ILMU SEBAGAI PROSEDUR
( Metode Dalam
Memperoleh Pengetahuan, Pengetahuan Ilmiah
dan Metode Ilmiah )
PENDAHULUAN
Pembahasan
tentang ilmu pengetahuan (science) merupakan pembahasan yang akan selalu
menarik dan akurat, karena ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang berkembang
secara alamiah sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia yang sangat peka
terhadap proses interaksi yang dilakukan oleh manusia dengan lingkungan
sekitarnya. Ia merupakan hasil tautan antara manusia dengan fenomena lingkungan
sekitarnya.[1]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dari awal munculnya terus berlaju. Ia terus bermunculan
bersamaan dengan proses berpikir manusia. Pada awalnya ilmu pengetahuan
diperoleh dengan hanya proses berpikir informal, tidak terikat dengan
metode-metode yang ada. Ini bisa kita lihat dari penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan yang ditemukan oleh tokoh-tokoh filosof terdahulu pada zaman Yunani
kuno. Pada masa itu, proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia masih menggunakan
alat-alat yang terdiri dari batu. Sehingga aktivitas ilmiah manusia masih
sangat sederhana.
Berbagai perubahan kemudian dilakukan oleh para tokoh-tokoh yang muncul
pada waktu itu dengan melakukan pengorganisasian terhadap ilmu pengetahuan yang
ditemukannya. Mereka bukan saja menyumbang
perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi
Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara
deduktif pengalaman-pengalaman manusia. Terlepas dari tendensi mereka untuk menitikberatkan teori —
dengan sering melupakan pengalaman empiris —dan kurang memperhatikan percobaan
sebagai sumber bukti-bukti keilmuan, bangsa Yunani dapat dianggap sebagai
perintis dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis.[2] Maka hasil dari proses perenungan
yang mereka lakukan sedikit demi sedikit menjadi lebih formal. Hal ini
menjadikan ilmu pengetahuan menjadi hasil berifikir yang betul-betul ilmiah
sesuai dengan prosedur berpikir manusia yang tertera dalam kaidah-kaidah
berfikir silogisme.
Di dalam proses pencarian ilmu pengetahuan yang dilakukan
setiap manusia yang hidup tidak lepas dari tujuan-tujuan yang khusus, itu
tergantung kepada lingkungan sekitarnya yang menuntut untuk bertindak ilmiah. Ilmu
sebagai suatu proses rasional manusia yang melibatkan nalar dan perasaan
manusia menuntut adanya teori-teori sistematis yang akan membimbing mereka
untuk menemukan keputusan-keputusan ilmiah yang dapat dipertanggung- jawaban,
sehingga setiap ilmuan dituntut untuk merumuskan tujuan-tujuan tersebut sebagai
prosedur khusus dalam proses menemukan jawaban terhadap keinginan untuk
memenuhi tujuan tersebut. Di antara tujuan tersebut adalah seperti yang dinyatakan oleh Francis Bacon yang dikutip
oleh The Liang Gie dalam bukunya, dia mengatakan the real and legitimate
goal of the science is teh endowment of
human life with new inventions and riches. (tujuan sah dan senyatanya dari
ilmu-ilmu adalah sumbangan terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan baru
dan kekayaan). Dengan tujuan-tujuan tersebut maka lahirlah ilmu pengetahuan
yang berbeda-beda sebagai salah satu bukti dari reaksi kondisi mereka terhadap
fenomena alam yang menjadi fakta saat itu.[3]
Segala bentuk aktivitas ilmiah manusia itu menjadi tanda bahwa manusia sangat butuh
untuk mengisi kehausan intelektualitasnya, sehingga setelah proses penciptaan
metode-metode dalam pencarian ilmu pengetahuan maka lahirlah beberapa disiplin
ilmu pengetahuan yang betul-betul diakui dan ilmiah, sehingga menjadi sandaran
dalam proses menjalani hidup.
Dengan demikian, proses keilmuan yang dilakukan oleh
manusia senantiasa berkembangan dari yang sangat konvensional menjadi lebih
formal dan ilmiah dengan menjadikan ilmu yang mereka hasilkan sebagai salah
satu prosedur atau langkah dalam proses pendekatan yang mereka lakukan.
