ISLAM DAN PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
( Islamisasi ilmu
pengetahuan, etika pengembangan ilmu-ilmu keislaman, ilmuwan muslim dan
penemuannya)
Dalam Islam, Ilmu merupakan salah
satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan
menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein
mengatakan bahwa “Science without religion is blind, and religion without
science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan
dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan islam, ilmu
agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada
seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengembangkan setiap
ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan al-qur’an merupakan sumber dan rujukan
utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu
umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya
adalah memahami prinsip-prinsip al-quran
Dalam makalah ini, penulis akan
sedikit membahas tentang Islam Dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan ( Islamisasi ilmu pengetahuan, etika pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, ilmuwan muslim dan penemuannya).
B. PEMBAHASAN
1.
Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di muka bumi ini,
Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana
sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah sebagai rasul,
hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang menawarkan
cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang
berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari sejarahnya,
pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan munculnya
Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang mula-mula
diperintahkan kepadanya adalah “membaca”. [1]
Jibril memerintahkan Muhammad:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, ( QS: al-’Alaq: 1)[2]
Perintah ini tidak hanya sekali
diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu
tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca
teks baik yang tertulis maupun tidak.[3]
Wahyu pertama, itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan
dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat
bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya, dalam surat al-Zumar ayat 9 juga dinyatakan:
ö@è% …… ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3
$yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Artinya : ……..Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran. ( QS: al-Zumar: 9)[4]
Di samping kedua ayat tersebut di atas,
ada juga ayat yang berbunyi:
……… Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
11. ……….niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS: al-Mujadalah: 11)[5]
Ayat- ayat di atas mengisyaratkan
betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengembangkannya bahkan merupakan sebuah
kewajiban, karena dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai kemuliaan
dengan mendapat derajat yang tinggi dan luhur.
Selain ayat-ayat tersebut di atas,
ada juga hadith Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, antara lain:
“Menuntut Ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”(HR. Ibnu ‘Abdil Bar.Dari Anas)[6]
Dengan demikian, al-quran dan hadis
kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam tataran
yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan
peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah: Pertama,
prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam al-quran. Dan
sejauh pemahaman terhadap al-quran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris
terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan
misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih
mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, al-quran dan
hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan
kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apa pun pada
akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Karena itu, seluruh metafisika
dan kosmologi yang lahir dari kandungan al-quran dan hadis merupakan dasar pembangunan
dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, al-quran dan hadis menciptakan
atmosfir khas yang mendorong aktivifas intelektual.[7]
Dengan semangat Islam yang besar
menuntut ilmu, menjadikan kaum muslim memburu ilmu-ilmu pengetahuan dari
berbagai negara dan peradaban dunia diantaranya ilmu pengetahuan Yunani dan
India, namun bukan berarti ilmu pengetahuan Islam belum bekembang sebelum
pengadopsian ilmu dari dunia luar.
Kalau kita lihat dari perjalanan
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa semula adalah muncul di
Yunani pada abad keenam sebelum masehi. Ilmu pengetahuan yang banyak berkaitan
dengan dunia materi pada waktu itu masih bersatu dengan dunia filsafat yang
banyak memusatkan perhatiannya pada dunia metafisika (dunia di balik materi).
Ilmu dan filsafat masih berada dalam satu tangan. Phytagoras, Aristoteles,
Ptolemy, Galen, Hyppocrates misalnya, mereka adalah disamping seorang filosof
juga seorang ilmuwan.[8]
Sedangkan pada masa kejayaan
kekuasaan Islam, khususnya pada masa pernerintahan Dinasti Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang sangat maju dan pesat.
Kemajuan ini membawa, Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama
wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa
kegelapan peradaban (Dark Age).
