Saturday, October 7, 2017

MAKALAH ILMU SEBAGAI PROSES



ILMU SEBAGAI PROSES
 (ASUMSI DASAR PROSES KEILMUAN MANUSIA, AKTIVITAS ILMIAH)

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahun tidaklah berkembang secara mendadak dan alamiah, akan tetapi membutuhkan proses secara evolutif. Karena perkembangan tersebut sangat erat dengan proses berfikir yang dilakukan oleh manusia sesuai dengan kadar pengalaman pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga wajar ketika, konsep-konsep yang diperoleh dari ilmu pengetahuan itu berbeda-beda.[1]
Penemuan demi penemuan yang terjadi tidaklah bertempat di suatu tempat, akan tetapi berbeda-beda sehingga diperlukan adanya penyebaran hasil observasi yang diperoleh oleh setiap individu maupun kelompok dalam bentuk yang beragam baik terjemahan maupun bukan dalam rangka berkembangnya nuasa ilmiah. Kalau di Eropa sekarang menjadi sentral dari ilmu pengetahuan yang berkembang ini, akan tetapi wilayaha timur juga, pernah memberikan sumbangsih sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di zaman dulu. Beragam penemuan yang telah ditemukan di dunia Timur dahulu dan masih baru dikembangkan pada masa sekarang di Barat.
Perkembangan dunia keilmuan akan terus berkembang tidak akan pernah mengalami pasang surut. Karena semua itu akan senantiasa terus berkembang bersamaan dengan perkembangan pemikiran manusia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata telah banyak membuktikan akan luasnya ilmu pengetahuan. Dan kemudian, pengetahuan yang telah didapatkan senantiasa menjadi modal untuk terus berusaha melakukan observasi dalam rangka menemukan teori atau konsep yang lebih baru dan eksperimental lagi dalam rangka untuk menyanggah terhadap konsep yang sudah ada. Sehingga proses keingin tahuan yang dilakukan oleh manusia selalu bersifat eksidental, dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak berujuang pada akhirnya.
Oleh karena itu, maka penulis dalam hal ini akan mencoba untuk mengulas sedikit tentang proses mendapatkan teori keilmuan yang baru dengan cara membahasa tentang masalah ilmu pengetahuan sebagai proses, yang meliputi asumsi dasar manusia dan ilmu sebagai aktifitas, dalam rangka menemukan titik tentu antara ilmu sebagai subjek sekaligus objek aktifitas keilmuan secara ilmiah.