Di dalam makalah ini, penulis berusaha mengulas sekilas
tentang ilmu pengetahuan sebagai prosedur manusia dalam proses keilmuan
menusia. Penulis akan membatasi penulisan makalah ini pada pembahasan
prosedur-prosedur ilmiah yang meliputi epistemologi, langkah-langkah ilmiah
atau metode ilmiah yang harus ditempuh dalam proses pendekatan terhadap
fenomena alam, sehingga melahirkan kesimpulan yang betul-betul diakui secara
ilmiah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Sebelum
penulis mengulas secara lugas tentang ilmu pengetahuan sebagai prosedur,
terlebih dahulu penulis akan sedikit mengungkap tentang defenisi ilmu.
Kata “ilmu” merupakan diambil dari istilah yang sering dikenal dengan kata science, yang secara etimologis berasal dari kata
latin scinre, artinya to know. tetapi kata scire juga berarti
belajar (to learn).[4] Ada juga yang mendefenisikan ilmu pengetahuan
dengan pemahaman yang berbeda, yaitu seperti apa yang
dinyatakan oleh Michael Ruse dalam tulisannya tentang Creation – Science is not
science, yang dikutip oleh Martin Curd, bahwa science is a phenomenon that
has developed through the ages- dragging itself apart from religion,
philoshopy, superstition, and other bodies of human opinion and belief
(Ilmu pengetahuan adalah sebuah fenomena yang berkembang dari masa ke masa dan
menjadi bagian dari agama, filsafat, takhayul, dan bagian dari pemikiran dan
keyakinan manusia).[5]
Sedangkan
J.J. Davies di dalam On the Scientific Method mengartikan ilmu sebagai
suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta.[6] Michael Ruse mendefenisikan Science is a phenomenon that has developed
through the ages-dragging itself apart from religion, philosophy, superstition,
and other bodies of human openion and belief.[7]
Kamudian dalam “Dictionary
of Phylosophy” oleh Runes diartikan : Knowledge ; relation know.
Apprehended truth. Opposite of opinion. Certain knowledge is more than opinion,
less than truth.[8],
( ilmu pengetahuan, yang berhubungan
dengan tahu. Kebenaran yang dimengerti. Lawan dari opini. Ilmu pengetahuan
tertentu lebih daripada pendapat, tetapi ukurannya di bawah jika dibandingkan
dengan kebenaran). Lebih lanjut
di dalam “American Peoples Encyclopedia.” Kata knowledge diartikan:
knowledge, ideally a full and evident awarness of the truth with respect to
anything; practically, an orderly awarness of whatever can definetly be
accepted as real.[9]
(Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan terbuktikan dari suatu kebenaran
mengenai sesuatu; bersifat praktis, tersusun secara defenitif yang dapat
diterima sebagai realita).
“Dictionary
of Phylosophy” oleh Runes diartikan : Knowledge ; relation know.
Apprehended truth. Opposite of opinion. Certain knowledge is more than opinion,
less than truth.[10],
( ilmu pengetahuan, yang berhubungan
dengan tahu. Kebenaran yang dimengerti. Lawan dari opini. Ilmu pengetahuan
tertentu lebih daripada pendapat, tetapi ukurannya di bawah jika dibandingkan
dengan kebenaran). Lebih lanjut
di dalam “American Peoples Encyclopedia.” Kata knowledge diartikan:
knowledge, ideally a full and evident awarness of the truth with respect to
anything; practically, an orderly awarness of whatever can definetly be
accepted as real.[11]
(Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan terbuktikan dari suatu kebenaran
mengenai sesuatu; bersifat praktis, tersusun secara definitif yang dapat diterima
sebagai realita).
