pengamatan
inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, tidak kekal, tetapi dengan pengamatan
dan penyelidikan yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret,
maka akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari benda yang konkret
tersebut.
2. Rasionalisme
Aliran ini berpendirian bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal. Namun demikian, rasionalisme tidak serta merta mereduksi
dan mengeleminasi peran pengalaman dalam proses pemeroleh pengetahuan, tapi
aliran ini memandang pengalaman indrawi sebagai sejenis perangsang bagi
pikiran. Para penganut rasionalisme meyakini bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide kita, bukan dalam diri barang sesuatu.
Descartes sebagai bapak rasionalisme continental
berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan, yaitu kebenaran yang
didapat melalui kegiatan akal pikiran atau budi. Menurutnya, kita harus
meragukan segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat (clear
and distinct). Hal ini yang kemudian melahirkan perkataan Descartes “saya
berpikir, maka saya ada”, yang menunjukkan adanya manusia (aku) adalah entitas
yang berpikir sebagai kebenaran pasti dan tak terbantahkan yang menjadi
landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Inilah suatu pengetahuan langsung,
yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (premium philosophicum).
3. Fenomenalisme ajaran Kant
Immanuel Kant, filsuf Jerman abad XVIII, melakukan
pendekatan kembali terhadap masalah empirisme dan rasionalisme sebagai bagian
dari metode untuk memperoleh pengetahuan. Metode fenolenalisme merupakan sebuah
metode yang mensintesakan antara pengetahuan a priori dan a posteriori.
Dalam pandangannya, pengetahuan sintetis a priori
dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri
dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Sedangkan pengetahuan
sintetis a posteriori diperoleh setelah ada pengalaman. Pengetahuan ini
merupakan bentuk pengetahuan empiris yang lazim. Bahkan dalam uraiannya ia
menyebutkan, barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri (das
Ding an sich)[10]
merangsang alat indrawi kita dan diterima oleh akal dalam bentuk pengalaman,
dihubungkan sesuai dengan kategori-kategori pengalaman, dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu pada dasarnya kita tidak
mempunyai pengetahuan tentang barang seperti apa adanya, melainkan hanya
tentang sesuatu seperti yang tampak di depan mata kepala kita, artinya hanya
berupa pengetahuan gejala (phenomenon). Kalau kita lihat pernyataan
sebelumnya bahwa aliran fenomenalisme lebih merupakan penengah antara aliran
empirisme dan rasionalisme.
4. Intuisionisme
Dalam hal ini terdapat perbedaan yang terletak pada
dua ungkapan, yaitu ‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) dan ‘pengetahuan
tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan mengenai’ dinamakan pengetahuan diskursif
atau pengetahuan simbolis, sebuah pengetahuan yang ada perantaranya.
‘Pengetahuan tentang’ disebut juga pengetahuan intuitif atau pengetahuan
langsung. Dengan kata lain, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif.
5. Metode ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam upaya
mendapatkan ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode
ilmiah. Dengan demikian, tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu
itu adalah pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yang dinamakan metode ilmiah.
Menurut Senn, metode adalah suatu prosedur atau cara
untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.[11] Adapun
sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah digunakannya akal dan pengalaman
yang disertai dengan suatu unsur baru, yaitu hepotesa. Hipotesa dapat dipandang
sebagai hukum, apabila suatu hipotesa dikukuhkan kebenarannya oleh berbagai
macam contoh atau fakta. Sebab hipotesa adalah usulan penyelesaian yang berupa
saran dan hanya bersifat sementara dan membutuhkan verifikasi. Dalam proses
menemukan sebuah hipotesa dikatakan bahwa kegiatan akal bergerak keluar dari
pengalaman mencari suatu bentuk untuk kemudian disusun fakta-fakta yang telah
diketahui dalam suatu kerangka tertentu. Jika fakta tersebut sudah cocok dengan
hipotesa yang ada, maka segenap yang serupa pasti juga cocok dengan hipotesa
tadi. Metode penalaran yang bergerak dari suatu perangkat pengamatan yang sama
jenisnya dikenal dengan metode “induksi”.