PEMBAHASAN
A.    Defenisi Ilmu
  Istilah ilmu atau science merupakan suatu istilah yang memiliki makna ganda, dalam artian memiliki makna yang bermacam-macam. Sehingga orang yang menggunakan istilah ilmu tersebut harus bisa memahami maksud dari apa yang dikatakannya. Arti yang pertama secara etimologi adalah berarti (1)  possession of knowledge as dingtinguished from ignorance or misunderstanding, knowledge attain through study or practice, (2) a department of systematized knowledge as an object of study (the science of theology),  (3) knowledge covering general truths or the operation of general laws esp. as obtaind and tested through scientific methode; such knowledge concerned with the physical world and its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting to be based on scientific principle.[2]
Ada sebagian defenisi yang mendefenisikan bahwa Ilmu itu adalah merupakan cakupan dari segala pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan dan mengacu kepada ilmu secara umum. Defenisi ini sama dengan apa yang dinyatakan oleh Michael Ruse dalam tulisannya tentang Creation – Science is not science, yang dikutip oleh Martin Curd, bahwa science is a phenomenon that has developed through the ages- dragging itself apart from religion, philoshopy, superstition, and other bodies of human opinion and belief (Ilmu pengetahuan adalah sebuah fenomena yang berkembang dari masa ke masa dan menjadi bagian dari agama, filsafat, takhayul, dan bagian dari pemikiran dan keyakinan manusia.).[3]
Kemudian makna yang lain dari ilmu adalah hasil dari aktifitas manusia dalam setiap gerak geriknya yang meliputi segala fenomena, baik tentang pribadinya secara eksistensial, maupun yang lainnya. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah pristiwa terciptanya Sitti Hawa’ sebagai istri Nabi Adam. Hal itu disebabkan oleh proses pemahaman yang dilakukan Nabi Adam erhadap kondisi pribadinya yang hidup dalam kondisi sendirian dan menimbulkan kegelisahan, sehingga dia bertanya langsung kepada Allah tentang prasaan yang selama ini menyelimuti hidupnya di Surga.[4] Sehingga Mohammad Hatta mengatakan bahwa ilmu pengetahuan lahir karena manusia dihadapkan kepada dua masalah dalam hidup, yaitu alam luar (kosmos) yang meliputi diri dan lingkungannya dan soal sikap hidup (etik) yang mengatur segala bentuk interaksinya dengan diri dan lingkungannya.[5]
Ketika manusia menggunakan semua pengetahuannya untuk mengetahui hal-hal yang baru, maka lahirlah ilmu pengetahuan yang lain. Setiap orang yang menerapkan pengetahuannya untuk mengukur jarak bumi, maka lahirlah ilmu ukur. Ketika menerapkan pengetahuannya untuk mengetahui tentang segala hewan dan proses reproduksinya serta habitatnya, maka lahirlah ilmu biologi. Sehingga setiap praktek yang menggunakan segala bentuk pengetahuannya maka akan lahir ilmu-ilmu praktis, seperti; teknik, agrarian, kedokteran, dan lain-lainnya.
Ilmu sosial lahir, karena manusia menyadari akan hubungannya dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Berbagai aspek kehidupan yang dipelajari oleh manusia sebagai subjek sekaligus objek, maka lahirlah ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, dan ilmu-ilmu yang lain yang bersifat praktis.
Dengan demikian, panca indera yang dimiliki oleh manusia merupakan salah satu alat untuk mencapai apa yang diinginkan dan dapat merasakan segala fenomena yang ada disekelilingnya, hasilnya dari segala intraksi indrawinya dinamakan ilmu pengetahuan dengan perantara akal pikirannya. Dan segala yang dihasilkan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan interaksi lanjutan dengan segala fenomena yang dianggap baru, sehingga pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan  yang baru sampai akhir dari kehidupan ini.[6]
Ilmu sebagai pengetahuan itu sesuai dengan asal usul istilah inggris, yaitu science yang berasal dari perkataan latin yaitu scientia, yang diturunkan dari kata scire. Perkataan itu berarti belajar. [7]
Jadi, proses pengetahuan manusia akan berlangsung selama ia mampu merasakan segala bentuk intraksi dirinya dengan segala fenomena  yang terjadi disekitarnya. Maka, kemungkinan-kemungkinan musnahnya satu konsep ilmu pengetahuan akan terjadi, manakala proses kehidupan manusia masih berlanjut.
Dalam hal ini Bertrand Russel menjelaskan bahwa ilmu memiliki dua peranan, yaitu sebagai suatu yang metafisis dan sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).[8]