Kemudian, Stewarr Richards mendefenisikan ilmu pengetahuan sebagai
pengetahuan tentang realitas yang nyata yang dipastikan oleh pengamatan,
pengujian kritis, dan pengklasifikasian sistematis di bawah prinsip-prinsip
umum. Ilmu pengetahuan juga harus bersifat universal dan tidak terikat dengan
ruang dan waktu, dan daapat dinyatakan dengan tegas.[12]
Dari beberapa ragam defenisi yang dipaparkan diatas
dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan itu lebih mendekati kepada proses,
aktivitas, dan kesadaran manusia melalui instrumen akal sebagai konsekwensi
dari respon manusia terhadap fakta-fakta fenomenologi yang terjadi di sekitar
di mana ia berpijak.
B.
Metode
Dalam Memperoleh Pengetahuan
Dalam buku
Element of Philosophy Louis O. Kattsoff menunjukkan ada lima aliran metodis
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu: Empirisme, Fenomenalisme,
Intusionisme, dan Metode ilmiah.
1.
Empirisme
Penganut aliran ini mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan dapat diperoleh dengan melalui pengalaman. Hal ini berangkat dari
pertanyaan tentang bagaimanakah orang mengetahui es membeku ? dan rata-rata
jawaban yang dikemukakan adalah “karena saya melihat yang demikian itu adanya”,
atau karena ilmuan mengetahui kenyataannya memang demikian.[13]
Sehingga Jhon Locke, bapak empiris mengatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di
dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalam indrawi. Dan seluruh
pengetahuan itu diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide
yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi sederhana tersebut.
Empirisme mempunyai beberapa bentuk, di antaranya
adalah bentuk sensionalime yang sempit, mengatakan bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan rasa (sense), di samping rasa tidak ada pengetahuan. Aliran
sensasionalisme adalah merupakan aliran empirisme radikal karena memberikan
penekanan yang besar kepada inderawi, sebagaimana dilontarkan oleh David Hume
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Wahyudi bahwa pengetahuan manusia semata-mata
disusun berdasarkan pengalaman indera sehingga disebut pengetahuan inderawi.[14]
Pengalaman merupakan akibat suatu objek yang
merangsang alat indrawi, yang secara demikian menimbulkan rangsangan saraf yang
diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan tadi dipahami sebagaimana
adanya. Atau berdasarkan rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan mengenai
objek yang telah merangsang alat inderawi, begiitulah inderawi itu terbentuk.
2.
Rasionalisme
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan itu
terletak pada akal. Rasionalisme tidak menyangkal adanya pengalaman, akan
tetapi pengalaman hanya dilihat sebagai perangsang bagi pikiran. Rasionalisme
meyakini bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide bukan di dalam
barang/sesuatu. Sehingga rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu
terletak pada akal. Bukan rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, tetapi ia
dipandang tidak lebih dari hanya sekedar perangsang akal.[15]
Descartes, sebagai bapak rasionalisme kontinental, berusaha menemukan
suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan dengan memakai metode deduktif dapat
disimpulkan semua pengetahuan kita. Dengan memberikan penekanan pada metode
itu, para penganut rasionalisme mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang
dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan
kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan
kesimpulan-kesimpulan tersebut. Sehingga jika kesimpulan itu diinginkan menjadi
pengetahuan, maka premis-premisnya harus benar.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran
mempunyai ciri tertentu, yaitu pola pikir logika. Logika dan matematika adalah
hasil dari pada akal, bukan dari indra; walaupun begitu keduanya memberikan
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Penalaran itu sendiri terbagi dua macam :
a.
Penalaran
deduktif, yaitu evolusi mendasarkan pemikiran pada pengalaman yang luas nebuju
kesimpulan yang sempit, dari yang general kepada pengertian baru yang sifatnya
partikular, dari abstrak-teoritis menuju konkrit empiris.
b.
Penalaran
induktif adalah suatu proses pengetahuan, melaluinya menusia mengambi
kesimpulan yang sifatnya umum berdasarkan hal yang sifatnya khusus, dari
partikular menuju hal yang general.[16]
- Fenomenalisme
Fenomenalisme merupakan suatu pengetahuan yang
mensintesakan antara apriori dengan aposteriori. Kant sebagai bapak perintis
metode ini menyatakan bahwa sesuatu itu dapat merangsang inderawi, kemudian
diterima oleh akal dalam bentuk pengalaman, dan dihubungkan sesuai dengan
kategori-kategori pengalaman, dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Dengan demikian, setiap orang tidak dapat memiliki pengetahuan
tentang sesuatu sesuai dengan keadaannya sendiri, melainkan hanya seperti
sesuatu seperti yang nampak kepadanya, yang disebut dengan pengetahuan yang
menggejalan (phenomenom).
