ILMU SEBAGAI PRODUK
A. PENDAHULUAN
Para filosof kenamaan yang telah berupaya berfikir secara keras
dan mendalam pada intinya berusaha menemukan suatu kebenaran dari apa yang
difikirkannya. Ilmu yang juga merupakan hasil dari proses berfikir manusia
dengan melihat beberapa fenomena alam, merupakan proses akhir dari salah satu usaha
manusia untuk mencari kebenaran tersebut, yang sebelumnya masih merupakan
kebenaran sementara sebagai hasil mentah dari proses berfikirnya manusia. Orang
awam boleh jadi memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman sehari-hari, namun
pengetahuannya belum bisa dikatakan sebagai ilmu dalam arti sebenarnya, karena ilmu
yang ia peroleh bukan merupakan kebenaran yang stabil dan universal lantaran
belum teruji. Pengetahuan yang sudah teruji lalu absah baru bisa disebut
sebagai kebenaran yang universal. Itulah ilmu yang menjadi target utama
pencarian para ilmuwan.
Dilihat dari tipe dan jenisnya, Ilmu
itu sendiri dibagi menjadi tiga: Pertama, ilmu sebagai inti dalam kehidupan
sosial. Biasanya ilmu tipe demikian dikendalikan oleh elit sosial yang
memandang bahwa tradisi masyarakat sebagai standar kebenaran. Konsekwensinya
adalah dogmatisasi ilmu akibat kebenaran yang serba normatif. Kedua, ilmu
sebagai proses. Dalam konteks ini kebenaran sebagai main goal dari ilmu
pengetahuan dijadikan sebagai bahan antara, dimana kebenaran akhirnya terus diverifikasi
melalui berbagai penelitian dan eksperimen. Ketiga, ilmu sebagai produk. Hal
ini masih berkaitan dengan ilmu tipe kedua. Beragam penelitian tentang satu hal
yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan akhir setelah dilakukan pengujian adalah
sebuah produk dari pencarian kebenaran yang kita kenal sebagai ilmu.[1]
Dalam makalah ini, saya akan mencoba
membahas secara lebih jauh tentang ilmu tipe ketiga di atas, yaitu ilmu sebagai
produk yang akan kami coba untuk diurai secara lebih detail.
B. LANDASAN ILMU
Sebagai produk dari usaha berfikir ilmiah, ilmu pengetahuan
sudah pasti berlandaskan pada landasan yang jelas. Obyektivitas yang tertuju
kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasar ilmu
pengetahuan itu tanpa mengesampingkan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Sebab, nilai-nilai
kemanusiaan adalah dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan keilmuan.[2] Dalam
artian bahwa ilmu pengetahuan itu sama sekali tidak bebas nilai dan tetap
mempertimbangkan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan.
Terdapat perbedaan di kalangan para ilmuwan mengenai
hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai. Di satu sisi, sebagian berpendapat
bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan satu pertimbangan bahwa kebenaran menjadi
satu-satunya ukuran dalam kegiatan ilmiah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pertimbangan nilai etika,
kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi
nilai kebenaran ilmu sangat perlu dimasukkan ke dalam landasan ilmu, dengan
kata lain ilmu taut nilai atau tidak bebas nilai.
Berbeda dengan apa yang jelaskan Jujun bahwa
ilmu pengetahuan berlandaskan pada tiga aspek yang cukup kuat, yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi.[3] Epistemologi
adalah cara mendapatkan kebenaran. Secara umum sarana yang digunakan ada
dua, yaitu: indra dan akal. Dengan indra kemudian melahirkan aliran empirisisme
yang dipelopori oleh John Locke, sementara dengan akal melahirkan paham rasionalisme
yang dipelopori oleh Rene Descartes.
Aliran emperisisme banyak menuai kritik
karena kelemahan di dalam mempertahankan eksistensinya sebagai sumber kebenaran,
karena apapun yang diamati indera - selain kadang menipu - juga tidak memiliki
makna apa-apa tanpa peran akal. Lahirnya rasionalisme sebenaranya konter
ekstrim terhadap empirisisme. Walaupun rasionalisme juga bukanlah apa-apa tanpa
kehadiran empirisisme yang bertumpu pada pengamatan indera tersebut. [4]
Selain dari kedua aliran yang telah
disebutkan di atas terdapat aliran positivisme yang diprakarsai oleh Aguste
Comte. Aliran positivisme ini menyatakan bahwa pengetahuan itu tidak pernah
boleh melebihi fakta-fakta.[5] Oleh
karena itu tidak heran bila positivisme menolak cabang filsafat yang biasanya
disebut metafisika. Paham Ini mampu bertahan selama berabad-abad hingga
menghasilkan paham turunan semacam materialisme dan hedonisme.