Apabila sebuah hipotesa telah diusulkan maka perlu
verifikasi yang didukung dengan bahan-bahan bukti, di antaranya yaitu: bahan
keterangan ysng diketahui harus cocok dengan hipotesa tersebut, hipotesa
tersebut harus meramalkan bahan-bahan keterangan yang dapat diamati dan memang
demikian keadaannya. Proses peramalan dilakukan dengan deduksi matematis. Jadi
apabila suatu hipotesa benar berarti ada hal-hal tertentu yang diramalkan. Hal
ini menggambarkan bahwa teknis deduksi yang pada hakikatnya bersifat rasionalistis
merupakan faktor penting di dalam metode ilmiah.[12]
Menurut Imam wahyudi, metode untuk memperoleh
pengetahuan adalah meliputi pengalaman indera, penalaran, intuisi, wahyu,
kesaksian, dan keyakinan,[13] yang
hal ini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
1). Pengalaman indera
Aliran Empiris berpendirian bahwa pengetahuan dapat
diperoleh melalui pengalaman inderawi, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat
dilacak dengan indera dianggap bukan pengetahuan. Karena hanya pengalaman yang konkret,
seperti apa yang kita dengar, lihat, cium, dan cicipi yang disebut sebagai
pembentuk pengetahuan.
Empirisme menekankan kemampuan manusia untuk
mengamati, sebab menurutnya pengetahuan itu kita peroleh dalam bentuk ide
sesuai dengan fakta yang kita amati. Pengalaman muncul akibat objek yang
merangsang alat inderawi dan kemudian diteruskan ke otak. Dalam otak rangsangan
dipahami sebagaimana adanya.
2). Penalaran
Paham ini dikenal dengan paham rasionalisme, yang
mengatakan pikiran atau akal adalah faktor pokok dalam pengetahuan. Dalam
pandangannya akal mempunyai kemampuan untuk mengungkap kebenaran dengan atau
dari diri sendiri, atau pengetahuan diperoleh dengan membandingkan ide dengan
ide, sehingga penalaran menghasilkan pengetahuan.[14]
Menurut Pranarka, penalaran adalah jalan dalam proses
menuju evolusi pengetahuan. Proses evolusi pengetahuan yang multiplikatif dan
kompleks terjadi melalui penalaran. Evolusi pengetahuan yang sifatnya diskursif
terjadi melalui penalaran.[15] Sebagai
suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri tertentu yaitu pola pikir
logika. Adapun berpikir menurut logika dapat dibedakan dalam: logika induksi,
logika deduksi, logika reduksi, dan logika eduksi. Akan tetapi penganut paham
rasionalisme lebih memberi tekanan pada logika deduksi.
3). Intuisi
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri
manusia yang berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan namun mampu membuat
pernyataan yang berupa pengetahuan.[16]
Dalam pandangan Bergson intuisi dianggap sebagai
sumber unggul dalam memperoleh pengtahuan. Ia mengatakan intuisi adalah
pengetahuan yang lebih tinggi daripada indra atau akal. Intuisi yang
sesungguhnya adalah insting yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun
kita pada kehidupan ‘dalam’ atau menunjuk pada hal-hal yang vital. Hal ini
terjadi karena intuisi meletakkan pengenal dalam keterhubungan dengan sesuatu
yang dikenal melalui identifikasi dan simpati intelegensi.[17]
4). Wahyu
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada
intelektual manusia. Hal ini terkait dengan eksistensi dan keabsahan ilmu
sejarah, sebab ilmu sejarah tidak dapat disimpulkan berdasarkan pengamatan
secara langsung, akan tetapi berdasar atas saksi-saksi masa lampau dan dukungan
fakta serta arsip sejarah.
5). Kesaksian
Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas kesaksian
biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang menyampaikan mempunyai kewibawaan
tertentu. Kepercayaan muncul karena kesepakatan intelektual yang diberikan
seseorang terhadap suatu kesaksian atas dasar kelayakan saksi untuk dipercaya. Yang
penting, apakah saksi itu layak untuk dapat dipercaya. Dasar dari kesaksian
untuk dapat dipercaya adalah:
- pengetahuan (otensitas), saksi mempunyai kemungkinan
untuk mengetahui hal-hal yang dikemukakan
- integritas (verasitas), saksi mempunyai kelayakan
untuk dapat dipercaya (tidak berdusta).
6). Keyakinan
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang terdapat pada
diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun perbedaan antara sumber
pengetahuan wahyu dan keyakinan yaitu, jika keyakinan terhadap wahyu diikuti
secara dogmatik atas peraturan yang berupa agama. Sedangkan keyakinan melalui
kemampuan kejiwaan manusia adalah berupa pematangan dari kepercayaan.
Kepercayaan adalah bersifat dinamis, sedangkan keyakinan bersifat statis.[18]
2.
Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah
merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, sehingga dapat
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti dijelaskan pada pembahasan di
atas, pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serangkaian langkah-langkah
tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan dan dari karakteristik inilah
maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin ini yang memungkinkan
ilmu berkembang relatif lebih cepat disbanding pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Secara definitif, pengetahuan ilmiah adalah segenap
hasil pemahaman manusia atas suatu objek yang diperoleh dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Metode ilmiah dalam pandangan Imam Wahyudi ada dua macam,
yaitu: metode analisis-sintesis, dan metode non-deduksi.[19]
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal
diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang dapat memperkaya khazanah
ilmu yang telah ada.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan,
tersusun secara sistematis dan objektif,
yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia
melakukan serangkaian aktivitas untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan
penjelasan yang ada. Untuk bisa mengklasifikasi apakah sebuah pengetahuan sudah
menjadi pengetahuan ilmiah atau tidak dapat dilihat dari empat jenis pola
penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan
genetik.[20]
Empat pola penjelasan ini tidak satu pun yang mampu menjelaskan secara
keseluruhan suatu kajian keilmuan, oleh sebab itu dipergunakan pola yang
berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula.
3.
Metode Ilmiah
Penelitian sebagai suatu rangkaian aktivitas yang
kemudian melahirkan sebuah ilmu mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian
cara dan langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah
ini dalam dunia keilmuan disebut dengan metode. Untuk menegaskan bidang
keilmuan itu seringkali dipakai istilah ‘metode ilmiah’ (scientific method).
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau untuk mengembangkan pengetahuan yang ada.
Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya
tidak hanya mencakup pengamatan dan percobaan. Masih banyak macam prosedur
lainnya yang dapat dianggap sebagai pola-pola metode ilmiah, yaitu: analysis,
description, classification, measurement, comparison, dan survey.[21]
Oleh karena itu ilmu merupakan suatu aktivitas
kognitif yang harus mematuhi berbagai kaedah pemikiran yang logis, yaitu
melalui logika.
C. Penutup
Dari uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil
suatu kesimpulan bahwa cabang filsafat yang mengkaji tentang ilmu sebagai
prosedur yang terkait dengan masalah metode pemerolehan ilmu tersebut adalah
epistemologi.
Ilmu sebagai prosedur mencakup tiga hal, yaitu: (1)
metode dalam memperoleh pengetahuan, yang meliputi empirisme, rasionalisme,
fenomenalisme Kant, intuisionisme, dan metode ilmiah. (2) Pengetahuan ilmiah,
yaitu segenap hasil pemahaman manusia atas suatu objek yang diperoleh dengan
menggunakan metode-metode ilmiah. Dan (3) Metode ilmiah, yaitu prosedur yang
mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis
untuk memperoleh pengetahuan baru atau untuk mengembangkan pengetahuan yang
ada.
[1]
M. Amin Abdullah, Dimensi
Epistemologi-Metodologis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fak. Filsafat
Universitas Gajah Mada, 1995), 9.
[2]
Louis O. Kattsoff, Elements
of Philosophy, alih bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2004), 74
[3]
Imam Wahyudi, Pengantar
Epistemologi (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007), 1.
[4]
Ibid., 17.
[5]
Littlefield, Adams & CO, Treasury
of World Philosophy, ed. Dagobert D. Runes (New Jersey: Paterson, 1959),
101.
[6]
Abbas Hamami, Epistemologi (Yogyakarta:
Yayasan Pembina Fakultas Filsafat, 1983), 20.
[7]
Lazarsfeld dan Rosenberg, The
language of Social Research (New York: the Free Press, 1955), 498.
[8]
Louis O. Kattsoff, Elements
of Philosophy, 133.
[9]
Suparman Syukur, Epistemologi
Islam Skolastik: Pengaruhnya Pada Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), 45.
[10]
Louis O. Kattsoff, Elements
of Philosophy, 140.
[11]
Peter R. Senn, Social
Science and Its Methods (Boston: Holbrook, 1971), 4.
[12]
Louis O. Kattsoff, Elements
of Philosophy, 144.
[13]
Imam Wahyudi, Pengantar
Epistemologi, 39-53.
[14]
Abbas Hamami, Epistemologi,
87.
[15]
Pranarka, Epistimologi
Dasar: Sebuah Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 83.
[16]
Abbas Hamami, Epistemologi,
46.
[17]
Milton D. Hunnex, Chronological
and Thematic of Philosophies and Philosopher (Micigan: Academic Books,
1971), 10.
[18]
Abbas Hamami, Epistemologi,
36.
[19]
Imam Wahyudi, Pengantar
Epistemologi, 32.
[20]
Ernest Negel, The Structure
of Science (New York: Harcourt, Brace & World, 1961), 20
[21]
The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, tt), 111.
No comments:
Post a Comment