Dalam hal ini Edmund Husserl (1839-1939)
sebagaimana dikutip oleh Drs. Asmoro Ahmadi, menyatakan bahwa bahwa untuk
mengetahui benda atau sesuatu harus menggunakan metode diskriptif fenomenologis
yang didukung oleh diduktif yang bertujuan untuk melihat gejala-gejala yang
secara intuitif. Maka dengan demikian, sesorang tidak mungkin dapat memahami
kondisi sesuatu itu secara absolut (hakiki), akan tetapi hanya memahami kondisi
sesuatu itu secara eksistensial-fenomenal.[17]
- Intuisionisme
Dalam hal ini ada ungkapan komparasi tentang
pengetahuan yaitu pengetahuan mengenai (knowing about) dan “pengetahuan tentang”
(knowledge of) ”pengetahuan mengenai”. Pengetahuan ini dinamakan pengetahuan
diskursif atau pengetahuan simbolis dan pengetahuan ini ada perantaranya.
Pengetahuan tentang, disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan
intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.[18]
Pengetahuan yang diperoleh dari intuisi tidak dapat
dibuktikan seketika melalui kenyataan, karena pengetahuan ini muncul tanpa
adanya pengalaman terlebih dahulu. Pemakaian metode intuitif secara tunggal
dapat menghasilkan ilmu pengetahuan yang tidak masuk akal. Hal ini dapat
dikendalikan dan dihindari apabila dicek dengan akal dan indera.
Epistemologi intuitif berpandangan bahwa dalam
upaya memperoleh pengetahuan bukan bertumpu pada logika Aristotelian yang
mengharuskan adanya jarak antara subjek dan objek, malainkan justru jalan utama
untuk mengetahui adalah “menjadi”. Dalam menjadi dapat menggapai pemahaman langsung
tanpa perantara, sehingga memungkinkan tergapainya pengetahuan orisinal. Memang
dalam keadaan “menjadi” kadangkala peran subjek kurang aktif, sebab keaktifan
subjek kadangkala justru sering mengganggu pancaran kebenaran objek.
Kelemahan intuisi adalah bahwa ia tidak merupakan
metode aman jika dipakai sendirian. Ia dapat tersesat dengan mudah dan
mendorong kepada pengakuan-pengakuan yang tidak masuk akal kecuali dicek dengan
akal dan indera. Intuisi harus minta bantuan indera dan konsep-konsep akal jika
berusaha untuk berhubungan dengan pihak lain dan menjelaskan dirinya dan
mempertahankan diri dari interpretasi.
- Metode Ilmiah
Metode ini mengikuti prosedur-prosedur tertentu
yang sudah pasti yang sudah digunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang dihadapi oleh seorang ilmuan. Unsur pertama dalam metode ini, sejumlah
pengamatan yang dipakai dasar untuk merumuskan masalah. Bila ada suatu masalah
dan sudah diajukan satu penyelesaian yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang
diusulkan itu dinamakan “hipotesa”.
Hipotesa adalah usulan penyelesaian yang berupa
saran daan sebagai konsekwensinya harrus
dipandang bersifat sementara dan diverifikasi. Di dalam proses menemukan
hipotesa dikatakan bahwa akal keluar dari pengalaman, mencari satu bentuk, di
dalamnya disusun fakta-fakta yang sudah diketahui dalam suatu kerangka tertentu
dengan harapan fakta-fakta tersebut cocok dengan hipotesa yang disarankan
tersebut. Maka metode penalaran yang bergerak dari suatu perangkat pengamatan
yang khusus kearah suatu pernyataan mengenai semua pengamatan yang sama
jenisnya dikenal dengan induksi.
Jika hipotesa telah diusulkan, maka perlu
diverifikasi atau perlu bahan-bahan bukti. Sedangkan bahan bukti yang dapat
memperkuat hipotesa berasal dari dua jurusan:
a.