Ketiga paham tersebut lahir di barat
setelah runtuhnya dominasi gereja, maka, wajar jika ketiganya berpijak pada
pemikiran sekuler yang serba material. Daya jangkau ketiganya juga terbatas
pada hal yang tampak, sehingga kebenaran yang dihasilkan juga berkisar pada
daya jangkaunya tersebut. Sementara yang tidak diamati dan tidak difikirkan
luput dari amatan ketiga paham tersebut. Padahal masih ada realitas lain yang
memiliki kebenaran dalam eksistensinya, yaitu alam rasa. Inilah kebenaran yang
kemudian bisa didapatkan oleh hati. Paham yang mengusung hati sebagai sarana
mencari kebenaran tersebut disebut sebagai intuisisme yang berakar dari dunia
timur.[6]
Pertama, semua hal memiliki kemiripan
antara satu dengan yang lainnya yang kemudian melahirkan ilmu taksonomi. Kedua,
hakekat kebenaran bersifat universal, dimana ia bisa diterapkan pada hal lainnya.
Ketiga, segala yang terjadi tidaklah terjadi secara kebetulan. Hal itu penting
untuk dipahami lantaran kebetulan merupakan sebuah kejadian yang tidak bisa
dijadikan landasan untuk menetapkan hukum kausalitas. Maka dengan begitu ilmu
pengetahuan bisa mudah diperoleh dengan cara menyimpulkan sebuah kejadian
dimana kesimpulan tersebut bisa dijadikan dasar selamanya.[7]
Aksiologi adalah nilai etika dan estetika yang ada dan berlaku dalam kehidupan
manusia. Sebagai bagian dari hakekat kebenaran, aksiologi berkorelasi erat
dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akibatnya apapun yang dihasilkan oleh ilmu
akan selalu diselaraskan dengan etika tersebut. Memisahkan antara ilmu dengan
nilai sama halnya dengan memisahkan antara teori dan aksi. Misalnya persoalan
bom atom atau kloning yang mana keduanya merupakan produk ilmu yang sampai sekarang
masih diperselisihkan untuk diterapkan karena dianggap berseberangan dengan
nilai etika. [8]
C. OBYEK ILMU
Secara umum objek ilmu terbagi menjadi dua, yaitu objek materi
dan objek forma. Semua ilmu pengetahuan pasti memiliki kedua Obyek di atas
untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah. Yang disebut obyek materi adalah hal
atau benda yang diselidiki, sedangkan obyek forma adalah sudut pandang (point
of view), dari mana hal atau benda tersebut dilihat atau dipandang. [9]
Pendapat lain
menyatakan bahwa obyek materi berarti fenomena di dunia ini yang ditelaah oleh
ilmu, obyek menunjuk pada pokok persoalan dari suatu pengetahuan, dan obyek
yang dapat diumpamakan bahan-bahan yang akan digunakan oleh seorang pelukis
atau tukang bangunan. Sedangkan obyek forma adalah pusat perhatian dalam
penelahaan ilmuwan terhadap fenomena tersebut, yang meliputi cara pengetahuan,
asas-asas yang dipakai dan jenis argumentasi yang digunakan.[10]
Liang Gie mengelompokkan obyek materi menjadi enam jenis
sebagai berikut:
1. Ide abstrak, contohnya konsep bilangan;
2. Benda fisik, contohnya gunung berapi;
3. Jasad hidup, contohnya seekor burung;
4. Gejala rohani, contohnya ingatan;
5. Peristiwa sosial, contohnya pemerintah;
6. Proses tanda, contohnya bahasa.[11]
Secara spesifik, M. Quraish Shihab menglasifikasi
obyek ilmu ini ke dalam tiga hal, yaitu:[12]
1. Fenomena alam
Alam adalah realitas pertama yang dihadapi manusia sejak
mereka lahir. Keingintahuan manusia tentang hakekat alam pada awalnya didorong
oleh motivasi untuk mengeksploitasi.[13] Semakin
manusia mengetahui hakekat alam maka semakin gampang manusia memanfaatkannya.
Disamping itu terdapat dorongan lain yang lebih penting yaitu dorongan untuk
meneliti tentang hakekat alam sehingga pada akhirnya menghasilkan temuan-temuan
tentang ilmu pengetahuan berikut segala dampaknya bagi kehidupan manusia.