Ketika itu, ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani di ambil alih oleh para ilmuwan Muslim melalui penerjemahan
karya-karya klasik Yunani secara besar-besaran ke dalam Bahasa Arab dan Persia
di “Bait al-Hikmah” (Rumah Ilmu Pengetahuan) Bagdad pada abad ke-VIII
hingga abad ke-XIII Masehi, seperti : Abu Yahya al-Batriq berhasil
menterjemahkan ilmu kedokteran dan filsafat Yunani karya besar Aristoteles dan
Hyppocrates. Hunain Ibn Ishaq berhasil menterjemahkan buku : “Timacus” karya
Plato, buku “Prognotik” karya Hyppocrates, dan buku “Aphorisme” karya penting
dari Galen. Ghasta Ibn Luka (Luke) al-Ba’labaki berhasil menterjemahkan ilmu kedokteran
dan matematika hasil karya dari : Diophantus, Theodosius, Autolycus, Hypsicles,
Aristarchus dan karya Heron. Dan juga Tsabit Ibn Qurra al-Harrani (826-900)
berhasil menterjemahkan ilmu-ilmu kedokteran dan matematika Yunani karya besar
dari : Apoloonius, Archimedes, Euclid, Theodosius, Ptolemy, Galen dan Eutocius.[9]
Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina,
ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul yang
terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa (Penyembuhan),
al-Qanun fi al-Tibb (KaidahKaidah dalam Kedokteran), Al-Insaf (Pertimbangan),
al-Najat (Penyelamatan), dan Lisan al- Arab (Bahasa Arab).[10]
Dan masih banyak karya besar lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu
dalam makalah yang sederhana ini.
Pada masa periode Islam ini,
kematerian ilmu pengetahuan yang semula hanya bersatu dengan dunia filsafat,
akhirnya masuk pula kesatuan agama di dalamnya. Hal ini dapat dilihat pada para
tokoh muslim seperti: Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Biruni, al-Kindi,
al-Farabi, al-Khawarizmi dan yang lainnya, mereka adalah di samping sebagai
seorang filosuf, ilmuwan juga seorang agamawan (teolog maupun ahli dalam bidang
hukum Islam).[11]
Sementara itu, perkembangan ilmu
pengetahuan selanjutnya adalah terjadinya kilas balik transformasi Ilmu dari
Timur (Islam) ke dunia Barat (Eropa). Hal itu terjadi berkat kerja keras
orang-orang Eropa yang belajar di Universitas-Universitas Andalusia, Cordova
dan Toledo (Spanyol Islam), seperti : Michael
Scot, Robert Chester, Adelard Barth, Gerard dan Cremona dan yang lainnya. Terjadinya kerja
sama Islam – Kristen di Sicilia yang pernah dikuasai Islam tahun 831 hingga tahun
1091, dimana Ibu Kota Sicilia pernah dijadikan tempat penterjemahan buku-buku
karya ulama Muslim ke dalam bahasa Latin, sehingga akhirnya melahirkan
renaisans di Barat.[12]
Berawal dari sinilah, ilmu pengetahuan dan filsafat yang semula telah dikuasai
oleh dunia Islam dibawa kembali ke dunia Barat (Eropa) dan sebagai akibatnya,
Eropa keluar dari masa kegelapan dan memasuki masa renaisans dan selanjutnya
perkembangan ilmu pengetahuan memasuki abad modern dengan kemajuan teknologinya
yang cepat dan spektakuler sampai saat ini.
2.
Islamisasi ilmu pengetahuan
Ketika kita mendengar istilah
Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang
tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka
diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label "Islam" sehingga
kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan
sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk diungkap dan agar lebih
dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Menurut al-Faruqi sebagaimana yang
dikutip oleh Ziauddin Sardar, Islamisasi adalah usaha untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang
berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan
kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga
disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).[13]
Dan untuk menuangkan kembali
keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah
tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan
pemimpin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan
gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan "prinsip
tauhid" sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam.
Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi sebagaimana yang dikutip oleh
Juhaya S. Paraja menjadi lima
macam kesatuan, yaitu : (1) Kesatuan Tuhan, (2) Kesatuan
ciptaan, (3) Kesatuan kebenaran dan Pengetahuan, (4) Kesatuan kehidupan, dan
(5) Kesatuan kemanusiaan.[14]
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut
dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan
modern yang sekularistik dan Islam yang "terlalu" religius, dalam
model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka
kerja dengan lima
tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu, tujuan yang dimaksud adalah:
1. Penguasaan
disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan
khazanah arisan Islam
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif
dengan ilmu-ilmu modern
Untuk merealisasikan
tujuan-tujuan tersebut, ada 12 langkah yang harus ditempuh terlebih
dahulu. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.
Penguasaan disiplin ilmu
modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2.
Survei disiplin ilmu
3.
Penguasaan khazanah Islam:
ontologi
4.
Penguasaan khazanah ilmiah
Islam: analisis
5.
Penentuan relevansi Islam yang
khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6.
Penilaian secara kritis
terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini
7.
Penilaian secara kritis
terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini
8.
Survei permasalahan yang
dihadapi umat Islam
9.
Survei permasalahan yang
dihadapi manusia
10.
Analisis dan sintesis kreatif
11.
Penuangan kembali disiplin ilmu
modern ke dalam kerangka Islam
12.
Penyebarluasan ilmu yang sudah
diislamkan.[16]
3.
Etika pengembangan ilmu-ilmu keislaman
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia
dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu
perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat
menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak
menimbulkan dampak negatif.
Sebelum membahas tentang etika pengembangan ilmu, penulis akan terlebih
dahulu memaparkan beberapa definisi tentang etika, diantaranya :
“Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan
kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan
seluruh tingkah laku manusia”.[17]
“Etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang
nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya”.[18]
“Etika adalah
ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran”[19]
”Etika merupakan acuan moral bagi pengembangan ilmu. Tampilnya dapat
berupa: visi, misi, keputusan, pedoman prilaku dan kebijakan moral dalam
pengembangan ilmu”[20]
Adapun tentang masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng Muhadjir membagi
kepada empat klaster, yaitu: 1) Temuan basic research, 2) Rekayasa teknologi,
3) Dampak sosial rekayasa, dan 4) Rekayasa sosial.[21]
Sementara
itu, Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Metode dan Etika Pengembangan Ilmu
Perspektif Sunnah mengemukakan terkait dengan etika pengembangan ilmu, bahwa
etika yang harus diperhatikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah:[22]
1. Rasa tanggung jawab di hadapan
Allah, sebab ulama merupakan pewaris para anbiya. Tidak ada pangkat yang
lebih tinggi daripada pangkat kenabian dan tidak ada derajat yang ketinggiannya
melebihi para pewaris pangkat itu.
2. Amanat Ilmiah. Sifat amanah
merupakan kemestian iman termasuk ke dalam moralitas ilmu, tak ada iman bagi
orang yang tidak memiliki sifat amanah. Dalam memberikan kriteria orang beriman
Allah menjelaskan dalam firman-Nya :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdÏôgtãur tbqããºu ÇÑÈ
Artinya : Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.(QS: al-Mu’minun:8)[23]
Sebaliknya sifat khianat merupakan kriteria orang yang munafik, yang salah
satu sifatnya yang paling menonjol adalah apabila diberikan amanat maka dia
berkhianat
Seseorang yang tahu bertahan dengan pendiriannya dan terhadap hal-hal yang
tidak diketahuinya dia berkata: “Aku tidak tahu.” Di dalam dunia ilmiah tidak
dikenal sifat malu dan sombong. Dunia ilmiah selalu mengakui kebenaran apapun
atau faedah apapun yang sudah jelas, sekalipun bersumber dari orang yang tidak
memiliki ilmu yang luas atau berusia muda atau berkedudukan rendah.
3.
Tawad}u’. Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan ialah tawad}u. Orang yang benar berilmu tidak akan
diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh perasaan ‘ujub
mengagumi diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah laksana lautan
yang tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil mencapai
pantainya.
4.
Izzah. Perasaan mulia yang merupakan fadhilah paling
spesifik bagi kaum muslimin secara umum.