Bahan-bahan
keterangan harus diketahui harus cocok dengan hipotesa tersebut.
b.
Hipotesa
itu harus meramalkan bahan-bahan keterangan yang dapat diamati, yang memang
demikian keadaannya. Proses yang terjadi yang menunjukkan bahwa bahan-bahan
keterangan yang diketahui itu cocok dengan hipotesa dapat dinamakan kalkulasi.[19]
Jadi, kajian terhadapa hipotesa dimulai dengan
pengamatan yang dilakukan secara hati-hati, sistematis, dan secara sengaja
terhadap ramalan-ramalan yang disimpulkan dari hipotesa tertentu. Jika mungkin
seorang ilmuwan harus mempersiapkan segala hal bagi pengamatan-pengamatan yang
dilakukannya . ia membuat alat-alat untuk mencoba menahan apa yang akan
terjadia dan tatkala terjadinya, dan memakai pesawat-pesawat pengukur untuk mencatat apa yang terjadi. Dan
ini dinamakan eksperimentasi.[20]
C.
Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan ilmiah merupakan langkah pengembangan
dari epistemologi. Popper yang dikutip oleh Alfon Taryadi, menyatakan bahwa
studi terhadap pengetahuan ilmiah merupakan studi yang paling bermanfaat dan
bagus untuk mempelajari pertumbuhan pengetahuan pada umumnya, sebab pengetahuan
ilmiah adalah merupakan pertumbuhan dari pengetahuan sehari-hari yang tertulis
secara garis besar. Selain itu, problem yang paling menarik dalam epistemologi
adalah problem pertumbuhan pengetahuan, terutama pertumbuhan pengetahuan
ilmiah, yang akan tak terjangkau oleh studi-studi pengetahuan biasa
sehari-hari. Dengan demikian, Popper mengidentikkan pengetahuan ilmiah dengan epistemologi.[21]
Pengetahuan sehari-sehari itu merupakan pengatahuan
yang hanya berdasarkan pada trial and error. Ia merupaka hasil dari uji coba
yang hanya dicoba-coba sehingga pengatahuan sehari-hari itu tidak akan dapat
dipahami, manakala riset dipandang secara ekslusif lewat revolusi-revolusi yang
adakalanya dihasilkan oleh riset.
Dengan demikian, perkembangan pengetahuan ilmiah
menimbulkan masalah-masalah yang meliputi penggolongan, pembagian, perincian,
pembedaan, kedudukan, dan hubungan satu sama lain di atara bidang-bidang
pengetahuan ilmiah itu yang sering diosebut dengan ilmu pengetahuan baru.
Pemunculan pengetahuan baru itu terjadi karena
beberapa faktor. Dalam hal ini The Liang
Gie dengan mengutip tulisan Bert Hoselitz menyebut faktor itu kepada tiga saja :
a.
Pengakuan
dan kebaradaan problem baru yang dapat mempengaruhi terhadap perhatian para
penyelidik atau peneliti.
b.
Pengumpulan
data-data yang kemudian dielaboraasikan dengan hal-hal yang general untuk
menemukan titik pokok persoalan tersebut.
c.
Usaha
institusi dalam mengakui munculnya disiplin baru tersebut.[22]
Berkembang biaknya cabang-caabang ilmu khusus itu
menimbulkan masalah pokok tentang penggolongan ilmu-ilmu tersebut dan
pembagiannya. Kalasifikasi ilmu pengetahuan merupakan pengaturan secara
sistemik untuk menegaskan defenisi-defensi suatu cabang ilmu, menentukan
batasan-batasannya, dan menjelaskan korelasinya dengan cabang-cabang yang lain.
Adapun pernyataan yang membuat pengetahuan itu
menjadi pengetahuan ilmiah adalah :
- Deskripsi
Yaitu memberikan pernyataan bersifat
deskriptif dengan menjelaskan
bentuk-bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya dari segala
fenomena.