Dampak dari temuan ilmu pengetahuan ini telah banyak
memfasilitasi kehidupan manusia dengan adanya teknologi modern mulai dari
sarana komunikasi hingga sarana transportasi canggih sebagaimana yang telah
banyak dinikmati manusia modern saat ini. Bahkan produk teknologi canggih itu
tidak hanya pada produk yang memberikan manfaat saja, tetapi juga pada hal yang
membawa pada kehancuran manusia sendiri apabila disalahgunakan.
2. Tuhan
Merupakan fitrah manusia untuk memahami hal paling besar
yang mereka yakini melebihi kemampuan mereka sendiri. Bayangan mereka tentang
indahnya sebuah kesempurnaan, ketika tidak bisa mereka wujudkan dalam diri
mereka sendiri - secara antropologis - melahirkan kepercayaan akan adanya dzat Tuhan.
Proses pencarian akan dzat Tuhan terus berevolusi selaras dengan dinamika
pemikiran manusia. Pencarian hakekat dzat Tuhan yang sebenarnya
mengaktualisasikan format sesembahan di sepanjang masa. Bahkan polemik tentang
tuhan yang bersifat akademis masih terus berlangsung sampai sekarang. Pembahasan
yang bersifat ketuhanan tersebut disebut dengan ilmu teologi, sebuah ilmu yang
pada dasarnya membahas tentang tuhan dan segenap hal-hal yang ghaib.
3. Manusia
Manusia adalah makhluk yang oleh Alexis Carel disebut sebagai
makhluk yang misterius.[14] Hal itu
sebenarnya tidak terlalu berlebihan dengan melihat kompleksitas diri manusia,
walaupun sebenarnya sangat disayangkan, konsentrasi yang begitu berlebihan
terhadap ilmu alam dan ilmu ketuhanan membuat manusia lupa memahami hakekat
diri mereka sendiri. Ilmu tentang hakekat manusia tercatat sebagai ilmu yang
paling terakhir digarap yang celakanya sampai sekarang masih belum sempurna.
Ketidak sempurnaan tersebut, disamping usianya yang masih dini, juga disebabkan
kompleksitas diri manusia itu sendiri.
Apabila diteliti secara mendalam, setiap bagian dari diri
manusia bisa melahirkan suatu cabang ilmu pengetahuan yang jika didalami, satu
cabang itu akan menciptakan cabang ilmu yang lain. Ilmu kedokteran yang
memusatkan perhatian dan penelitian terhadap fisik manusia, maka akan
melahirkan suatu penemuan teori pengetahuan tentang fisik tersebut. Misalnya mata
yang merupakan bagian dari fisik manusia, dengan menelitinya, lahirlah teori
pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu kesehatan mata. Jika diperdalam lagi,
teori pengetahuan tentang kesehatan mata itu akan melahirkan ilmu yang yang
lebih spesifik lagi yaitu ilmu tentang penyakit retina, dan lain sebagainya.
Secara fisik saja, apabila dilihat secara mendalam, dalam
diri manusia terdapat hal yang sangat kompleks, padahal jiwa manusia adalah
realitas yang lebih kompleks lagi. Selain abstrak ia juga memiliki kompleksitas
lebih banyak dari pada fisik. Dan ilmu
tentang manusia ini disebut dengan ilmu antropologi.
D. SARANA BERFIKIR ILMIAH DAN BAHASA ILMIAH
1. Sarana Berfikir Ilmiah
Dalam segala kegiatan, sarana merupakan
suatu hal yang sangat penting demi lancarnya dan terlaksananya suatu kegiatan
atau pekerjaan dengan baik. Begitu juga kegiatan berfikir yang merupakan ciri
utama manusia sebagai makhluk yang
dibekali akal fikiran, adanya sarana berfikir merupakan suatu keharusan, karena
untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan adanya sarana berpikir
ini.
Sarana berfikir ilmiah ini merupakan
bidang studi tersendiri sebagaimana bidang lainnya, hanya perbedaannya ia tidak
didapat melalui metode ilmiah, yang mana tujuan mempelajarinya adalah untuk
memungkinkan kita untuk melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan
mempelajari ilmu sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
memungkinkan kita mampu memecahkan masalah sehari-hari.[15]
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan
alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.