Izzah di sini adalah perasaan diri
mulia ketika menghadapi orang-orang yang takabbur atau orang yang berbangga
dengan kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan lain yang
bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa dan
permusuhan. Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah dan tidak
mengharapkan apapun dari manusia, tidak menjilat kepada orang yang berkuasa
5.
Mengutamakan dan menerapkan Ilmu
Salah satu
moralitas dalam Islam adalah menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada
keterkaitan antara ilmu dan iradah. Kehancuran kebanyakan manusia adalah karena
mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan sesuatu yang
bertolak belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter yang
mengetahui bahayanya suatu makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga
dia menikmatinya karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang
memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan
bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini
tidak diridhai dalam Islam.
6.
Menyebarkan ilmu
Menyebarkan ilmu
adalah moralitas yag harus dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka
berkewajiban agar ilmu tersebar dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang
disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan, sama halnya dengan harta yang
ditimbun.
Gugurnya kewajiban menyebarkan ilmu hanya
dibatasi jika ilmu yang disebarkan itu akan menimbulkan akibat negatif bagi
yang menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang lain atau
jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya.
7.
Hak Cipta dan Penerbit
Mengenai hak cipta
dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak semudah kehidupan orang
lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus melebihi orang lain,
seorang ilmuwan pengarang memerlukan perpustakaan yang kaya dengan
referensi penting dan juga memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil,
mengkliping dan sebagainya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang kehidupan
keluarganya. Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan menghasilkan
suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika suatu karya ilmiah telah
diterbitkan kadang-kadang pengarang masih memerlukan lagi untuk mengadakan
koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua ini memerlukan tenaga dan biaya. Oleh
karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu karya ilmiah maka dialah yang berhak
mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya. Tetapi perlu diingat dan
dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan pengarang mengeksploitasi
para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku dengan harga yang tidak seimbang
dengan daya beli pembaca atau pendapatan yang diperoleh pembaca. Jika terjadi
yang demikian maka hal itu tidak dibenarkan oleh syara’
Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pegembangan
ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan
manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi ini. Karena
tanpa didasari etika, maka semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin
tinggi teknologi yang mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang
mereka miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka,
tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka terhadap orang lain dan
hak-hak orang lain.
4.
Ilmuwan-ilmuwan muslim
dan penemuan-penemuannya
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa
pada zaman keemasannya, islam mempunyai peran yang begitu penting terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan, saat itu lahir para ilmuwan muslim yang memberikan kontribusi
yang sangat besar bagi peradaban saat itu. Di bawah ini penulis akan menyajikan
beberapa tokoh ilmuwan muslim dan penemuannya masing-masing, diantaranya yaitu
:
1.
Jabir ibn Hayyan
Jabir ibn Hayyan,
beliau dilahirkan di Thus, beliau sering dikenal sebagai bapak kimia, beliau
adalah perintis jalan bagi orang-orang yang berusaha mengubah logam-logam kasar
seperti besi dan tembaga menjadi logam-logam mulia seperti emas dan perak. Beliau
telah mengadakan penyempurnaan dalam metode kerja kimiawi dan telah berhasil
memproduksi oksigen dan mengeluarkan asam nitrit hidrokalorik yang memungkinkan
peleburan emas dan perak di dalamnya.[24]
2.
Al-Kindi
Al-Kindi, beliau biasa dikenal dengan filosof muslim
yang pertama, nama beliau adalah Abu Yusuf al-Kindi, beliau di samping sebagai seoraang
pemikir atau filosof, beliau juga seorang ilmuwan muslim yang mampu
mrnghasilkan karya dan penemuan-penemuan ilmiah dalam perkembangan ilmu di
seluruh dunia, salah satunya adalah jasa beliau sebagai pendiri ilmu psikofisik,
yaitu ilmu yang memberikan perhatian pada hubungan kuantitatif antara
kejadian-kejadian psikologis dengan persitiwa-peristiwa jasmani.[25]
Dalam hal ini pemikiran beliau terkait dengan psikofisik adalah bahwa
untuk menyembuhkan pasien, tidak hanya butuh menentukan kualitas bahan campuran
obat, melainkan dibutuhkan pula kemanjuran dan dosisnya. Sehingga dari sinilah
dibutuhkan ilmu posology (cabang ilmu pengobatan yang berkenaan dengan dosis
penggunaan obat).
