Saturday, October 7, 2017

MAKALAH ILMU SEBAGAI PRODUK



ILMU SEBAGAI PRODUK
A.      PENDAHULUAN
Para filosof kenamaan yang telah berupaya berfikir secara keras dan mendalam pada intinya berusaha menemukan suatu kebenaran dari apa yang difikirkannya. Ilmu yang juga merupakan hasil dari proses berfikir manusia dengan melihat beberapa fenomena alam, merupakan proses akhir dari salah satu usaha manusia untuk mencari kebenaran tersebut, yang sebelumnya masih merupakan kebenaran sementara sebagai hasil mentah dari proses berfikirnya manusia. Orang awam boleh jadi memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman sehari-hari, namun pengetahuannya belum bisa dikatakan sebagai ilmu dalam arti sebenarnya, karena ilmu yang ia peroleh bukan merupakan kebenaran yang stabil dan universal lantaran belum teruji. Pengetahuan yang sudah teruji lalu absah baru bisa disebut sebagai kebenaran yang universal. Itulah ilmu yang menjadi target utama pencarian para ilmuwan.
Dilihat dari tipe dan jenisnya, Ilmu itu sendiri dibagi menjadi tiga: Pertama, ilmu sebagai inti dalam kehidupan sosial. Biasanya ilmu tipe demikian dikendalikan oleh elit sosial yang memandang bahwa tradisi masyarakat sebagai standar kebenaran. Konsekwensinya adalah dogmatisasi ilmu akibat kebenaran yang serba normatif. Kedua, ilmu sebagai proses. Dalam konteks ini kebenaran sebagai main goal dari ilmu pengetahuan dijadikan sebagai bahan antara, dimana kebenaran akhirnya terus diverifikasi melalui berbagai penelitian dan eksperimen. Ketiga, ilmu sebagai produk. Hal ini masih berkaitan dengan ilmu tipe kedua. Beragam penelitian tentang satu hal yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan akhir setelah dilakukan pengujian adalah sebuah produk dari pencarian kebenaran yang kita kenal sebagai ilmu.[1]
Dalam makalah ini, saya akan mencoba membahas secara lebih jauh tentang ilmu tipe ketiga di atas, yaitu ilmu sebagai produk yang akan kami coba untuk diurai secara lebih detail.
B.       LANDASAN ILMU