Pada langkah tertentu, biasanya dibutuhkan pula adanya sarana tertentu. Oleh
karena itu, sebelum mempelajari tentang sarana ilmiah, sepantasnya sudah
menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan ini kita akan
sampai pada hakikat sarana berfikir yang sebenarnya dan kegiatan berfikir
ilmiah akan berjalan dengan baik.[16]
Tidak kalah
pentingnya bahwa berfikir ilmiah yang bertujuan untuk mencari kebenaran ilmiah
harus dilengkapi pula dengan berapa hal yang bisa mempertahankan hasil
pencapaian kebenaran tersebut. Sebuah kebenaran
ilmiah bisa dilihat dari obyektifitas, sistematika dan logika. Selama hal itu
bisa dibuktikan dengan ketiga hal tersebut, maka ia pantas disebut sebagai kebenaran
ilmiah. Untuk sampai kepada ketiga hal tersebut diperlukan beberapa tahapan:[17]
a. Felt need
(kebutuhan yang dirasakan) atau rasa ketakjuban terhadap suatu hal yang
mendorong untuk mengetahui lebih jauh tentang hal tersebut.
b. Problem. Hal
yang ingin diketahui itu kemudian dirumuskan berdasarkan aspek-aspek yang ingin
dipahaminya. Hal itu kemudian dirancang dalam rumusan masalah sehingga bisa
mempermudah proses pencarian tentang kebenaran hal tersebut.
c. Hypotesa. Yaitu
dugaan awal tentang persoalan yang hendak diselidiki. Dugaan tersebut merupakan
kesimpulan deduktif yang kebenarannya masih bersifat sementara dan subyektif.
Hipotesa penting dilakukan sebagai landasan awal untuk menguji kebenran suatu
hal yang kebenarannya sudah diyakini sebelumnya.
d. Data. Hipotesa
yang sifatnya adalah kebenaran sementara. ia kemudian akan diuji dengan
berbagai macam data yang dikumpulkan. Terkadang data yang ada selaras dengan
hipotesa dan terkadang pula ia berbeda arah. Hipotesa yang didukung oleh data
merupakan kebenaran final.
e. Konklusi.
Setelah data dikumpulkan dan dikaji secara mendalam serta disandingkan dengan
hipotesa maka lahirlah sebuah kesimpulan tentang hakekat persoalan yang dikaji.
Kesimpulan itu adalah tahap akhir dari tahapan berfikir ilmiah tersebut.
Pada titik ini apa yang diperoleh bisa
disebut sebagai sebuah kebenaran. Namun
ia tidak mutlak karena ilmu sebagai produk pemikiran manusia tentu memiliki
kemungkinan untuk berubah atau terus mengalami penyempurnaan sejalan dengan
penemuan-penemuan baru. Untuk itu sangat penting untuk menambahkan tahap verifikasi
sebagai sarana uji ulang terhadap kebenaran yang telah didapat.
2.
Bahasa Ilmiah
Bahasa yang
merupakan salah satu bagian sarana berfikir ilmiah menurut Jujun S. Suriasumantri; pertama, dapat
dicirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk
berkomunikasi. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan sebagai
komunikasi verbal. Kedua, merupakan lambang di mana serangkaian bunyi ini
membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata
melambangkan suatu obyek tertentu umpamanya gunung atau burung merpati. [18]
Dia juga menegaskan bahwa keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak
pada kemampuan berfikirnya, melainkan pada kemampuannya berbahasa.[19]
Menurut Abdul Halim
Fathoni: ”bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang,
kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan
digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi”.
Bisa juga ada yang
keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukanlah satu-satunya alat untuk
mengadakan komunikasi. Mereka menyontohkan adanya orang atau pihak yang
mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah
disepakati bersama seperti gerakan tubuh, isyarat, asap api, bunyi kentongan dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka itu
harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat
komunikasi tadi mengandung banyak kelemahan.
Karena bahasa dapat diwujudkan secara lebih luas dan kompleks daripada apa yang
telah diwujudkan dengan mempergunakan media tadi.
Bahasa merupakan
alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di
mana bahasa merupakan sarana berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan
jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, hubungan manusia dan
bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya dan itu
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dipungkiri.
Adanya simbol bahasa yang bersifat
abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut.