- Priskripsi
Pernyataan ini memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang
perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan objek
sederhana itu. Bentuk-bentuk ini banyak dijumpai dalam ilmu-ilmu sosial, dan
ilmu-ilmu pendidikan yang meliputi tata cara mengajar dikelas.
- Eskposisi pola
Bentuk ini merangkum banyak pernyataan-pernyataan
yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecendrungan, atau proses lainnya dari fenomena yang sedang
ditelaah. Misalnya dalam antropologi dapat dipaparkan pola-pola kebudayaan
berbagai suku bangsa atau dalam sosiologi dibeberkan pola-pola perubahan
masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.
- Rekonstruksi Historis
Bentuk ini merupakan pernyataan-pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan
dengan penjelasan atau alasan yang dibutuhkan pertumbuhan sesuatu hal pada masa
lampau yang jauh baik secara alamiah atau karena campur tangan manusia.
Cabang-cabang ilmu khusus yang banyak mengandung bentuk pernyataan ini misalnya
adalah historiografi, ilmu purbakala, dan paleontologi.
Pengetahuan ilmiah adalah merupakan pengetahuan
yang diperoleh dengan menerapkan metode ilmiah. Metode keilmuan adalah
merupakan bentuk kombinasi daari pola rasionalisme dan empirisme. Metode
keilmuan muncul sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan dari pola rasionalis
maupun pola empiris, dan dimanfaatkan sumbangan positifnya.
Unsur-unsur metode ilmiah sebagai suatu penelitian
ilmiah antara lain berupa satu prosedur sebagai berikut ;
- Perumusan masalah atas objek yang ingin diketahui.
- Mengajukan hipotesi atau dugaan sementara atas permasalahan yang ada.
- Menguji hipotesis dengan fakta-fakta empiris.
- Mengambil kesimpulan atas pengujian yang telah dilakukan, apakah hipotesis didukung oleh fakta ataukah dibantah oleh fakta.[23]
D. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan satu prosedur yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, tata langkah untuk
mengetahui pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
Metode secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani, Meta yang berarti sesudah, dan Hodos yang berarti jalan. Jadi metode
berarti langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai
pengetahuan yang benar, yaitu suatu tata cara, tekhnik atau jalan yang telah
dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik
pengetahuan humanistik dan hisstoris, atau pengetahuan filsafat dan ilmiah.[24]
Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini
dapat dipakai dengan melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah
berlangsung dari abad ke abad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut, dapat dipahami bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi
banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain berhubungan dengan metode ilmiah
yang digunakan. Berbedanya ilmu-ilmu yang ada menunjukkan perbedaan metode yang
digunakan dalam proses pendekatannya, menyelidiki, merumuskan, dan mengerti
realitas.
Corak-corak metodologis yang digunakan dan
dikembangkan menyebabkan ilmu pengetahuan itu bersifat pisitivistik (bebas dari
pikiran etik), deterministik (berdasarkan pada hukum-hukum kausalitas),
evolusionistik (melihat sejarah sebagai dasar dalam menentukan objek yang
diteliti), sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan melalui metode
kunatitatif dan eksperimental melalui observasi.
Periode ini juga ditandai dengan semakin
terkotak-kotaknya ilmu pengetahuan ke dalam ilmu-ilmu khusus dalam bidang
spesialisasi. Sehingga terjadilah differensiasi ilmu pengetahuan, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Lewis buku Filsafat Ilmu yang dikutip oleh Tim dosen UGM
Yogyakarta bahwa “ ilmu khusus telah muncul dengan cara yang ditunjukkan.
Ilmu-ilmu tersebut berkembang dalam matriks umum dari pemikiran reflektif dan
menjadi diakui berbeda. Bila mana suatu kedewasaan tercapai pada umumnya, ilmu
fisikalah yang pertama-tama mengalami perkembangan ini, ilmu-ilmu kemanusiaan,
budaya, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan pemerintahan adalah
yang terakhir menjadi terpisah dari filsafat.
Sifat ilmiahnya suatu pengetahuan terletak pada
kelangsungan proses yang runtut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut,
meskipun pada perakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan
secara bersamaan.