B.     Ilmu Sebagai Proses; Asumsi Dasar Proses Keilmuan Manusia

Manusia sebagai salah satu makhluk yang memiliki karakteristik berbeda dengan makhluk yang lain, dibekali dengan akal pikiran. Sehingga ia dapat memenuhi segala kebutuhan mendasarnya dan juga membentuk peradaban serta lain sebagainya berkat bekal pengetahuan yang dicapainya. Segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh manusia merupakan awal dari kesadarannya terhadap segala kondisi yang dimilikinya secara khusus dengan instrument akal pikirannya. Proses itu terus berlanjut sesuai dengan kualitas reaksi yang dialami pribadinya sebagai respon dari realitas baik secara formal maupun informal, sebagaimana yang dinyatakan oleh Galeleo. Ia dalam pernyataannya yang dikutip oleh Scot Gordon menegaskan bahwa “ Source of knowledge is the direct examination  of the phenomena themselves.[9]
Hal demikian, telah diajarkan oleh bapak filsafat pertama kali, yaitu Nabi Ibrohim. Walaupun secara intuitif dia meyakini adanya Tuhan sebagai Dzat yang wajib disembah, tetapi dia tetap memfungsikan akalnya untuk mengetahui lebih lanjut dan meneguhkan keyakinanya tentang realitas kekuasaan yang dimiliki Tuhannya.[10] 
Pristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrohim merupakan proses tindak lanjut dari pengetahuan yang dimilikinya tentang keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan, akan tetapi, ia tetap mempertanyakan tentang yang sebenarnya.
Ilmu sebagai suatu proses akan kembali kepada proses penemuan manusia terhadap pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengetian ilmu itu mengacu kepada tiga hal; yaitu; produk-produk, proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk berangkat dari proses interaksi manusia dengan alam sekitarnya secara factual, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan baru yang berbentuk teori baru yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dan ilmu sebagai proses adalah merupakan kegiatan kemasyarakatan yang dilakuakan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana mestinya.[11] Sehingga proses tersebut harus bertitik tolak pada fakta-fakta realitas keseharian dan berakhir pada suatu teori secara ilmiah.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui apa yang disebut dengan piramida ilmu pengetahuan, karena ujuang dari proses tersebut adalah proses yang mengerucut kepada sebuah teori yang bersih dari kontaminasi keseharian yang absurd dan ambigu.[12]
Proses tersebut dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu;
1.                    Pengetahuan harus bertolak pada pengalaman sehari-hari yang cenderung luas dan variatif. Dari pengalaman itu cenderung melahirkan persepsi, pengamatan terhadap berbagai gejala, dan merasakan berbagai sensasi.
2.                    Pengalaman yang diperoleh dalam sehari-hari harus mengalami dua jenis pemurnian. Pertama; pemurnian dari pengalaman perceptual yang padat dan variatif untuk mendapatkan titik fokus untuk diobservasi. Kedua; pemurnian dari bahasa sehari-hari yang ambigu dan penuh kiasan, sehingga menjadi konsep-konsep yang dapat dipertanggung jawabkan. Contoh dalam hal ini, istilah yang dirumuskan oleh para ilmuan dari bahasa sehari-hari yaitu “air,  panas, dan cahaya” dengan konsep ilmiah seperti ““H2O”, “100oC” dan “gelombang elektromagnetik”.
3.                    Mencari keteraturan dalam gejala-gejala dengan membentuk proposisi kondisional untuk mendiskripsikan relasi kausalistik antara gejala-gejala melalui metode induksi.
4.                    Pembentukan teori, yakni seperangkat eksplanasi yang mencoba menggambarkan bulat-lonjongnya dunia.[13]
Pemahaman ilmu sebagai proses ini ditemukan oleh John Warfield yang menegaskan bahwa ilmu sebagai proses, karena pandangan ini bertalian dengan suatu perhatian terhadap suatu penyelidikan, dan penyelidikan adalah suatu bagian besar dari ilmu sebagai proses.
Ketika ilmu dipahami sebagai suatu proses dari kagiatan ilmiah, maka ia harus memenuhi prosedur ilmiah. Dalam hal ini Van Melsen, mengemukakan ciri yang menandai ilmu sebagai ilmu adalah :
1.                      Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) dan  harus logis.
2.                      Ilmu pengetahuan itu harus tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan.
3.                      Universalitas ilmu pengetahuan
4.                      Objektif, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif.
5.                      Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu, ilmu pengetahuan harus dikomunikasikan.
6.                      Progresifitas, artinya suatu jawaban ilmiah betul-betul diakui secara ilmiah ketika mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.
7.                      Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang defenitif, karena setiap teori harus terbuka terhadap peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data yanga ada.
8.                      Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dan praktis.