Sebagai produk dari usaha berfikir ilmiah, ilmu pengetahuan sudah pasti berlandaskan pada landasan yang jelas. Obyektivitas yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasar ilmu pengetahuan itu tanpa mengesampingkan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan adalah dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan keilmuan.[2] Dalam artian bahwa ilmu pengetahuan itu sama sekali tidak bebas nilai dan tetap mempertimbangkan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan.
Terdapat perbedaan di kalangan para ilmuwan mengenai hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai. Di satu sisi, sebagian berpendapat bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan satu pertimbangan bahwa kebenaran menjadi satu-satunya ukuran dalam kegiatan ilmiah. Sebagian yang lain  mengatakan bahwa pertimbangan nilai etika, kesusilaan dan kegunaan  untuk melengkapi nilai kebenaran ilmu sangat perlu dimasukkan ke dalam landasan ilmu, dengan kata lain ilmu taut nilai atau tidak bebas nilai.
  Berbeda dengan apa yang jelaskan Jujun bahwa ilmu pengetahuan berlandaskan pada tiga aspek yang cukup kuat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.[3] Epistemologi adalah cara mendapatkan kebenaran. Secara umum sarana yang digunakan ada dua, yaitu: indra dan akal. Dengan indra kemudian melahirkan aliran empirisisme yang dipelopori oleh John Locke, sementara dengan akal melahirkan paham rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes.
Aliran emperisisme banyak menuai kritik karena kelemahan di dalam mempertahankan eksistensinya sebagai sumber kebenaran, karena apapun yang diamati indera - selain kadang menipu - juga tidak memiliki makna apa-apa tanpa peran akal. Lahirnya rasionalisme sebenaranya konter ekstrim terhadap empirisisme. Walaupun rasionalisme juga bukanlah apa-apa tanpa kehadiran empirisisme yang bertumpu pada pengamatan indera tersebut. [4]
Selain dari kedua aliran yang telah disebutkan di atas terdapat aliran positivisme yang diprakarsai oleh Aguste Comte. Aliran positivisme ini menyatakan bahwa pengetahuan itu tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta.[5] Oleh karena itu tidak heran bila positivisme menolak cabang filsafat yang biasanya disebut metafisika. Paham Ini mampu bertahan selama berabad-abad hingga menghasilkan paham turunan semacam materialisme dan hedonisme.
Ketiga paham tersebut lahir di barat setelah runtuhnya dominasi gereja, maka, wajar jika ketiganya berpijak pada pemikiran sekuler yang serba material. Daya jangkau ketiganya juga terbatas pada hal yang tampak, sehingga kebenaran yang dihasilkan juga berkisar pada daya jangkaunya tersebut. Sementara yang tidak diamati dan tidak difikirkan luput dari amatan ketiga paham tersebut. Padahal masih ada realitas lain yang memiliki kebenaran dalam eksistensinya, yaitu alam rasa. Inilah kebenaran yang kemudian bisa didapatkan oleh hati. Paham yang mengusung hati sebagai sarana mencari kebenaran tersebut disebut sebagai intuisisme yang berakar dari dunia timur.[6]
Pertama, semua hal memiliki kemiripan antara satu dengan yang lainnya yang kemudian melahirkan ilmu taksonomi. Kedua, hakekat kebenaran bersifat universal, dimana ia bisa diterapkan pada hal lainnya. Ketiga, segala yang terjadi tidaklah terjadi secara kebetulan. Hal itu penting untuk dipahami lantaran kebetulan merupakan sebuah kejadian yang tidak bisa dijadikan landasan untuk menetapkan hukum kausalitas. Maka dengan begitu ilmu pengetahuan bisa mudah diperoleh dengan cara menyimpulkan sebuah kejadian dimana kesimpulan tersebut bisa dijadikan dasar selamanya.[7]
Aksiologi adalah nilai etika dan estetika yang ada dan berlaku dalam kehidupan manusia. Sebagai bagian dari hakekat kebenaran, aksiologi berkorelasi erat dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akibatnya apapun yang dihasilkan oleh ilmu akan selalu diselaraskan dengan etika tersebut. Memisahkan antara ilmu dengan nilai sama halnya dengan memisahkan antara teori dan aksi. Misalnya persoalan bom atom atau kloning yang mana keduanya merupakan produk ilmu yang sampai sekarang masih diperselisihkan untuk diterapkan karena dianggap berseberangan dengan nilai etika. [8]
C.      OBYEK ILMU