3.
Al-Khawarizmi
Al-Khawarizmi, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Musa
Al-Khawarizmi, beliau adalah seorang ilmuwan muslim perintis ilmu pasti dan beliau
adalah peletak ilmu al-jabar, tapi tidak hanya itu beliau juga yang meletakkan
dasar-dasar penting ilmu astronomi, ilmu geografi, dan ilmu perpetaan.[26]
Dalam bidang astrnomi, subangan beliau yang paling
penting adalah penemuannya tentang Zidj yaitu suatu rangkaian tabel
astronomi dan trigonometri yang butuhkan untuk memecahkan soal-soal teori dan
praktek astronomi.
4.
Abu al-Zahrawi
Abu al-Zahrawi, beliau lahir di kota al-Zahra dan beliau
wafat pada 1013 M, beliau adalah seorang muslim yang taat dan beliau adalah
salah satu tabib muslim yang terbesar, beliau adalah penemu teknik penyembuhan
patah tulang dengan gips.[27]
5.
Ibnu Haitham
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan ibn al-Haitham,
beliau dilahirkan di kota
Bashrah tahun 965 dan meninggal di Kairo tahun 1093. Beliau adalah seorang
ilmuwan muslim penemu teknik fotografi.
Penemuan beliau yang menjadi dasar teknik alat fotografi
adalah teorinya tentang bentuk lengkung yang ditempuh cahaya ketika memancar di
udara, dari teori itu beliau menetapkan bahwa kita melihat cahaya bulan dan
matahari sebelum benda-bendanya betul-betul kelihatan di cakrawala. Teori inilah
yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan teknik alat-alat fotografi
dewasa ini. Di samping itu pula, beliau juga
menggagas tentang penggunaan energi solar.[28]
6.
Ibnu Sina
Nama lengkap beliau adalah Abu Ali al-Husain ibn
Abdullah, beliau dilahirkan pada tahun 980 M di negeri Ifsyia Karmitan dan
meninggal dunia pada tahun 1037. Beliau adalah seorang ilmuwan, ulama, dokter,
cendekiawan dan filosof. Nama beliau ini tak hanya dikenal di kalangan Islam
saja, melainkan menjulang ke seluruh dunia, belau tercatat sebagai orang yang
banyak memberikan sumbangan dan pengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
di bidang kedokteran dengan karya besarnya yang menjadi buku yang sangat
legendaris yaitu kitab al-Syifa’ dan al-Qanun fi al-Tibb.
Sebagai seorang ulama’, beliau berhasil menulis buku
di bidang fiqih yang berjudul al-hasil
wa almuhasil, selain itu beliau juga menulis tentang akhlak, tafsir
al-qur’an dan tasawwuf.[29]
7.
Al-Ghazali
Beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, beliau dilahirkan
di Naisabur, beliau adalah seorang tokoh besar muslim yang terkenal sebagai
seorang ulama’, filosof, ahli teologi dan ahli tasawwuf. Sebagai seorang teolog
beliau dikenal sebagai pilar utama aliran Asy’ariyah, dan sebagai teolog dan
filosof, beliau dengan gigih menyerang pikiran-pikiran filsafat Islam.
Dalam bidang ilmu biologi dan kedokteran, beliau dikenal
berhasil menemukan hal ihwal sinoatrial node (pusat pacu jantung) yaitu
suatu kumpulan mikroskopis dari jaringan urat jantung atau sel-sel. Ketika
menjelaskan hati sebagai pusat pengetahuan intuitif dengan segala rahasianya,
beliau berbicara tentang suatu titik dalam hati, beliau merumuskan titik ini
secara simbolis sebagai suatu mata batin atau sebagai instink elektrik
atau cahaya. Jika cahaya hati yang dikatakan oleh beliau itu dibandingkan
dengan sinoatrial node sebagaimana yang dikenal di kalangan para
fisiologis dan anatomis, maka akan ditemukan bahwa titik hati menurut beliau
itu berhubungan ertat dengan sinoatrial node.[30]
8.