Dengan demikian, ketika ilmu pengetahuan dipahami sebagai suatu proses, dan telah  melalui beberapa langkah yang disebutkan di atas tadi.[14] Maka ia menjadi salah satu aktivitas penelitian yang harus menggunakan metode-metode ilmiah, karena ia merupakan aktifitas dan hasil ilmiah yang sangat ditentukan oleh metode itu sendiri, yaitu metode abstraksi (abstracstion), dan metode historitika (ideograpich).
Metode ini sangat penting adanya dalam proses penyelidikan ilmiah, ketika terdapat ideasi yang betul-betul dapat dipertanggung jawabkan. Karena untuk mengidentifikasi itu membutuhkan teori-teori dalam rangka proses penyelidikan lebih lanjut, karena ide itu bertujuan untuk menghubungkan antara makna atau ungkapan dengan suatu ide.[15]
Dan setiap ide untuk mengidentifikasi sesuatu itu dijalankan dengan menggunakan metode ilmiah yang telah menjadi kesepakatan setiap ilmuan (scientis), maka ia disebut dengan prosedur, prosedur itu merupakan rangkaian dari proses dalam rangka untuk menemukan teori ilmu pengetahuan baru dan agar dapat dipertanggung jawabkan secara valid.

C.    Ilmu sebagai aktivitas Ilmiah

Sejak zaman Yunani kuno sampai abad modern pertumbuhan ilmu pengetahuan tampak nyata bahwa ilmu merupakan aktivitas manusia dalam hidupnya, suatu kegiatan yang dilakukan orang, atau lebih tepatnya suatu rangkaian aktivitas yang membentuk suatu proses. Sehingga pada saat itu juga banyak penemuan-penemuan ilmiah yang dapat diraih dan dicapai. Penemuan demi penemuan yang tersebar mulai Babylonia, Mesir, China, India, Irak, Yunani hingga ke daratan Eropa telah memberikan bukti bahwa manusia selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi dan kondisi yang memacu daya kreatifitasnya. Kalaupun pada masa sekarang kita lihat Eropa menjadi  pusat atau gudang ilmu pengetahuan karena kebangkitan (renaissance) yang dilakukan oleh mereka mulai sekitar abad ke- 14-15 , dengan perenungan yang mereka lakukan  terhadap konsepsi yang mereka miliki akan dunia di mana mereka tinggal. Tetapi, sejarah tetap bisa membuktikan bahwa peran dunia Timur terhadap kemajuan ilmu pengetahuan adalah sangatlah besar.[16] Semua ini cukup menjadi bukti bagi kita bahwa proses perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari aktivitas ilmiah yang selalu mereka lakukan dalam setiap saatnya.
Setiap orang yang melakukan serangkaian aktivitas keilmuan dalam setiap hidupnya disebut dengan scientis (ilmuan). Menurut Warren Hagstrom, scientist adalah seorang yang berpengetahuan ilmiah, atau seorang yang selalu menambah pengetahuannya dengan cara menulis karangan-karangan atau buku-buku.
Ilmu pengetahuan sebagai aktivitas manusia dan sebagai fenomena mental mesti tidak lepas dari instrumen akal[17], yang lebih akrab disebut dengan aktivitas rasional. Aktivitas rasional itu adalah kegiatan yang mempergunakan kemampuan akal untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas yang menggunakan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris.[18]
Dalam proses aktivitas keilmuan manusia tentu sangat memprioritaskan kepada kegiatan pikiran dalam mendekati segala objek pengetahuan itu sendiri. Sehingga benih ilmu terletak kepada proses manusia dalam melakukan penyelidikan ilmiah terhadap segala sesuatu dalam rangka memahami dan menguasai dunia di mana ia hidup dengan menggunakan pemikiran rasional.
Yang dimaksud dengan pemikiran rasional (rational thought) adalah pemikiran yang mematuhi kaidah-kaidah logika, baik logika tradisional maupun logika modern. Jadi, kegiatan dalam penelitian ilmiah disebut aktivitas ilmiah, ketika menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang meliputi;
1.      Logis, sesuai dengan kaidah-kaidah logika baik tradisional maupun modern
2.      Bersifat kognitif, artinya bertalian dengan hal mengetahui dan pengetahuan.
Dengan demikian, ilmu adalah proses pengetahuan yang melibatkan kognitif. Sementara proses kognitif adalah adalah suatu rangkaian aktivitas seperti pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran serta inquiry, yang dengannya manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal yang meliputi alam sekitarnya, lingkungannya, dan dirinya sendiri.
Dalam proses aktivitas ilmiah manusia, mesti tidak bisa dilepaskan dari tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan-tujuan yang dirumuskan oleh para ilmuwan dan filosuf itu diringkas menjadi sebagai berikut :