Secara umum objek ilmu terbagi menjadi dua, yaitu objek materi dan objek forma. Semua ilmu pengetahuan pasti memiliki kedua Obyek di atas untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah. Yang disebut obyek materi adalah hal atau benda yang diselidiki, sedangkan obyek forma adalah sudut pandang (point of view), dari mana hal atau benda tersebut dilihat atau dipandang. [9]
 Pendapat lain menyatakan bahwa obyek materi berarti fenomena di dunia ini yang ditelaah oleh ilmu, obyek menunjuk pada pokok persoalan dari suatu pengetahuan, dan obyek yang dapat diumpamakan bahan-bahan yang akan digunakan oleh seorang pelukis atau tukang bangunan. Sedangkan obyek forma adalah pusat perhatian dalam penelahaan ilmuwan terhadap fenomena tersebut, yang meliputi cara pengetahuan, asas-asas yang dipakai dan jenis argumentasi yang digunakan.[10]
Liang Gie mengelompokkan obyek materi menjadi enam jenis sebagai berikut:
1.      Ide abstrak, contohnya konsep bilangan;
2.      Benda fisik, contohnya gunung berapi;
3.      Jasad hidup, contohnya seekor burung;
4.      Gejala rohani, contohnya ingatan;
5.      Peristiwa sosial, contohnya pemerintah;
6.      Proses tanda, contohnya bahasa.[11]
Secara spesifik, M. Quraish Shihab menglasifikasi obyek ilmu ini ke dalam tiga hal, yaitu:[12]
1.    Fenomena alam
Alam adalah realitas pertama yang dihadapi manusia sejak mereka lahir. Keingintahuan manusia tentang hakekat alam pada awalnya didorong oleh motivasi untuk mengeksploitasi.[13] Semakin manusia mengetahui hakekat alam maka semakin gampang manusia memanfaatkannya. Disamping itu terdapat dorongan lain yang lebih penting yaitu dorongan untuk meneliti tentang hakekat alam sehingga pada akhirnya menghasilkan temuan-temuan tentang ilmu pengetahuan berikut segala dampaknya bagi kehidupan manusia.
Dampak dari temuan ilmu pengetahuan ini telah banyak memfasilitasi kehidupan manusia dengan adanya teknologi modern mulai dari sarana komunikasi hingga sarana transportasi canggih sebagaimana yang telah banyak dinikmati manusia modern saat ini. Bahkan produk teknologi canggih itu tidak hanya pada produk yang memberikan manfaat saja, tetapi juga pada hal yang membawa pada kehancuran manusia sendiri apabila disalahgunakan.
2.    Tuhan
Merupakan fitrah manusia untuk memahami hal paling besar yang mereka yakini melebihi kemampuan mereka sendiri. Bayangan mereka tentang indahnya sebuah kesempurnaan, ketika tidak bisa mereka wujudkan dalam diri mereka sendiri - secara antropologis -  melahirkan kepercayaan akan adanya dzat Tuhan. Proses pencarian akan dzat Tuhan terus berevolusi selaras dengan dinamika pemikiran manusia. Pencarian hakekat dzat Tuhan yang sebenarnya mengaktualisasikan format sesembahan di sepanjang masa. Bahkan polemik tentang tuhan yang bersifat akademis masih terus berlangsung sampai sekarang. Pembahasan yang bersifat ketuhanan tersebut disebut dengan ilmu teologi, sebuah ilmu yang pada dasarnya membahas tentang tuhan dan segenap hal-hal yang ghaib.
3.    Manusia
Manusia adalah makhluk yang oleh Alexis Carel disebut sebagai makhluk yang misterius.[14] Hal itu sebenarnya tidak terlalu berlebihan dengan melihat kompleksitas diri manusia, walaupun sebenarnya sangat disayangkan, konsentrasi yang begitu berlebihan terhadap ilmu alam dan ilmu ketuhanan membuat manusia lupa memahami hakekat diri mereka sendiri. Ilmu tentang hakekat manusia tercatat sebagai ilmu yang paling terakhir digarap yang celakanya sampai sekarang masih belum sempurna. Ketidak sempurnaan tersebut, disamping usianya yang masih dini, juga disebabkan kompleksitas diri manusia itu sendiri.
Apabila diteliti secara mendalam, setiap bagian dari diri manusia bisa melahirkan suatu cabang ilmu pengetahuan yang jika didalami, satu cabang itu akan menciptakan cabang ilmu yang lain. Ilmu kedokteran yang memusatkan perhatian dan penelitian terhadap fisik manusia, maka akan melahirkan suatu penemuan teori pengetahuan tentang fisik tersebut. Misalnya mata yang merupakan bagian dari fisik manusia, dengan menelitinya, lahirlah teori pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu kesehatan mata. Jika diperdalam lagi, teori pengetahuan tentang kesehatan mata itu akan melahirkan ilmu yang yang lebih spesifik lagi yaitu ilmu tentang penyakit retina, dan lain sebagainya.
Secara fisik saja, apabila dilihat secara mendalam, dalam diri manusia terdapat hal yang sangat kompleks, padahal jiwa manusia adalah realitas yang lebih kompleks lagi. Selain abstrak ia juga memiliki kompleksitas lebih banyak dari pada  fisik. Dan ilmu tentang manusia ini disebut dengan ilmu antropologi.