Tahap pertama adalah observasi, maka yang
dimaksudkan adalah bahwa tahap ini berlangsung hanya sekedar melakukan
pengamatan biasa. Kenyataan empirik yang terjadi, maka objeknya diteliti,
dikumpulkan, diidentifikasi, didaftar, dan diklasifikasikan secara ilmiah.
Observasi bertugas mencari benang merah dari bahan-bahan tersebut dan disororti
dalam suatu kerangka ilmiah.
Tahap kedua adalah induksi. Dalam hal ini,
pernyataan suatu observasi dinyatakan dalam bentuk pernyataan yang umum.
Induksi dipermudah dengan menggunakan alat-alat
bantu matematik dalam merumuskan serta mengumpulkan data-data empirik.
Pengukuran secara kuantitatif terhadap besaran-besaran tertentu yang saling
berhubungan, maka hubungan tersebut dapat digambarkan dalam simbol matematika.
Apabila suatu kejadian dapat terjadi secara berulang-ulang, maka pernyataan
umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.
Tahap ketiga adalah dilaksanakannya
deduksi-deduksi logisi, yaitu data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu
sistem yang runtut. Penyusunan sistem seperti ini juga tergantung
dipergunakannya pengertian-pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan
dalam rangka pembentukan teori ilmiah.[25]
Berdasarkan sistem seperti ini dapatlah dijabarkan
pernyataan-pernyataan yang khsus tertentu.
Tahap keempat adalah observasi
eksperimental, yaitu pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif. Diuji
dengan melakukan verifikasi atau klarifikasi secara empirik. Verifiksi atau
klarifikasi secara empirik dimaksudkan untuk mengukuhkan pernyataan-pernyataan
rasional hasil deduksi sebagai teori.
Verifikasi merupakan tahapan untuk mengukuhkan atau
menggugurkan pernyataan-pernyataan rasional hasil dari deduksi-deduksi logis.
Jadi kesimpulannya metode ilmiah merupakan prosedur
yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, tata langkah untuk
memperoleh pengetahuan, atau mengembangkan pengetahuan. Pola umum tata langkah
dalam metode ilmiah yang berkembang menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat positivistik,
deterministik, evolusionistik, sehingga analisisnya selalu dibantu dengan
pendekatan kuantitatif dan eskperimen melalui observasi.
Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menggunakan metode
siklus-empirik dan objektivitasnya di uji secara empiris-eksperimental.
Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metode linear dan
analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti, nilai dari pengetahuan, dan
tujuan akhir dari pada ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga maksud dan tujuan
itu secara tidak langsung dapat digapai dan diketahui dengan jelas.[26]
Dari beberapa metode yang dilakukan dalam proses
aktivitas ilmiah yang dilakukan, maka akan dihasilkan suatu kesimpulan yang
benar secara ilmiah yang dikenal dengan kebenaran ilmiah.
Kebenaran ilmiah merupakan suatu pengetahuan yang
jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenara yang
pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek forma,
metode, dan sistem tertentu.
Kebenaran ilmiah cendrung bersifat objektif, tidak
subjektif. Artinya terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut sudut
pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian. Dengan demikian, dapat
dipastikan ia tahan terhadap verifikasi baik yang empirik maupun yang rasional.
Hal ini wajar, karena sudut pandang. Metode dan sistem yang dipakai juga
bersumber dari pengalaman maupun akal pikiran.
Sumber kebenaran ilmiah dapat dilihat
atau diukur dari dua aspek, yaitu : Raionalisme dan Empirisme.[27]
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dipaparkan oleh penulis dalam bab pembahasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa :
Terdapat beberapa metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan, di antaranya
adalah dengan metode rasionaslime, empirisme, fenomenalime, intusionalisme, dan
metode ilmiah.
Pengetahuan ilmiah dapat dinyatakan dengan melalui beberapa tahapan yaitu
diskripsi, priskripsi, rekonstruksi pola, dan rekonstruksi historis.
Unsur-Unsur dalam metode ilmiah sebagai suatu penelitian ilmiah antara lain
dengan melalui beberapa prosedur, di antaranya aadalah perumusan masalah,
mengajukan hipotesis, menguji hipotesis dengan fakta empiris, dan mengambil
kesimpulan.