Demikian juga, ia memberikan kemampuan untuk berfikir secara teratur dan
sistematis. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan
lewat kata-kata ini, dirangkai oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan
pemikiran. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya
tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan.[20]
E. STRUKTUR DAN KLASIFIKASI ILMU
1. Struktur Ilmu
Dalam suatu organisasi, struktur merupakan sejumlah organ atau
perangkat dari organisasi tersebut terkait dengan mekanisme kerjanya dan tujuan
yang akan dicapai. Dalam proses operasionalnya tentu diperlukan koordinasi yang
baik agar tautan dari perangkat satu dan lainya tidak terputus. Seorang kepala
sekolah dalam organisasi sekolah misalnya, sampai kepada para guru pemegang
mata pelajaran bahkan sampai kepada tukang kebun, akan mencapai suatu tujuan
organisasi yaitu memintarkan jika mereka memiliki koordinasi yang baik.
Adapun dalam konsep ilmu, tentu mekanisme kerja yang ada
dalam strukturnya memiliki goal yaitu sebuah kebenaran; benar menurut
rasio, mendasar dan diakui secara umum. Dan berangkat dari pemahaman tentang sebuah
struktur yang ada pada sebuah organisasi yang dalam hal ini memiliki kesamaan istilah
yaitu struktur dan kesamaan fungsinya sebagai mekanisme kerja, maka akan timbul sebuah
perspeksif khusus mengenai struktur yang ada dalam Sistem Ilmu.
Dalam bahasa Inggris struktur adalah structure yang
artinya adalah bangunan susunan. Dan sebutan untuk pandangan filsafat atau
gerakan filsafatnya disebut strukturalisme. Ditinjau dari fungsinya ia juga
disebut sebagai Sistem Ilmu. Adapun fungsi struktur ilmu adalah sebagai system
yang memproses hipotesis dari suatu masalah yang dimunculkan kepada kenyataan
yang membenarkan atau menolak hipotesis tersebut.[21] Jika
sesuai dengan hipotesis maka jadilah ia sebagai temuan ilmiah atau
prinsisp-prinsip sebuah pengetahuan ilmiah dan atau yang disebut sebagai ilmu.
Adapun jika ternyata menolak hipotesis, maka berhentilah sampai di situ saja.
Sebagaimana sistem-sistem lainnya, ilmu pengetahuan juga
memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Komponen
utama dari sistem ilmu adalah: perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi,
penjelasan, dan ramalan dan kontrol.[22]
Terkait dengan pengertian dan fungsi dari struktur ilmu,
sangatlah tidak berlebihan jika struktur ilmu dianggap sebagai sebuah sistem
yang harus dipahami oleh siapapun yang berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan,
sehingga akan dapat membedakan antara pengetahuan biasa dan pengetahuan yang
didapat melalui metode ilmu. Selain itu dengan penguasaan struktur ilmu
memungkinkan juga bagi siapapun untuk menjadi seorang ilmuwan yang selalu inten
dalam pengembangan pengetahuan.
2. Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi ilmu merupakan salah satu tema yang
terus-menerus muncul dalam khazanah keilmuan Islam maupun Barat. Hal ini bisa
dimaklumi karena masalah klasifikasi ilmu merupakan salah satu kunci untuk
memahami tradisi intelektual. Dalam tradisi intelektual Islam, misalnya, upaya
islamisasi ilmu takkan mungkin mencapai tujuannya jika visi tentang klasifikasi
ilmu tidak dimengerti sebelumnya. Sejak Al-Farabi, Al-Ghazali, hingga Quthb
Al-Din Al-Syirazi, serta generasi-generasi sarjana Muslim lainnya telah banyak
mencurahkan bakat dan kejeniusan intelektual mereka untuk menjelaskan tema ini
secara rinci. Begitu juga dalam khazanah keilmuan Barat, sejak Claude-Henri de
Saint-Simon, Christian Wolff, Aguste Comte, Karl Raimund Popper, Thomas S.
Kuhn, hingga Jurgen Habermas juga telah membuat klasifikasi ilmu dengan cara
pandang yang menempatkan seluruh ilmu pengetahuan dalam tataran yang sama.
Terdapat berbagai
jenis ilmu pengetahuan. Auguste Comte menyusun suatu ensiklopedi ilmu
pengetahuan dengan mengklasifikasikan ilmu atas dasar tingkat kompleksitas
gejala-gejala yang dihadapi, yaitu: matematika (yang menjadi dasar semua ilmu),
astronomi, fisika, kimia dan biologi. [23]
Saat ini mulai
dirasakan bahwa batas-batas demarkasi antara cabang ilmu yang satu dengan
lainnya sudah mulai kabur, sehingga perlu dilibatkan etik dan moral dalam
penetapan ilmu, demi pelestarian dan peningkatan harkat dan derajat manusia sendiri.