D.      SARANA BERFIKIR ILMIAH DAN BAHASA ILMIAH
1.       Sarana Berfikir Ilmiah
Dalam segala kegiatan, sarana merupakan suatu hal yang sangat penting demi lancarnya dan terlaksananya suatu kegiatan atau pekerjaan dengan baik. Begitu juga kegiatan berfikir yang merupakan ciri utama  manusia sebagai makhluk yang dibekali akal fikiran, adanya sarana berfikir merupakan suatu keharusan, karena untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan adanya sarana berpikir ini.
Sarana berfikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri sebagaimana bidang lainnya, hanya perbedaannya ia tidak didapat melalui metode ilmiah, yang mana tujuan mempelajarinya adalah untuk memungkinkan kita untuk melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan mempelajari ilmu sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita mampu memecahkan masalah sehari-hari.[15]
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu, biasanya dibutuhkan pula adanya sarana tertentu. Oleh karena itu, sebelum mempelajari tentang sarana ilmiah, sepantasnya sudah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan ini kita akan sampai pada hakikat sarana berfikir yang sebenarnya dan kegiatan berfikir ilmiah akan berjalan dengan baik.[16]
Tidak kalah pentingnya bahwa berfikir ilmiah yang bertujuan untuk mencari kebenaran ilmiah harus dilengkapi pula dengan berapa hal yang bisa mempertahankan hasil pencapaian kebenaran tersebut. Sebuah kebenaran ilmiah bisa dilihat dari obyektifitas, sistematika dan logika. Selama hal itu bisa dibuktikan dengan ketiga hal tersebut, maka ia pantas disebut sebagai kebenaran ilmiah. Untuk sampai kepada ketiga hal tersebut diperlukan beberapa tahapan:[17]
a.       Felt need (kebutuhan yang dirasakan) atau rasa ketakjuban terhadap suatu hal yang mendorong untuk mengetahui lebih jauh tentang hal tersebut.
b.      Problem. Hal yang ingin diketahui itu kemudian dirumuskan berdasarkan aspek-aspek yang ingin dipahaminya. Hal itu kemudian dirancang dalam rumusan masalah sehingga bisa mempermudah proses pencarian tentang kebenaran hal tersebut.
c.       Hypotesa. Yaitu dugaan awal tentang persoalan yang hendak diselidiki. Dugaan tersebut merupakan kesimpulan deduktif yang kebenarannya masih bersifat sementara dan subyektif. Hipotesa penting dilakukan sebagai landasan awal untuk menguji kebenran suatu hal yang kebenarannya sudah diyakini sebelumnya.
d.      Data. Hipotesa yang sifatnya adalah kebenaran sementara. ia kemudian akan diuji dengan berbagai macam data yang dikumpulkan. Terkadang data yang ada selaras dengan hipotesa dan terkadang pula ia berbeda arah. Hipotesa yang didukung oleh data merupakan kebenaran final.
e.       Konklusi. Setelah data dikumpulkan dan dikaji secara mendalam serta disandingkan dengan hipotesa maka lahirlah sebuah kesimpulan tentang hakekat persoalan yang dikaji. Kesimpulan itu adalah tahap akhir dari tahapan berfikir ilmiah tersebut.
Pada titik ini apa yang diperoleh bisa disebut sebagai sebuah kebenaran. Namun  ia tidak mutlak karena ilmu sebagai produk pemikiran manusia tentu memiliki kemungkinan untuk berubah atau terus mengalami penyempurnaan sejalan dengan penemuan-penemuan baru. Untuk itu sangat penting untuk menambahkan tahap verifikasi sebagai sarana uji ulang terhadap kebenaran yang telah didapat.

2.      Bahasa Ilmiah
Bahasa yang merupakan salah satu bagian sarana berfikir ilmiah menurut Jujun S. Suriasumantri; pertama, dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan sebagai komunikasi verbal. Kedua, merupakan lambang di mana serangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu umpamanya gunung atau burung merpati. [18]  Dia juga menegaskan bahwa keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berfikirnya, melainkan pada kemampuannya berbahasa.[19]
Menurut Abdul Halim Fathoni: ”bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi”.
Bisa juga ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukanlah satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menyontohkan adanya orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama seperti gerakan tubuh, isyarat,  asap api, bunyi kentongan  dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak  kelemahan. Karena bahasa dapat diwujudkan secara lebih luas dan kompleks daripada apa yang telah diwujudkan dengan mempergunakan media tadi.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan sarana berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, hubungan manusia dan bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya dan itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dipungkiri.
Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Demikian juga, ia memberikan kemampuan untuk berfikir secara teratur dan sistematis. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat kata-kata ini, dirangkai oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan.[20]
 