1.      Pengetahuan (knowledge):
               Pengetahuan merupakan modal penting bagi setiap manusia untuk hidup. Interaksi dengan lingkungan sekitarnya akan terealisasi dengan normal, ketika secara ilmiah telah terbekali dengan cukup. Pengetahuan ini merupakan salah satu bentuk dari kesadaran manusia akan kondisinya dan fenomena yang melingkupinya. Sehingga hal itu melahirkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran ilmiah yang dimilikinya. Aktivitas seperti itu kerap kali disebut dengan aktivitas ilmiah, karena akan melahirkan ilmu baru dengan metode pendekatan yang berbeda.[19]

2.      Kebenaran (truth)
               Kebenaran bisa diartikan dengan kesamaan antara teori dengan relaitas yang ada, baik yang historistis maupun faktual. Kebenaran ini hanya dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, walaupun tidak secara absolute. Sehingga tujuan dari aktivitas ilmiah manusia, tiada lain hanyalah untuk mencapai kebenaran, walaupun hanya kebenaran perspektif. Kebenaran dalam dunia ilmiah memiliki beberapa jenis, di antaranya adalah kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis (nilai), dan kebenaran semantic yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.[20]

3.      Pemahaman (understanding)
               Pemahaman merupakan proses tindak lanjut yang dilakukan oleh setiap manusia terhadap keheranan dan keraguannya akan segala fenomena sekitarnya. Ketika proses untuk menggapai tujuan ilmiah terjadi, maka proses pemahaman manusia akan semakin berkembang. Hal ini sangat ditentukan kepada sejauh mana reaksi manusia terhadap fenomena sekitarnya.

4.      Penjelasan (explanation)
               Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh setiap ilmuan bertujuan untuk menjelaskan segala bentuk persoalan yang berkaitan dengan fenomena yang ditelitinya. Dan hal ini memang merupakan wilayah bagi para ilmuan. Mereka berusaha memahami eksistensi sesuatu secara fenomonologi dan bertugas untuk menjelaskannya kenapa semua itu terjadi secara kronologis.[21]

5.      Peramalan (prediction)
               Peramalan merupakan tindak lanjut dari proses pemahaman manusia terhadap fenomena sekitar, mereka cenderung menyamakan indikator terjadinya suatu pristiwa di masa lalu dengan kondisi yang terjadi disekitar mereka. Sehingga, mereka secara anarkis meramal sesuatu yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang sesuai dengan apa yang mereka ketahui.

6.      Pengendalian (control)
               Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia memiliki dampak positif dan negatife yang melakat di dalamnya. Aktivitas ilmiah yang mereka lakukan selanjutnya bertujuan untuk mengetahui dampak positif dan negatif yang terkandung dalam teori yang mereka kembangkan, sehingga muncul sikap pengendalian diri untuk melakukan dan menggunakan atau menkonsumsi sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang diperolehnya.