Perlunya cabang-cabang ilmu ”saling menyapa” dalam rangka membina dan
mengembangkan dirinya.
a. Ilmu alam bernyawa (biologi);
b. Ilmu alam tak bernyawa (fisika);
c. Ilmu bahasa (alat berkomunikasi manusia);
d. Ilmu sosial (hubungan antar manusia).
Ilmu Dalam klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi
antara ilmu agama dan rasional. Baru pada klasifikasi ilmu oleh Ibn Khaldunlah
(wafat 1406 M.) integrasi ini terlihat jelas. Ilmu naqli menurut Ibn Khaldun
terdiri dari:
a.
Tafsir al-Qur’an dan Hadith;
b. Fiqih;
c. Tafsir ayat mutasyabihat;
d. Kalam ;
e. Tasawuf;
f.
Tabir
Mimpi.
Ilmu pada klasifikasi naqli ini, bersifat praktis bukan
teoritis, yaitu untuk menjamin penerapan hukum-hukum. Selain itu juga, Ilmu
rasional/aqli terbagi menjadi empat bagian:
a. Burhani (demonstrasi);
b. Jadali (dialektika);
c. Khithabah (retorika);
d. Syiir (puisi);
e. Safsathah (sofistry);
f.
Ilmu
Fisika;
g. Matematika;
h. Metafisika.
F. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah
lalu, maka terdapat beberapa hal yang dapat saya simpulkan bahwa:
1. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan
untuk berfikir dengan potensi akal yang dimilikinya;
2. Kreativitas proses berfikir manusia telah menghasilkan suatu
produk yang dikenal dengan ilmu pengetahuan melalui pengamatan terhadap
beberapa obyek ilmu pengetahuan, baik obyek materi ataupun obyek forma;
3. Ilmu pengetahuan sebagai produk berfikir ilmiah baru dapat
diterima secara universal sebagai bentuk kebenaran ilmiah apabila sudah teruji;
4. Dalam proses berfikir ilmiah, manusia harus mengetahui dan
memfungsikan beberapa sarana berfikir ilmiah yang diantaranya adalah bahasa
yang menjadi salah satu ciri keunikan manusia;
5. Ilmu pengetahuan itu memiliki struktur tersendiri yang juga
terdiri dari beberapa komponen penting, yang antara satu bagian dengan bagian
lainnya saling berhubungan; begitu juga diklasifikasikan ke dalam beberapa
bagian yang saling berkesinambungan dan saling melengkapi.
[1] Koento Wibisono, Filsafat
Ilmu Dalam Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 8.
[2] Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu (Jogjakarta:Liberti 2003), hal.
[3] Jujun S.
Suriasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003), hal.
[4] Abdul jamil, Filsafat
Ilmu Dalam Tradisi Pemikiran Filsafat Islam, (Semarang:
Pustaka Pelajar, 1996), hal. 67.
[5] K. Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. 72
[6] Naufal Ramzy, Filsafat
Ilmu, makalah yang disampaikan pada LK 1 HMI, Sumenep sabtu 12 mei 2007.
[7]Abdul jamil, Filsafat
Ilmu Dalam Islam…hal. 71.
[8] Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Kencana,
2006), hal, 81-82.
[9] Asmoro Achmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 08
[10] Suparlan Suhartono, Filsafat
Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:Ar-Ruzz
media,2005), hal. 67-68
[11] The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Liberty,2004),
hal. 143
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan
Alquran, (Bandung:
Mizan, 2001), hal. 231.
[13] Didin Hafidhudin, Dakwah
aktual, (Gema Insani Press, Jakarta, 1998).
[14] Zacky syafa; Maftuh
Ahnan, Filsafat manusia, (Terbit Terang, Surabaya, T.th), hal. 23
[15] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal.
167
[16] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 165
[17] Abdul jamil, Filsafat
Ilmu Dalam Tradisi Pemikiran Filsafat Islam…hal. 72-73
[18] Jujun S. Suria
Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal, 175.
[19] Jujun S. Suria
Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 171
[20]
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 173
[21] Kasmadi,
Hartono, dkk.. Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press. 1990),
hal. 45.
[22] Peter R. Senn,
Struktur Ilmu, dalam Ilmu Dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Editor : Jujun
S. Suriasumantri, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983), hal. 111
[23] Sunardji Dahri Tiam, Berkenalan
Dengan Filsafat Islam, (Surabaya:
Bina Ilmu, 2001), hal. 23
Terima kasih banyak,kepada pembuat,izin menerapkan🙏🏻
ReplyDelete