E.       STRUKTUR DAN KLASIFIKASI ILMU
1.     Struktur Ilmu
Dalam suatu organisasi, struktur merupakan sejumlah organ atau perangkat dari organisasi tersebut terkait dengan mekanisme kerjanya dan tujuan yang akan dicapai. Dalam proses operasionalnya tentu diperlukan koordinasi yang baik agar tautan dari perangkat satu dan lainya tidak terputus. Seorang kepala sekolah dalam organisasi sekolah misalnya, sampai kepada para guru pemegang mata pelajaran bahkan sampai kepada tukang kebun, akan mencapai suatu tujuan organisasi yaitu memintarkan jika mereka memiliki koordinasi yang baik.
Adapun dalam konsep ilmu, tentu mekanisme kerja yang ada dalam strukturnya memiliki goal yaitu sebuah kebenaran; benar menurut rasio, mendasar dan diakui secara umum. Dan berangkat dari pemahaman tentang sebuah struktur yang ada pada sebuah organisasi yang dalam hal ini memiliki kesamaan istilah yaitu struktur dan kesamaan fungsinya sebagai mekanisme kerja, maka akan timbul sebuah perspeksif khusus mengenai struktur yang ada dalam Sistem Ilmu.
Dalam bahasa Inggris struktur adalah structure yang artinya adalah bangunan susunan. Dan sebutan untuk pandangan filsafat atau gerakan filsafatnya disebut strukturalisme. Ditinjau dari fungsinya ia juga disebut sebagai Sistem Ilmu. Adapun fungsi struktur ilmu adalah sebagai system yang memproses hipotesis dari suatu masalah yang dimunculkan kepada kenyataan yang membenarkan atau menolak hipotesis tersebut.[21] Jika sesuai dengan hipotesis maka jadilah ia sebagai temuan ilmiah atau prinsisp-prinsip sebuah pengetahuan ilmiah dan atau yang disebut sebagai ilmu. Adapun jika ternyata menolak hipotesis, maka berhentilah sampai di situ saja.
Sebagaimana sistem-sistem lainnya, ilmu pengetahuan juga memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Komponen utama dari sistem ilmu adalah: perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, dan ramalan dan kontrol.[22]
Terkait dengan pengertian dan fungsi dari struktur ilmu, sangatlah tidak berlebihan jika struktur ilmu dianggap sebagai sebuah sistem yang harus dipahami oleh siapapun yang berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan, sehingga akan dapat membedakan antara pengetahuan biasa dan pengetahuan yang didapat melalui metode ilmu. Selain itu dengan penguasaan struktur ilmu memungkinkan juga bagi siapapun untuk menjadi seorang ilmuwan yang selalu inten dalam pengembangan pengetahuan.
2.    Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi ilmu merupakan salah satu tema yang terus-menerus muncul dalam khazanah keilmuan Islam maupun Barat. Hal ini bisa dimaklumi karena masalah klasifikasi ilmu merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual. Dalam tradisi intelektual Islam, misalnya, upaya islamisasi ilmu takkan mungkin mencapai tujuannya jika visi tentang klasifikasi ilmu tidak dimengerti sebelumnya. Sejak Al-Farabi, Al-Ghazali, hingga Quthb Al-Din Al-Syirazi, serta generasi-generasi sarjana Muslim lainnya telah banyak mencurahkan bakat dan kejeniusan intelektual mereka untuk menjelaskan tema ini secara rinci. Begitu juga dalam khazanah keilmuan Barat, sejak Claude-Henri de Saint-Simon, Christian Wolff, Aguste Comte, Karl Raimund Popper, Thomas S. Kuhn, hingga Jurgen Habermas juga telah membuat klasifikasi ilmu dengan cara pandang yang menempatkan seluruh ilmu pengetahuan dalam tataran yang sama.
Terdapat berbagai jenis ilmu pengetahuan. Auguste Comte menyusun suatu ensiklopedi ilmu pengetahuan dengan mengklasifikasikan ilmu atas dasar tingkat kompleksitas gejala-gejala yang dihadapi, yaitu: matematika (yang menjadi dasar semua ilmu), astronomi, fisika, kimia dan biologi. [23]
Saat ini mulai dirasakan bahwa batas-batas demarkasi antara cabang ilmu yang satu dengan lainnya sudah mulai kabur, sehingga perlu dilibatkan etik dan moral dalam penetapan ilmu, demi pelestarian dan peningkatan harkat dan derajat manusia sendiri. Perlunya cabang-cabang ilmu ”saling menyapa” dalam rangka membina dan mengembangkan dirinya.
a.       Ilmu alam bernyawa (biologi);
b.      Ilmu alam tak bernyawa (fisika);
c.       Ilmu bahasa (alat berkomunikasi manusia);
d.      Ilmu sosial (hubungan antar manusia).
Ilmu Dalam klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional. Baru pada klasifikasi ilmu oleh Ibn Khaldunlah (wafat 1406 M.) integrasi ini terlihat jelas. Ilmu naqli menurut Ibn Khaldun terdiri dari:
a.       Tafsir al-Qur’an dan Hadith;
b.      Fiqih;
c.       Tafsir ayat mutasyabihat;
d.      Kalam ;
e.       Tasawuf;
f.        Tabir Mimpi.
Ilmu pada klasifikasi naqli ini, bersifat praktis bukan teoritis, yaitu untuk menjamin penerapan hukum-hukum. Selain itu juga, Ilmu rasional/aqli terbagi menjadi empat bagian:
a.       Burhani (demonstrasi);
b.      Jadali (dialektika);
c.       Khithabah (retorika);
d.      Syiir (puisi);
e.       Safsathah (sofistry);
f.        Ilmu Fisika;
g.       Matematika;
h.      Metafisika.