Ibnu Rusyd
Beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd,[31]
beliau lahir di kota
Kordova Spanyol pada tahun 1128. Selain beliau sebagai filosof, beliau adalah tokoh
ilmuwan dan cendekiawan muslim terkemuka saat itu.
Beliau memberikan sumbangan yang sangat penting bagi dunia
kedokteran, filsafat, logika, musik dan hukum. Dalam bidang kedokteran, beliau berhasil
mengarang kitab yang merupakan ensiklopedi kedokteran yang paling lengkap pada
zamannya, yaitu kitab al-kulliyat fi al-tibb. Dengan kitab tersebut
beliau terkenal sebagai perintis ilmu kedokteran umum, dan di dalam kitabnya
tersebut beliau mengungkapkan berbagai aspek kedokteran termasuk diagnosa,
penyembuhan dan pencegahan penyakit. Penyelidikan yang beliau lakukan dalam
bidang kedokteran tersebut mengantarkannya sebagai perintis ilmu jaringan tubuh
(histology), di samping itu juga, beliau juga berhasil dalam penelitian
mengenai jaringan pembuluh darah tubuh manusia. Sedangkan di bidang astronomi,
beliau berhasil menulis sebuah risalah tentang iklim yang berjudul kitab fi harakat
al-falaq.[32]
9.
Al-Razi
Beliau adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakariyah al-Razi,
beliau dilahirkan di Rayy Persia pada tahun 854 H dan wafat pada tahun 925 H.
Beliau dikenal sebagai Socrates Muslim di bidang filsafat dan Hippocrates
muslim di bidang kedokteran.
Karya-karya beliau tentang kedokteran yang paling
terkenal adalah risalah tentang cacar dan campak, ensiklopedi kedokteran yang
berjudul al-Hawi, dalam buku ini beliau selain menjelaskan teori-teori,
juga menjelaskan diagnosis dan terapi berbagai penyakit, sumbangan beliau
lainnya di bidang kedokteran adalah mengenai penyakit kaki gajah, di sini beliau memberikan diagnosis sekaligus upaya
pengobatan terhadap penyakit kaki gajah tersebut. Dan dari karya-karya beliau
itu, beliau dikenal sebagai tokoh pengilham kedokteran modern.[33]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari paparan penulis di atas, dapat
penulis simpulkan bahwa Islam telah memberikan penghargaan yang begitu besar
kepada ilmu dan memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa mencari dan mengembangkan
ilmu pengetahuan sampai kapanpun, sepanjang tubuh ini masih bernafas, akan tetapi perlu diingat bahwa pencarian dan pengembangan ilmu dalam
segi apa pun itu pada akhirnya harus bermuara pada penegasan tauhid hingga pada
akhirnya ilmu yang dikembangkan tersebut dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
2.
Saran
Di dalam makalah ini, penulis sadar
betul akan semua kekurangan penulis baik secara materi maupun non materi
sehingga penulis yakin masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu untuk
diperbaiki. Untuk itu, penulis berharap kepada semua teman-teman agar berkenan
memberikan sumbangsih pemikiran dan mengkaji lebih dalam lagi terhadap makalah
ini demi kesempurnaannya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adams,
Lewis Mulford. 1965. New Masters Pictorial Encyclopedia, New York: Subsidiary of
Publishers Co.
Agama R1, Departernen.
Al-Quran dan Terjemahannya.
al-Hasyimi, Ahmad.
tt. Mukhtar al- Hadith an-Nabawiyah,
Kairo: Syirkah Nur Asiya.
Azra, Azyumardi.
2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta:
Kahinah.