7.      Penerapan (application)
      Setiap ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh manusia secara tidak langsung akan menjadi pedoman dalam menjalani hidup, baik secara religius, politis, dan ekonomis. Sehingga aktivitas ilmiah yang mereka lakukan merupakan salah satu usaha untuk menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh dalam rangka untuk menemukan dan menghasilkan pengetahuan baru. Dan proses ini akan selalu berlangsung secara berkesinambungan selama hidupnya manusia di dunia ini.

Dari berbagai tujuan-tujuan yang telah disebutkan di atas, maka aktivitas ilmiah yang bersifat rasional, kognitif, dan bertujuan ganda itu suatu aktivitas yang masuk dalam pengertian ilmu. Jadi, aktifitas mempelajari sesuatu berarti mempergunakan pikiran secara aktif untuk mengetahui suatu hal.
Proses penelaahan terhadap fenomena sekitarnya bukanlah menunggu secara pasif sampai pengetahuan itu datang sendiri, melainkan secara tekun dengan pikiran menacari, mempelajari, dan menggali pengetahuan mengenai segala sesuatu yang menarik perhatian. Maka ilmu sebagai suatu rangkaian aktivitas pemikiran manusia atau proses penelitian dapat di ringkas seperti yang digambarkan oleh The Lin Gie dalam bukunya :

Ilmu adalah merupakan aktivitas dari :
1.      Rasional : Proses pemikiran tentang realitas dengan berpedoman kepada      kaidah-kaidah logika.
2.      Kognitif : Proses mengetahui dan memperoleh pengetahuan melalui akal pikiran.
3.      Teleologis : Usaha untuk mencapai kebenaran (Truth), memperoleh pemahaman (understanding), memberikan penjelasan (eskplanation), dan melakukan penerapan (application).[22]

Rangkaian untuk mencapai kebenaran, memperoleh pengetahuan, memberikan  penjelasan, dan melakukan penerapan itu biasanya dilakukan oleh para ilmuan. Karena setiap ilmuan bertugas untuk memperoleh dan memberikan ilmu pengetahuan. Dan  mereka yang hanya senantiasa akan terus berusaha melakukan proses-proses seperti itu sebagai aktivitasnya dalam mengembangkan teori pengetahuan yang mereka miliki.
Dengan demikian, apa yang mereka ketahui betul-betul dikatakan sebagai penemuan ilmiah, ketika mereka telah mengujinya dengan metode-metode ilmiah yang ada, kemudian mereka mengkritisinya, dan mengevaluasinya sesuai dengan pengaruh yang dimiliki konsep tersebut terhadap kehidupan.[23]



PENUTUP
KESIMPULAN

Dari apa yang dapat penulis ulas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
-                    Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hasil dari pemahaman yang diperoleh oleh setiap manusia dalam hal berinteraksi dengan fenomena alamiah yang terjadi di sekitar mereka. Ilmu pengetahuan itu ada selama manusia masih menyadari akan eksistensinya yang terkait dengan fenomena alamiah.
-                    Ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan senantiasa melahirkan sebuah usaha aplikatif dalam rangka menemukan konsep dan teori baru yang berakhir pada sebuah kebenaran teori. Inilah yang kemudian menjadikan ilmu itu sebagai proses dalam mengungkap teori-teori baru, yang dikenal dengan istilah piramida pengetahuan, dari teori kepada praktek, kemudian melahirkan teori baru dengan proses-prose yang telah diajelaskan di depan.
-                    Ketika ilmu pengetahuan melahirkan perbuatan, maka ilmu pengetahuan bukan hanya menjadi kontrol nilai dan etika, akan tetapi ia akan menjadi aktivitas manusia dalam rangka menjalani proses penyelidikan ilmiah yang disebut dengan istilah ilmu pengetahuan sebagai aktivitas yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan itu sendiri.