BIBLIOGRAFI
·
American Peoples
Encyclopedia, New York: Grolier Ins., t.th
- Stewart Richards, An Introduction to: Philosophy of sociology of science, Oxford: Tj Press, 1983
- Michael Ruse, Creation- Science is not Science,” dalam Martin Curd and and J.A. Cover (eds)., Philosophy of Science: The Central Issus, New York and London: W.W Northon Company, 1998
- Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy of Science (the central issue), Newyork; w. w. Norton & Company, 1998
- W. Hamlyn, The Penguin History of Western Philosophy, England: The Penguin Group, 1990
·
Dagobert D. Dictionary of philosophy, (New Jersy:
Little field Adam & CO, 1983
·
Alfon Taryadi, Epitemologi Pemecahan Masalah menurut
Karl. R. Popper, Jakarta: PT Gramedia Utama, 1991
·
George J. Mouly, “ Perkembangan Ilmu, “
dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakikat Ilmu Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999
- Asmoro Achmadi, fIilsafat Umum, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001
- Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, Yogyakarta; Liberti 2003
- ......................., Filsafat ILmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta; Liberti 1996
- The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty Cet. VI, 2004
- Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan,cet.14, 2001
- Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, Yogyakarta, Badan Penerbitan Filsafat UGM Bekerja sama dengan Lima & Faisal Foundation
- R. A. Rivai (Terj), Filosofie Filosofen Filosoferen, Jakarta, Erlangga,tth
- Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan IAIN Walisongo Semarang, 2007
- Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Teraju, 2002
- A.F. Chalmers ,Apa yang dinamakan Ilmu? Terj. Redaksi Hasta Mitra Jakarta:Hasta Mitra, 1983
- Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, Jakarta, Rajawali Press, cet. 4, 2001
- Sidigazalba, Sistematikan Filsafat, Jakarta; Bulan Bintang,cet.6, 1992
- Jerpme R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, Pustaka Pelajar, tth
- K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, Cet. 15, 1998
·
I. R.
Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, Rineka Cipta,
cet. 12, 2005
- Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2008
- Cornelius Benjamin, Philoshopy of Science, History of Philoshopical Syistem, Amerika: Philoshopical Library, 1965
- Alex Rosenberg, Philoshopy of Science, New York: UK Routledge, 2005
- Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, New York: The World Pulishing Coy, 1979
- FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (Editor), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman, Yogyakarta;Kanisius 1992
[4] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
1996), 85.
[5] Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy of Science (the
central issue), (Newyork; w. w. Norton & Company, 1998), hal 39
[6] A.F. Chalmers ,Apa yang dinamakan Ilmu? Terj. Redaksi Hasta
Mitra (Jakarta:Hasta Mitra, 1983),1
[7] Michael Ruse, Creation- Science is not Science,” dalam Martin Curd
and and J.A. Cover (eds)., Philosophy of
Science: The Central Issus (New York and
London: W.W Northon Company, 1998), 39.
[8] Runes, Dagobert D., Dictionary of philosophy, (New Jersy: Little
field Adam & CO, 1983), 161.
[9] American Peoples Encyclopedia.”, (New York: Grolier Ins., t.th), 944.
[10] Runes, Dagobert D. Dictionary of philosophy, (New Jersy:
Little field Adam & CO, 1983), 161.
[11] American Peoples Encyclopedia.”, (New York: Grolier Ins., t.th), 944.
[12] Stewart Richards, An
Introduction to: Philosophy of sociology of science, (Oxford: Tj Press,
1983), 28
[14] Imam Wahyudi, Pengantar
Epistemologi, (Yogyakarta, Badan Penerbitan Filsafat UGM Bekerja sama
dengan Lima & Faisal Foundation), 40
[21] Alfon Taryadi, Epitemologi
Pemecahan Masalah menurut Kal. R. Popper, (Jakarta: PT Gramedia Utama,
1991), 177
[27] D. W. Hamlyn, The
Penguin History of Western Philosophy, ( England: The Penguin Group, 1990),
134-135
No comments:
Post a Comment