--------------. 2002. Historiografi Islam
Kontemporer Wacana, Aktualitas, dan Aktor sejarah, Jakarta: PT SUN.
Bahtiar, Amsal.
2006. Filsafat Ilmu Edisi. 3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Gohlman, William
E. 1974. The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated
Translation, New York: State University of New York Press.
Good
(Ed), Carter V. 1973. Dictionary of Education, New York: Mc GrawHill Book Co.
Kartanegara, Mulyadhi. 2000. Mozaik
Khazanah Islam, Yogyakarta: Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 1994. Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu
Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, Yogyakarta:
Rakesarasin.
Nakosteen, Mehdi.
1996. KontribusiIslam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, Yogyakarta: Risalah Gusti.
Nasution, Harun.
1998. Islam Rasional, Bandung:
Mizan.
Nasr, Seyyed
Hossein. 1997. Pengetahuan dan Kesucian, Yogayakarta: Pustaka Pelajar.
Sardar, Ziauddin.
1996. Jihad Intelektual, Surabaya:
Risalah Gusti.
Paraja, Juhaya
S. 2002. Filsafat Ilmu, Bandung:
Teraju.
Qardlawi,Yusuf. 1989. Metode dan Etika Pengembangan
Ilmu Perspektif Sunnah, Bandung: Rosda.
Shihab, M.Quraish.
2001. Wawasan AI-Quran: Tafrsir Maudlu’i atas Berbagai Persoalan Umat
Cet. 12, Bandung:
Mizan.
Sarton, George.
1948. Introduction to The History of Science, Washington D. C. : The Carbegie Institute.
Ya’cub, Hamzah.
1983. Etika Islam, Bandung: Dipenogoro.
[1]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu Edisi. 3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), 32.
[2]Departernen Agama R1, Al-Quran dan Terjemahannya, 1079.
[3]M.Quraish Shihab, Wawasan AI-Quran: Tafrsir Maud}u’i atas Berbagai Persoalan Umat Cet. 12 (Bandung: Mizan, 2001), 433.
[4]Departernen Agama R1, Al-Quran dan Terjemahannya, 747.
[5]Ibid., 910.
[6]Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al- Hadith an-Nabawiyah (Kairo:
Syirkah Nur Asiya, t.t.), 93.
[7]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Kahinah, 2001), 13.
[8]Mehdi Nakosteen, KontribusiIslam atas Dunia Intelektual Barat
Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam (Yogyakarta: Risalah Gusti, 1996),
22
[9]George Sarton, Introduction to The History of Science (Washington
D. C. : The Carbegie Institute, 1948), 556-613.
[10]William E. Gohlman, The Life of Ibn Sina: A Critical
Edition and Annotated Translation (New York: State University of New York
Press, 1974), hal. 47
[11]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), 410.
[13]Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual (Surabaya: Risalah Gusti,
1996), 45.
[14]Juhaya S. Paraja, Filsafat Ilmu (Bandung: Teraju, 2002), 73.
[15]Ibid., 73.
[16]Ibid., 73-74.
[18]Lewis Mulford Adams, New Masters Pictorial
Encyclopedia, (New York: Subsidiary of Publishers Co, 1965), 460.
[20]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, dan
Postmodernisme (Yogyakarta: Rakesarasin,
2001), 272.
[21]Ibid., 272.
[22]Yusuf Qardawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah (Bandung: Rosda, 1989), 38-45.
[23]Departernen Agama R1, Al-Quran dan Terjemahannya, .
[24]Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam (Yogyakarta: Paramadina, 2000), 18.
[25]Azyumardi Azra, HistoriografiIslam Kontemporer Wacana,
Aktualitas, dan Aktor sejarah (Jakarta:
PT SUN, 2002), 355-356.
[26]Ibid., 359.
[27]Ibid., 365-367.
[28]Ibid., 373-377.
[29]Ibid., 379-381.
[30]Ibid., 383-385.
[31]Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1994), 207.
[32]Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 387-389.
[33]Ibid., 403-404.
No comments:
Post a Comment