Jelaskan tentng ilmu sebgai proses dan aktivitas ilmiah?
Apakah itu berarti bahwa ilmu adalah sebagai metode untuk menemukan sebuah kebenaran ?


 BIBLIOGRAFI

-                                              Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Yogyakarta; Liberti 2003)
-                                                      Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York: The  World  Pulishing Coy, 1979)
-                                                      Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy of Science (the central issue), (Newyork; w. w. Norton & Company, 1998)
-                    Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, Jilid I, (Mesir; Darun Nasyri,tt )
-                                                      Rizal Muntasyir, Drs, M. Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta; Pustaka Pelajar, 2003)
-                    Sidigazalba, Sistematikan Filsafat, (Jakarta; Bulan Bintang 1991)
-                                                       Jujun S, Suria Sumantri, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003)
-                                                       Scot Gordon, The History And Philoshopy of Social Science, ( London: EC4P 4EE, 1991),
-                                                       Donny Gahral Adian,  Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Teraju, 2002)
-                                                       Al- Hakim al- Tirmidzi, The Consept of Sainthood in Early Islamic Mysticism, (Great Britain: Curson Press, 1996)
-                                                       D. W. Hamlyn, The Penguin History of Western Philosophy, ( London: The Pinguin Grup, 1990)
-                                                       Alex Rosenberg, Philoshopy of Science, ( New York: UK Routledge, 2005)
-                                                       A. Cornelius Benjamin, Philoshopy of Science, History of Philoshopical Syistem, (Amerika: Philoshopical Library, 1965)


[1] Tim dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Jigjakarta; Liberti 2003), hal. 64
[2] Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York: The  World Pulishing Coy, 1979), 203-306.
[3] Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy of Science (the central issue), (Newyork; w. w. Norton & Company, 1998), hal 39
[4] Lihat, Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, Jilid I, (Mesir; Darun Nasyri, tt ), hal. 77
[5] Rizal Muntasyir, Drs, M. Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta; Pustaka Pelajar, 2003), hal. 124
[6] Sidigazalba, Sistematikan Filsafat, (Jakarta; Bulan Bintang 1991), hal. 13-14
[7]  Lihat, The Lian Gie, hal. 87                                                               
[8] Jujun S, Suria Sumantri, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003), hal. 113
[9] Scot Gordon, The History And Philoshopy of Social Science, ( London: EC4P 4EE, 1991), hal 24
[10] Lihat, QS: al- Baqarah (2): 260 : Dan  ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap  Allah berfirman: " ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah  semuanya olehmu. : "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

[11] Rizal Muntasyir, Drs, M. Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, hal. 140
[12] Donny Gahral Adian,  Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Teraju, 2002), hal. 17
[13] Ibid, hal, 17-18
[14] Rizal Muntasyir, Drs, M. Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, hal. 141
[15] Rizal Muntasyir, Filsafat Analitik, (Jogjakarta; Pustaka Pelajar 2001), hal. 174
[16] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ( Yogyakarta : Liberty, 2003), hal. 63
[17] Scot Gordon, hal, 16
[18] The Lian Gie, hal. 96
[19] Al- Hakim al- Tirmidzi, The Consept of Sainthood in Early Islamic Mysticism, (Great Britain: Curson Press, 1996), hal. 98
[20] D. W. Hamlyn, The Penguin History of Western Philosophy, ( London: The Pinguin Grup, 1990), hal, 62. Di dalam buku tersebut Aristoteles  menyatakan bahwa pengetahuan dianggap suatu kebenaran apabila terjadi dialektika dengan kenyataan.

[21] Alex Rosenberg, Philoshopy of Science, ( New York: UK Routledge, 2005), hal. 21
[22] The Liang Gie, Hal, 108
[23] A. Cornelius Benjamin, Philoshopy of Science, History of Philoshopical Syistem, (Amerika: Philoshopical Library, 1965), hal. 541

No comments:

Post a Comment