F.       Kesimpulan


Dari beberapa penjelasan yang telah lalu, maka terdapat beberapa hal yang dapat saya simpulkan bahwa:
1.    Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berfikir dengan potensi akal yang dimilikinya;
2.    Kreativitas proses berfikir manusia telah menghasilkan suatu produk yang dikenal dengan ilmu pengetahuan melalui pengamatan terhadap beberapa obyek ilmu pengetahuan, baik obyek materi ataupun obyek forma;
3.    Ilmu pengetahuan sebagai produk berfikir ilmiah baru dapat diterima secara universal sebagai bentuk kebenaran ilmiah apabila sudah teruji;
4.    Dalam proses berfikir ilmiah, manusia harus mengetahui dan memfungsikan beberapa sarana berfikir ilmiah yang diantaranya adalah bahasa yang menjadi salah satu ciri keunikan manusia;
5.    Ilmu pengetahuan itu memiliki struktur tersendiri yang juga terdiri dari beberapa komponen penting, yang antara satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan; begitu juga diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian yang saling berkesinambungan dan saling melengkapi.



[1] Koento Wibisono, Filsafat Ilmu Dalam Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 8.
[2] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu (Jogjakarta:Liberti 2003), hal.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003), hal.
[4] Abdul jamil, Filsafat Ilmu  Dalam Tradisi  Pemikiran Filsafat Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 67.
[5] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. 72
[6] Naufal Ramzy, Filsafat Ilmu, makalah yang disampaikan pada LK 1 HMI, Sumenep sabtu 12 mei 2007.
[7]Abdul jamil, Filsafat Ilmu Dalam Islam…hal. 71.
[8] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 2006), hal, 81-82.
[9] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 08
[10] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:Ar-Ruzz media,2005), hal. 67-68
[11] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Liberty,2004), hal. 143
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 231.
[13] Didin Hafidhudin, Dakwah aktual, (Gema Insani Press, Jakarta, 1998).
[14] Zacky syafa; Maftuh Ahnan, Filsafat manusia, (Terbit Terang, Surabaya, T.th), hal. 23
[15] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 167
[16] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 165
[17] Abdul jamil, Filsafat Ilmu  Dalam Tradisi  Pemikiran Filsafat Islam…hal. 72-73
[18] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal, 175.
[19] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 171
[20] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 173
[21] Kasmadi, Hartono, dkk.. Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press. 1990), hal. 45.
[22] Peter R. Senn, Struktur Ilmu, dalam  Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Editor : Jujun S. Suriasumantri, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983), hal. 111
[23] Sunardji Dahri Tiam, Berkenalan Dengan Filsafat Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), hal. 23

1 comment:

  1. Terima kasih banyak,kepada pembuat,izin menerapkan🙏🏻

    ReplyDelete